Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mau Riset tapi Nyangkut di Bahasa Indonesia

5 Mei 2021   08:13 Diperbarui: 5 Mei 2021   15:37 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penelitian (Sumber: pixabay.com)

Wajah teman saya yang dosen budaya di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta itu tampak sumpek. Dalam percakapan daring malam itu ia mengeluh panjang pendek.

"Kacau Pe, mosok mahasiswa-mahasiswa S1 yang pada nulis skripsi banyak yang gak tahu kapan 'di' harus dipisah atau disambung?! Mosok mereka gak tahu beda 'di' yang imbuhan dan 'di' yang kata keterangan tempat? Belum lagi masalah es, pe, o, k (s-p-o-k). Jangankan ngebahas topik penelitiannya, ngelihat tulisannya aja gue jadi males!"

Dua hal itu yang dikeluhkan teman saya yang dosen itu: masalah "di' dipisah atau disambung, dan penggunaan pola subyek-predikat-obyek-keterangan atau s-p-o-(k).

Dalam beberapa kesempatan, saya pernah dimintai tolong oleh institusi pemerintah dan perguruan tinggi negeri (PTN) untuk menjadi penilai dan penyeleksi naskah-naskah ilmiah sebelum diterbitkan di jurnal-jurnal penelitian yang mereka kelola atau menjadi pembimbing tamu dalam penulisan skripsi dan disertasi. 

Berdasarkan pengalaman tersebut saya bisa memastikan keluhan teman saya bahwa ada masalah untuk membedakan 'di' sebagai imbuhan dan kata keterangan dan pembantukan kalimat dengan struktur s-p-o-(k) yang tepat.

DokpriNotifikasi pengutipan karya ilmiah (Dokumentasi pribadi)
DokpriNotifikasi pengutipan karya ilmiah (Dokumentasi pribadi)

Untuk masalah s-p-o-(k) misalnya, saya menemukan dua jenis kesalahan utama. Pertama, kalimat-kalimat yang tidak lengkap subyek-predikat atau obyeknya. Bahasa percakapan sehari-hari yang lumrah dikatakan tanpa struktur yang lengkap seakan terbawa dalam bahasa tulisan. 

Kedua, ketidakcocokan antara subyek dan predikat, terutama yang bisa kita jumpai pada pembentukan kalimat-kalimat majemuk.

Selain kedua masalah di atas, masih banyak lagi kesalahan mendasar yang dilakukan para penulis naskah ilmiah, misalnya kesalahan pembentukan anak kalimat, pemakaian kata hubung yang tidak pada tempatnya, kalimat majemuk yang terlalu panjang dan mengandung lebih dari pokok pikiran, dan lain-lain. 

Pada suatu saat, ada seorang dosen PTN yang mengeluh pada saya, "Pe, kenapa sih kamu rewel banget kalau soal bahasa? Yang penting kan konten penelitiannya..."

Wah... sorry menyori Mas bro. Ada dua alasan utama mengapa kita harus rewel soal bahasa Indonesia di penulisan ilmiah.

Pertama, kesalahan berbahasa Indonesia sangat bisa menyebabkan pesan penelitian tidak tersampaikan secara benar

Naskah ilmiah pada dasarnya 'hanyalah' suatu cerita atau narasi tentang suatu masalah yang ditemukan oleh sang peneliti yang diikuti oleh penjelasan tentang ide pemecahan masalah tersebut yang dijabarkan lewat studi literatur, metodologi, dan hasil penerapan metodologi. 

Setiap bagian dari narasi ini tentunya harus dilakukan dengan sangat akurat dan jelas agar isi keseluruhan maupun setiap bagian dapat dipahami oleh pembaca dengan tepat. 

Ketepatan pemahaman dari pembaca sangatlah penting karena peneliti yang menulis suatu karya ilmiah sangat mengharapkan bahwa karyanya akan dikutip oleh peneliti-peneliti yang lain secara tepat dan benar atau penelitiannya akan mendasari penelitian-penelitian yang lain di masa depan.

Ketidaktepatan berbahasa tentu akan menyebabkan ketidaktepatan dalam penyampaian atau penjabaran suatu ide. Bagaimana pesan atau ide penelitian dapat tersampaikan secara tepat jika bahasa Indonesia dalam penulisan karya ilmiah berkualitas semrawut? 

Boro-boro ide penelitian akan tersampaikan, jangan-jangan membacanya saja sudah malas, seperti yang terjadi dengan teman saya yang dosen di awal tulisan ini.

Kedua, kesalahan berbahasa Indonesia menunjukan ketidakmumpunian sang peneliti itu sendiri

Bahasa Indonesia pada dasarnya bukanlah bahasa yang rumit dan sulit. 

Seorang teman dari Eropa mampu berbahasa Indonesia percakapan dengan cukup fasih hanya setelah tinggal 4 bulan di Indonesia. 

Bagi penutur asing, bahasa Indonesia sangat sederhana karena tidak mengenal perubahan bentuk karena waktu dalam konteks pembicaraan seperti lewat tenses maupun konjugasi atau perubahan kata kerja. 

Secara kasar, kerumitan bahasa Indonesia hanya terletak pada penggunaan imbuhan (me,ber,di,pe, ke-ter,se) yang memang sangat berperan dalam membentuk arti suatu kalimat dan cara pemakaiannya yang sangat tidak beraturan (irregular).

Di tengah segala kesederhanaan itu, dua masalah yang diungkap dan disoroti oleh teman dosen saya yaitu penggunaan 'di' dan struktur s-p-o-k adalah dua hal yang sangat teratur dengan kaidah yang jelas. 

Jika kaidah-kaidah yang jelas diatur dan sederhana seperti itu tidak dikuasai oleh seorang peneliti atau penulis karya ilmiah, bagaimana yang bersangkutan dapat menguasai teori-teori di penelitiannya yang seharunya jauh lebih kompleks?

Menyepelekan bahasa ibu, bahasa Indonesia dalam penulisan ilmiah jelas berakibat fatal. Sembari kita sibuk jauh berlari mengejar ketertinggalan kita di bidang penelitan ilmiah dan teknologi seharusnya kita tidak lupa menekuni dan memperkuat pendidikan dasar terutama bahasa Indonesia.

===tamat===

Tulisan sebelumnya (biar gak mumet): Nyebelinnya Nonton Drakor Bareng Ortu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun