Tapi ya gitu deh, lagu korea mereka tidak jauh dari Arirang, Kokoro no tomo, Amayadori, atau Ue o muite aruko. Lho yang tiga lagu terakhir kan bukan lagu Korea? Ya bodoh amat, yang penting beda-beda tipis...Â
Ketiga, membanding-bandingkan cerita drakor dengan 'filem-filem (mirip) korea lainnya'
Ini mungkin yang paling menyebalkan. Masih mending kalau para ortu ini membandingkan drakor dengan 'sejenis drakor lain' yang mungkin sempat mereka tonton di penghujung masa mudanya seperti Meteor Garden, Tokyo Love Story, atau 101 Proposals. (#Gubrak)
Bagaimana kalau para ortu ini menganggap serial Oshin sebagai drakor yang paling pertama ditayangkan di televisi?
Keempat, mereka sok ngerti budaya dan bahasa korea.
Saat ada adegan makan-makan, para ortu ini pasti akan bangga berkomentar bahwa mereka sangat mengenal bulgogi alias daging semur korea berwijen yang pada tahun 80an sangat populer disuguhkan di pesta-pesta kawinan di Jakarta, Bandung atau Surabaya misalnya.
Atau mereka akan pamer bahwa mereka tahu persis bahwa 'kamsha hamnida' adalah 'terima kasih' dalam bahasa korea. Dalam bahwa kata kamsha masih bersaudara dengan kata kamsia yang adalah dialek hokkien di Indonesia.
Mereka tentu akan terkejut setengah mati kalau tahu bahwa makanan korea yang terkenal di Indonesia sudah jauh melampaui bulgogi tapi sidah merambah sampai mie instan yang pedasnya melebihi maicih dan bahkan ada ayam Kentucky yang disambelin sampai pedas vol !
Para ortu juga akan kaget jika tahu bahwa bahasa korea yang populer di Indonesia terutama di antara die hard fans drakor  tidak lagi sekedar kamsha hamnida, saranghaeyo, tapi sudah sampai pada penggunaan suffix yang kompleks seperti -seumnida atau -seumnika....
Akhirnya, sebenarnya penulis ini sedang ngomongin siapa?Â
Ya orang tua.Â