Dua istilah asing  yaitu ghosting dan sidebarring begitu sering muncul akhir-akhir ini di berbagai media. Kompasiana bahkan sempat menjadi salah satu atau salah dua dari kedua istilah berbahasa Inggris tersebut sebagai topik pilihan untuk dikupas tuntas oleh Kompasianer.
Fenomena terkait kedua istilah tersebut pada dasarnya bukanlah hal yang baru terjadi di kehidupan sosial masyarakat. Tapi entah kenapa justru kedua istilah asing tersebut yang terdengar maupun terbaca menonjol akhir-akhir ini dan bahkan menjadi kecenderungan untuk dipakai dalam penulisan berita maupun opini dalam bahasa Indonesia yang baku.
Klasik atau konvensional-nya kedua fenomena ini misalnya dapat dilihat dari khazanah lagu-lagu Pop Jawa, terutama yang mengangkat tema-tema patah hati atau dalam bahasa Jawa disebut ambyar.Â
Ghosting = Â Peraiban? Meraib?
Untuk istilah ghosting misalnya, siapa lagi kalau bukan Sang Maestro, Almarhum Didi Kempot, sang godfather of the brokenhearted atau Bapak sobat ambyar yang mampu merekam dan mendefinisikannya dalam bahasa Jawa secara sangat tepat. Penyair dan pemusik yang berfalsafahkan ambyar tak jogeti (kumenari di atas kepatahatian) Â merekam fenomena ghosting secara tepat dalam lagunya "Ninggal Tatu" yang hentakan gendangnya luar biasa mengasyikan.
Awal dari lagu Ninggal Tatu yang dalam bahasa Indonesia berarti kira-kira "meninggalkan dalam keadaan terluka" memuat syair demikian:
Neng ngopo ra crito (Mengapa tak berterus terang)
yen kowe wes ra tresno (Kalau kau tak lagi cinta)
neng kowe malah lungo (Dan kau malah pergi)
ninggal tatu ning dodo (Tinggalkan luka di dada)
Bagian awal di atas jelas memberikan berbagai unsur yang memenuhi istilah ghosting yaitu ketidak-terusterangan, pergi diam-diam dan melukai.
Bagian pengulangan tembang ini lebih jelas lagi memberikan makna istilah asing itu: