Mencampur minuman resmi dengan obat, baik terlarang maupun obat legal atau dengan zat-zat lainnya adalah sama bahayanya dengan membuat dan mengonsumsi minuman oplosan. Mencampur minuman beralkohol dengan minuman berenergi misalnya, lazim dilakukan kalangan tertentu dan sebaiknya dihindari karena kita kita tidak tahu efek yang terjadi atas campuran larutan yang berbeda.
Variasi cara minum seperti melakukan strike, meminum dengan sekali tenggak atau meminum miras dengan sedotan juga dapat berakibat fatal jika tidak biasa melakukannya.
Ketujuh (Yang tersulit): Tahu Batas!
"Tahu batas" dan berhenti sebelum batas itu tercapai adalah hal yang tersulit untuk dilakukan. Satu cara yang paling mudah adalah dengan menghentikan minum saat koordinasi kepala leher dan anggota badan mulai terganggu yaitu terasa berat untuk bergerak.
Di negara-negara seringkali ada aturan tangan kanan bagi mereka yang bersosialisasi di suatu acara dengan minuman beralkohol namun tetap harus mengemudi saat pulang nanti yaitu maksimum sekaleng besar bir atau segelas kecil anggur. Walau tidak terlalu tepat namun batasan tersebut seringkali dipercaya tidak akan menyebabkan gangguan saat mengemudi dan tidak akan menyebabkan kadar alkohol dalam nafas melampaui ambang atas saat dideteksi dengan tes tiup oleh polisi.
Pada akhirnya memang keputusan untuk minum atau tidak adalah keputusan setiap pribadi yang diambil berdasarkan norma-norma yang dianutnya. Keputusan pemerintah untuk memasukan minuman beralkohol sebagai salah satu industri dalam daftar industri positif seharusnya juga diikuti dengan pendidikan dan kampanye tentang bahaya alkohol maupun pendidikan tentang bagaimana mengonsumsinya dengan bijak.
Pelarangan total justru hanya akan berakibat pada peningkatan konsumsi miras oplosan yang berakibat fatal pada kesehatan maupun pemahaman bahaya alkohol yang rendah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H