Kekalahan itu menyesakan. Kekalahan itu terasa amat menyakitkan terutama saat kita sangat berharap mencapai kemenangan. "Ambyar" alias luluh lantak hati ini kalau boleh meminjam istilah our godfather of broken heart, alm. Didi Kempot. Â Â
Kekalahan tim nasional sepak bola Indonesia 0-4 dari kesebelasan Viet Nam terasa tajam menusuk hati. Selepas pertandingan itu, jam 2.24 dini hari tadi, seorang sohib Kompasianer terkemuka yang tidak saya sebutkan namanya sampai menulis permintaan terakhirnya (sebelum tidur) di grup perpesanan agar tidak ada lagi yang membahas pertandingan tersebut sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Bagaimana seharusnya kita memaknai kekalahan?Â
Menurut Steven Covey, penulis buku the 7 Habits of Highly Effective People yang terbit dan laris bak tahu goreng dadakan di tahun 1989 sampai hari ini, reaksi kita terhadap suatu hal atau kejadian dalam hidup adalah pilihan. Ingin misuh-misuh, ingin mutung, ingin terus maju? Semua adalah pilihan.
Tim sepak bola Spanyol, Real Betis Balompie menawarkan filosofinya yang disebut manquepierda sebagai salah satu cara memaknai lalu mengambil sikap saat kekalahan terjadi pada tim tersebut. Â
Real Betis, bukanlah tim yang sering menang seperti Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid ataupun tim sekotanya, Sevilla FC. Real Betis bukanlah tim yang mengantungi banyak gelar juara dalam sejarahnya. Sebaliknya Betis justru mendapat julukan tim "ascensor" alias kesebelasan lift karena seringnya naik/turun dari dan ke divisi kedua dan divisi utama liga Spanyol.Â
Ajaibnya, menurut Barba (2018), Real Betis berada di peringkat ketiga dari seluruh klub di Spanyol dalam hal jumlah pendukung berkartu anggota atau socios abonados (54 000 ) dan jumlah perkumpulan pendukung yang resmi alias penas (477 perkumpulan dengan 16 di antaranya di Spanyol).
Filosofi kekalahan yang disebut manquepierda itulah yang justru menjadi magnet klub berkostum hijau putih (verdiblanco) dari kota Sevilla di Andalucia ini begitu dicintai dan populer. Mengutip kembali tulisan saya yang HL alias AU di Kompasiana di tahun 2012, secara kasar manquepierda berarti "walaupun kalah".
Ada tiga hal yang bisa digali dari filosofi kekalahan manquepierda ini.
Pertama, meneruskan "walaupun kalah..."Â
Walaupun kalah, lalu apa? Silakan kita lanjutkan sendiri.
Misalnya, dari sisi pelatih maupun pemain akan dapat berkata, "walaupun kalah, tapi kita sudah berjuang maksimal, walaupun kalah tapi kita jadi mengerti kelemahan kita, walaupun kalah tapi kita akan tetap berlatih, atau walaupun kalah tapi kita tidak patah semangat".
Dari sisi pendukung, jelas hal ini bisa dimaknai misalnya "walaupun kalah, tapi tim kita sudah berjuang habis-habisan, walaupun kalah saya akan tetap mendukung, walaupun kalah saya tetap tidak akan meninggalkanmu," dan lain sebagainya.
Dengan menganut filosofi manquepierda atau "walaupun kalah..." seperti ini, para pemain, pelatih, maupun pendukung suatu tim akan selalu melihat sebuah kekalahan sebagai suatu koma bukan suatu titik. Suatu saat peralihan, bukan suatu akhir. Suatu saat untuk bangkit kembali dan bukan saat untuk mutung, menarik sarung menutupi wajah dan menolak untuk bangun.
Kedua, filosofi "walaupun kalah..." alias manquepierda adalah paradigma kenyataan dan bukan mimpi belaka
"Itulah sebabnya dia (Zeus) memberikan 'harapan' bagi manusia. 'Harapan' pada dasarnya adalah hal terburuk dari segala hal yang jahat karena 'harapan' memperpanjang penderitaan manusia" (Nietzsche, 1879, Menschliches, Allzumenschliches)
Bukan sekedar sepakbola, filosofi manquepierda adalah filosofi kehidupan dan kenyataan. Dalam hidup kita, tentu kita pun sering mengalami kekecewaan dan kegagalan atau kekalahan. Gaji yang tidak naik-naik, nilai-nilai di rapot yang do-do-mi-sol-d0-sol, COVID-19 yang tidak kunjung usai, postingan di sosmed yang tidak kunjung viral, tulisan di Kompasiana yang tidak AU-AU juga, mungkin hanya sebagian kecil dan sejuta kekalahan dalam hidup.
Kesalahan utama para fans sepakbola yang sering kecewa adalah menempatkan harapannya pada tim-tim kesayangannya seperti dalam impian atau seperti dalam filem-filem atau cerita fiksi. Fans sepakbola merindukan kemenangan, kemenangan dan kemenangan.Â
Sepak bola diharapkan jadi pelipur lara dalam hidup, seperti kita nonton drama Korea. Itulah sebabnya penggemar sepakbola akan lebih memilih untuk nge-fans pada tim-tim besar dan kaya yang menangan ketimbang mendukung tim yang kalahan seperti Real Betis atau timnas Indonesia.Â
Para pendukung sepakbola mungkin lupa, bahwa pada dasarnya sepakbola adalah kenyataan. Sepakbola hanyalah miniatur kehidupan dalam lapangan 105m x 68m di mana secara teori nyaris tidak ada yang settingan dengan akhir yang harus happy-end.
Dengan menerapkan filosofi manqupierda tentu pendukung sepakbola akan menjadi lebih realistis dalam memaknai kekalahan timnya. Hal ini berarti mengganti paradigma mencintai tim dari alam impian menjadi kenyataan.Â
Dengan kata lain, kalau dalam hidup kita sendiri kita kenyang dengan kekalahan, mengapa pula kita mengharapkan banyak kemenangan di tim yang kita dukung?
Ketiga (terakhir): filosofi manqupierda, membuat kita lebih Indonesia
Saat kita mampu mencintai tim sepakbola kesayangan kita dengan filosofi manquepierda yang adalah paradigma, maka kita pun akan mampu merelativisir kekalahan timnas Indonesia dan menempatkannya dalam konteks hidup.
Artinya apa? Sepakbola maupun dukungan kita terhadap timnas sepakbola adalah kenyataan. Dengan menempatkannya sebagai kenyataan, maka sepakbola maupun dukungan terhadap timnas adalah prioritas nomor 6 (enam) dalam hidup kita.
Nomor 6 (enam)? Apa itu nomor 1 sampai 5 nya?
Ya apalagi kalau bukan: Pancasila!
- Jakarta, 8 Juni 2021, sambil mengantri soto mie -Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H