Ada istilah dari Bahasa Perancis yang cukup populer untuk dipakai sebagai judul di berbagai tulisan di Kompasiana sejak blog kroyokan ini dibuka untuk umum pada tahun 2010, yaitu "deja vu" dan "de javu". Ada dua macam pemenggalan kata yang kita temukan. Istilah manakah yang benar?
Lewat pencarian di situs kompasiana.com atas kata "deja vu" kita dapat menemukan 98 judul artikel sejak 2010 yang menggunakan kata tersebut pada judul tulisan. Sebaliknya pencarian atas kata "de javu" memunculkan 51 judul tulisan.Â
Hasil ini cukup menggembirakan karena ternyata 66% Kompasianer telah menggunakan kata yang benar yaitu "deja vu" dan bukan kata yang salah yaitu "de javu"! Â
Deja vu aslinya berasal dari dua kata yaitu deja dan vu. Kata "deja"Â (dengan tanda aksen tirus di atas huruf e dan aksen non-tirus di atas huruf a) berarti "sudah", sementara kata "vu" adalah bentuk partisip lampau dari kata dasar "voir" yang berarti "lihat". Istilah "deja vu" ini dipakai sehari-hari dalam bahasa Perancis dengan erti " sudah lihat". Â Misalnya: saya sudah lihat filem itu (j'ai deja vu ce film), dia sudah lihat pertandingan itu (il a deja vu ce match) dan sebagainya.Â
Namun demikian, erti istilah deja vu yang sering kita lihat sebagai judul di media massa termasuk di Kompasiana bukan sekedar berarti sudah lihat. Istilah "deja vu" pertama kali dipakai untuk mengistilahkan suatu sensasi atau kesan oleh filsuf Perancis Emile Boirac  di tahun 1876 dalam bukunya "l'Avenir des sciences psychiques" atau masa depan ilmu-ilmu kejiwaan.Â
Secara lengkapnya menurut kamus kedokteran dari Akademi Nasional Kedokteran Perancis, deja vu adalahÂ
suatu kesan atau sensasi yang timbul secara mendadak dan seringkali begitu kuat bahwa seseorang pernah melihat atau mengalami suatu peristiwa, bertolak belakang dari segala fakta dan kemungkinan.Â
Secara kedokteran, referensi yang sama juga menyebut bahwa deja vu adalah salah satu fenomena yang terkait dengan paramnesia yaitu gangguan ingatan yang sering ditandai dengan pembentukan atau deformasi kenangan.Â
Dari deskripsi di atas, "deja vu" sebagai fenomena kejiwaan ditandai oleh dua hal. Pertama, adanya intensitas yang mendadak dan kuat atau tinggi dari sensasi atau kesan yang timbul yang dirasakan oleh orang yang mengalami. Kedua, peristiwa atau kejadian yang sepertinya sudah pernah dilihat atau dialami oleh sang subyek sebenarnya belum pernah dialami atau dilihat.
Dengan demikian, jelas ada perbedaan antara "deja vu" yang merupakan fenomena kejiwaan dengan "deja vu" yang sekedar berarti sudah lihat.Â
Sudah tepatkah penyematan istilah "deja vu" untuk menandai berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini?Â
Misalnya, apakah seorang pengamat politik mencap fenomena mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyerang Marzuki Alie di tahun 2013 lalu kembali melakukannya di tahun 2021 sebagai "deja vu"? Â Atau menyematkan istilah "deja vu" untuk fenomena perebutan kekuasaan suatu partai yang pada dasarnya lumrah terjadi? Â
Atau bisakah kata "deja vu"diberikan untuk menyebut fenomena bagaimana Salah dan Mane (bukan Salah-Maneh) kembali mencetak gol-gol ke gawang Leipzig pada pertandingan kedua perdelapan final Piala Champion setelah mereka melakukan hal yang sama di pertandingan pertama?
Jelas bahwa penggunaan istilah "deja vu" untuk ketiga contoh peristiwa di atas tidak tepat.Â
Pertama, ketiga peristiwa itu hanyalah pengulangan dari peristiwa serupa yang benar-benar sudah pernah terjadi. Kedua, sangat kecil kemungkinan bahwa sang pengamat (politik dan sepakbola) mengalami intensitas yang tinggi seperti denyut jantung yang lebih cepat atau keringat dingin saat menyaksikan fenomena itu terjadi. Â
Jauh lebih tepat jika pada ketiga peristiwa itu disematkan kata "sudah lihat" daripada kata "deja vu".Â
Namun demikian, hal ini menimbulkan dua masalah.
Pertama, kata "deja vu" disematkan untuk menamai suatu peristiwa tentu saja dengan suatu tujuan tertentu. Dalam kasus judul artikel Kompasiana tentunya sang penulis sengaja menggunakan istilah "deja vu" yang jauh lebih seksi dan menjual ketimbang kata "sudah lihat".
Misalnya judul "Deja vu Kudeta PDI Megawati di Era Orde Baru" akan jadi cupu (culun punya) jika diganti menjadi "Sudah Lihat Kudeta PDI Megawati di Era Order Baru".
Kedua, jika kata "deja vu" hanya dipakai sebagai istilah untuk menandakan fenomena kejiwaan tentu akan sangat jarang penulis yang dapat memakai istilah itu sebagai judul. Di Kompasiana misalnya kata tersebut hanya akan dapat dipakai di beberapa kanal seperti "Kesehatan" atau "Fiksiana" dan tentu tidak bisa dipakai di kanal "politik" maupun "bola".
- Jakarta 11 Maret 2021, Menuju Warteg -Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H