Misalnya, dari sisi pelatih maupun pemain akan dapat berkata, "walaupun kalah, tapi kita sudah berjuang maksimal, walaupun kalah tapi kita jadi mengerti kelemahan kita, walaupun kalah tapi kita akan tetap berlatih, atau walaupun kalah tapi kita tidak patah semangat".
Dari sisi pendukung, jelas hal ini bisa dimaknai misalnya "walaupun kalah, tapi tim kita sudah berjuang habis-habisan, walaupun kalah saya akan tetap mendukung, walaupun kalah saya tetap tidak akan meninggalkanmu," dan lain sebagainya.
Dengan menganut filosofi manquepierda atau "walaupun kalah..." seperti ini, para pemain, pelatih, maupun pendukung suatu tim akan selalu melihat sebuah kekalahan sebagai suatu koma bukan suatu titik. Suatu saat peralihan, bukan suatu akhir. Suatu saat untuk bangkit kembali dan bukan saat untuk mutung, menarik sarung menutupi wajah dan menolak untuk bangun.
Kedua, filosofi "walaupun kalah..." alias manquepierda adalah paradigma kenyataan dan bukan mimpi belaka
"Itulah sebabnya dia (Zeus) memberikan 'harapan' bagi manusia. 'Harapan' pada dasarnya adalah hal terburuk dari segala hal yang jahat karena 'harapan' memperpanjang penderitaan manusia" (Nietzsche, 1879, Menschliches, Allzumenschliches)
Bukan sekedar sepakbola, filosofi manquepierda adalah filosofi kehidupan dan kenyataan. Dalam hidup kita, tentu kita pun sering mengalami kekecewaan dan kegagalan atau kekalahan. Gaji yang tidak naik-naik, nilai-nilai di rapot yang do-do-mi-sol-d0-sol, COVID-19 yang tidak kunjung usai, postingan di sosmed yang tidak kunjung viral, tulisan di Kompasiana yang tidak AU-AU juga, mungkin hanya sebagian kecil dan sejuta kekalahan dalam hidup.
Kesalahan utama para fans sepakbola yang sering kecewa adalah menempatkan harapannya pada tim-tim kesayangannya seperti dalam impian atau seperti dalam filem-filem atau cerita fiksi. Fans sepakbola merindukan kemenangan, kemenangan dan kemenangan.Â
Sepak bola diharapkan jadi pelipur lara dalam hidup, seperti kita nonton drama Korea. Itulah sebabnya penggemar sepakbola akan lebih memilih untuk nge-fans pada tim-tim besar dan kaya yang menangan ketimbang mendukung tim yang kalahan seperti Real Betis atau timnas Indonesia.Â
Para pendukung sepakbola mungkin lupa, bahwa pada dasarnya sepakbola adalah kenyataan. Sepakbola hanyalah miniatur kehidupan dalam lapangan 105m x 68m di mana secara teori nyaris tidak ada yang settingan dengan akhir yang harus happy-end.
Dengan menerapkan filosofi manqupierda tentu pendukung sepakbola akan menjadi lebih realistis dalam memaknai kekalahan timnya. Hal ini berarti mengganti paradigma mencintai tim dari alam impian menjadi kenyataan.Â