Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nyebelinnya Nonton Drakor Bareng Ortu

3 Mei 2021   22:40 Diperbarui: 4 Mei 2021   04:29 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
What happen to my family (sumber: tangkapan layar KBS)

Satu kata saja: nyebelin!

Itu adalah kesan yang pasti akan muncul saat kita nonton drama korea (drakor) bersama dengan orang tua. Ya ortu. Baik itu ortunya kita sendiri maupun ortunya orang lain, termasuk ABG alias Angkatan Babe Gue atau generasi X, maupun baby boomers atau orang-orang tua yang lahir sebelum tahun 1980.

Mengapa nyebelin? Karena orang-orang generasi pra-milenial itu tidak mengerti sama sekali tentang drakor, namun akan berkomentar dan bertanya akan hal-hal yang tidak relevan sementara mereka menonton drakor.

Berikut ini saya buatkan daftar pendek dari beberapa hal yang paling menyebalkan saat generasi tua alias para ABG (angkatan babe gue) itu nonton drakor.

Pertama, mereka tidak akan hafal nama karakter-karakter di drakor yang mereka tonton.

Nama-nama korea yang umumnya terdiri dari tiga suku kata yang terpisah itu umumnya akan memusingkan para ABG. Mungkin akan perlu 4 sampai 5 episode (!) sampai seorang ABG bisa menghafal dengan benar nama-nama tokoh di drakor yang mereka tonton.

Kalau lewat 5 episode mereka belum sanggup menghafal, pada umumnya mereka akan menciptakan nama-nama sendiri untuk toloh-tokoh di drakor yang mereka tonton. 

Selain Ban-Kim Moon dan Kim-Jong Il, maka salah dua dari nama favorit mereka adalah Park-Jo Bong dan Kim-Moon So yang notabene adalah nama pasangan ganda putra bulu tangkis Korea Selatan yang kondang di tahun 80an... #haduh

Kedua, mereka sok ngerti lagu-lagu di drakor, padahal ngawur.

Naini. Kalau sudah masuk ke soundtrack maka orang-orang tua ini akan ikut-ikut bersenandung sok faham. 

Tapi ya gitu deh, lagu korea mereka tidak jauh dari Arirang, Kokoro no tomo, Amayadori, atau Ue o muite aruko. Lho yang tiga lagu terakhir kan bukan lagu Korea? Ya bodoh amat, yang penting beda-beda tipis... 

Ketiga, membanding-bandingkan cerita drakor dengan 'filem-filem (mirip) korea lainnya'

Ini mungkin yang paling menyebalkan. Masih mending kalau para ortu ini membandingkan drakor dengan 'sejenis drakor lain' yang mungkin sempat mereka tonton di penghujung masa mudanya seperti Meteor Garden, Tokyo Love Story, atau 101 Proposals. (#Gubrak)

Bagaimana kalau para ortu ini menganggap serial Oshin sebagai drakor yang paling pertama ditayangkan di televisi?

Keempat, mereka sok ngerti budaya dan bahasa korea.

Saat ada adegan makan-makan, para ortu ini pasti akan bangga berkomentar bahwa mereka sangat mengenal bulgogi alias daging semur korea berwijen yang pada tahun 80an sangat populer disuguhkan di pesta-pesta kawinan di Jakarta, Bandung atau Surabaya misalnya.

Atau mereka akan pamer bahwa mereka tahu persis bahwa 'kamsha hamnida' adalah 'terima kasih' dalam bahasa korea. Dalam bahwa kata kamsha masih bersaudara dengan kata kamsia yang adalah dialek hokkien di Indonesia.

Mereka tentu akan terkejut setengah mati kalau tahu bahwa makanan korea yang terkenal di Indonesia sudah jauh melampaui bulgogi tapi sidah merambah sampai mie instan yang pedasnya melebihi maicih dan bahkan ada ayam Kentucky yang disambelin sampai pedas vol !

Para ortu juga akan kaget jika tahu bahwa bahasa korea yang populer di Indonesia terutama di antara die hard fans drakor  tidak lagi sekedar kamsha hamnida, saranghaeyo, tapi sudah sampai pada penggunaan suffix yang kompleks seperti -seumnida atau -seumnika....

Akhirnya, sebenarnya penulis ini sedang ngomongin siapa? 

Ya orang tua. 

Mungkin 'orang tua' dalam konteks drakor ini bukan lagi mereka yang masuk dalam kategori demografis usia tertentu.  Kategori orang tua di sini adalah mereka yang sulit menemukan eksistensinya dalam jaman yang bergerak serba cepat. 

Serba cepat tidak hanya dalam kemampuan menangkap arus informasi tapi juga dalam hal belajar, beradaptasi, dan berkreasi. Hal-hal yang sayangnya lebih melekat pada generasi milenial dan yang lebih muda.

Apa yang terjadi saat 'orang tua' mencoba memahami drakor sangat menggambarkan bagaimana suatu generasi mencoba mempertahankan eksistensinya yang makin terkikis di tengah angin kencang perubahan. 

Cara bertahan itulah yang akhirnya menentukan. Konyol atau tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun