Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Deja Vu atau Sudah Lihat?

11 Maret 2021   13:44 Diperbarui: 11 Maret 2021   13:51 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misalnya, apakah seorang pengamat politik mencap fenomena mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyerang Marzuki Alie di tahun 2013 lalu kembali melakukannya di tahun 2021 sebagai "deja vu"?  Atau menyematkan istilah "deja vu" untuk fenomena perebutan kekuasaan suatu partai yang pada dasarnya lumrah terjadi?  

Atau bisakah kata "deja vu"diberikan untuk menyebut fenomena bagaimana Salah dan Mane (bukan Salah-Maneh) kembali mencetak gol-gol ke gawang Leipzig pada pertandingan kedua perdelapan final Piala Champion setelah mereka melakukan hal yang sama di pertandingan pertama?

Jelas bahwa penggunaan istilah "deja vu" untuk ketiga contoh peristiwa di atas tidak tepat. 

Pertama, ketiga peristiwa itu hanyalah pengulangan dari peristiwa serupa yang benar-benar sudah pernah terjadi. Kedua, sangat kecil kemungkinan bahwa sang pengamat (politik dan sepakbola) mengalami intensitas yang tinggi seperti denyut jantung yang lebih cepat atau keringat dingin saat menyaksikan fenomena itu terjadi.  

Jauh lebih tepat jika pada ketiga peristiwa itu disematkan kata "sudah lihat" daripada kata "deja vu". 

Namun demikian, hal ini menimbulkan dua masalah.

Pertama, kata "deja vu" disematkan untuk menamai suatu peristiwa tentu saja dengan suatu tujuan tertentu. Dalam kasus judul artikel Kompasiana tentunya sang penulis sengaja menggunakan istilah "deja vu" yang jauh lebih seksi dan menjual ketimbang kata "sudah lihat".

Misalnya judul "Deja vu Kudeta PDI Megawati di Era Orde Baru" akan jadi cupu (culun punya) jika diganti menjadi "Sudah Lihat Kudeta PDI Megawati di Era Order Baru".

Kedua, jika kata "deja vu" hanya dipakai sebagai istilah untuk menandakan fenomena kejiwaan tentu akan sangat jarang penulis yang dapat memakai istilah itu sebagai judul. Di Kompasiana misalnya kata tersebut hanya akan dapat dipakai di beberapa kanal seperti "Kesehatan" atau "Fiksiana" dan tentu tidak bisa dipakai di kanal "politik" maupun "bola".

- Jakarta 11 Maret 2021, Menuju Warteg - 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun