Diskriminasi positif lewat fasilitasi yang dilakukan Pemprov DKI sudah berbuah dengan semakin banyak pesepeda yang lalu lalang untuk berolah raga di jalan-jalan di Ibu kota di pagi hari yang memuncak di akhir pekan.
Hal ini tentu didukung oleh situasi pandemi di mana kalangan menengah ke atas mencari kegiatan rekreatif sekaligus sportif yang aman di luar rumah sementara work from home masih berlaku. Situasi lalu lintas masa pandemi yang jelas lebih lenggang juga memungkinkan olah raga bersepeda ini untuk dilakukan.
Tapi apakah cukup bahwa pemerintah DKI menjadi fasilitator saja?
Kedua: para pesepeda yang tidak tahu aturan
Benarkah para pesepeda itu tidak tahu aturan? Jawabannya adalah tidak (!)
Para pesepeda itu bukannya tidak tahu aturan. Yang salah adalah bahwa peraturannya yang tidak ada. Undang-Undang Lalu Lintas Jalan 2009 misalnya, sama sekali tidak atau belum memiliki aturan tentang bagaimana seorang pesepeda harus bersepeda.
Negara Belgia misalnya, yang merupakan negara dengan persentase penggunaan sepeda sebagai moda sehari-hari peringkat ke-6 di Eropa (ECF, 2015) mewajibkan para pesepeda untuk bergerak di lajur terkanan (kiri jika di Indonesia) di badan jalan. Pelanggaran atas aturan ini diancam denda sebesar 90 Euro atau sekitar 1,6 juta rupiah (!).Â
Peraturan lalu lintas Belgia (code-de-la-route) misalnya tidak memperboleh lebih dari 2 (dua) pesepeda melintas berjajar. Di jalan perkotaan hal ini hanya dimungkinkan jika formasi berjajar dari dua pesepeda ini tidak menghalangi kendaraan bermotor yang bergerak pada arah yang sama. Di luar situasi tersebut, kelompok pesepeda harus bergerak beriringan satu per satu (!).
Kejadian para atlit sepeda amatir yang berjejeran memenuhi badan jalan utama di Jakarta seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu tentu tak akan terjadi jika aturan dan hukuman denda seperti di Belgia sudah ada dan diterapkan dengan tegas.
Memfasilitasi tanpa mengatur: cikal bakal arogansi pesepeda