Berat sekali kubuka kelopak mataku.
Kupicingkan mataku, berdiri si bocah keponakanku di hadapanku. Anak adikku dan suaminya itu hanya berkaos singlet, sementara tangannya memeluk tablet.
Adikku memanggilnya dari balik kamar, "Gus, cepat tidur sini jangan nganggu Pakdemu!"
Bocah empat tahun itu tersenyum terkekeh.
Ia tak pernah takut padaku. Saat ku waras atau saat ku mabuk minuman keras.
Saat wajahku begitu kusam jauh dari kewarasan dan perangaiku menjadi mengerikan. Anak laki-laki itu tak pernah takut padaku.
Kupicingkan mataku yang berat agar kepalaku tak makin pening melihatnya.
Ia menyalakan tablet kepunyaan bapaknya.
Jari-jari kecil itu menggeser-geser foto-foto di layar tablet seperti yang selalu ia lakukan saat ku datang ke rumah adikku. Kali ini jarinya berhenti pada suatu video yang lalu ia nyalakan.
Muncul suatu suara denting gitar dari video itu sementara nyeri di kepalaku bertambah hebat.
Bocah itu terkekeh sambil menunjuk-nunjuk tabletnya:
di layar ada sepasang pengantin berpakain Jawa berdiri di depan altar. Di samping mereka ada seseorang berhem putih berwajah segar, tersenyum, bernyanyi dan bermain gitar.