Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hibernum Tempus

7 Februari 2021   07:19 Diperbarui: 7 Februari 2021   11:45 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hati-hati kepleset Mas, jalanannya licin sekali pasti!
Salam buat istri dan anak-anakmu.. Dadaa!"

Lalu bersahut-sahutan kata "dadaaa" pun terdengar. Bude, pakde, oom, tante, dan semua sepupuku yang siang ceria itu berkumpul di arisan keluarga di Jakarta. Semua berebut mengatakan "dadaa" sambil berteriak-teriak.

Layar telepon genggamku sejenak dua jenak penuh dengan wajah-wajah dan senyum hangat keluargaku. Aku hanya bisa melambaikan tanganku yang terbungkus sarung tangan tebal sebelum video call itu terputus. 

Kehangatan jakarta, kehangatan cengkrama keluarga cukup sampai di situ.

Kembali ke kenyataan.

Kulepaskan earphone di telinga dan memasukannya ke dalam tas. Sulit membuka rijsluiting tas dengan sarung tangan begitu tebal membungkus jari-jariku.

Kumenengadah. Layar kecil di belakang bilik kemudi supir bus 370 de yang kutumpangi memperlihatkan nama halte berikutnya 'Kessel-lo Heidebergstraat', halte tujuanku. Aku pun berdiri, berjalan terhuyung di dalam bus yang melaju bergerak menuju pintu keluar tengah.

Minggu pagi itu jam 5.45 saat di halte, pintu busku membuka dan angin beku menerpa wajah dan telinga.

Langit masih gelap pekat tak berbintang saat ku turun. Matahari baru terbit nanti sekitar jam setengah sembilan. Suhu udara 'hanya' minus dua derajat, namun angin dingin tajam mulai mencubiti cuping telingaku.  

Permukaan jalan masih sangat licin karena terlapisi es yang berwarna kehitaman, sisa salju turun yang lalu membeku sejak dua hari yang lalu. Mataku yang masih sepat harus bisa membedakan mana jalan kering, mana lapisan hitam es yang menyebalkan. Sekali dua kali terpeleset juga, untung tidak jatuh.

Masih sepuluh menitan lagi aku harus menyusuri jalan pinggir kota untuk mencapai hypermarket tempatku bekerja di gudang. Hypermarket baru akan buka jam 9 nanti, tapi kiriman ikan beku yang diantar truk boks es de Smet & Fils sudah akan datang tepat 6.30.

Ya Tuhan!  Salju tipis turun lagi di kegelapan. Seakan tidak memberi istirahat manusia yang kelelahan dan berjalan tersaruk-saruk ini. Kapan berhentinya dingin ini?

Kadang ingin kuputar waktu agar pilihan jalan hidupku bisa kuganti.

Hari-hari musim dingin tanpa matahari. Wajah-wajah putih enggan tersenyum seakan hanya ingin membagi duka dan kecemasan.

Satu kelok lagi. Semoga truk es itu tidak tidak datang lebih dahulu. Malas rasanya kalau pagi sedingin ini harus kudengar ocehan Carlo si supir truk asal Sardinia, Italia menyumpahi jalan yang licin, udara yang menusuk dan wajah-wajah yang tertekuk.

Delapan jam lagi. Mudah-mudahan matahari bermurah hati. Tak luputkanku bersama anak, istriku nikmati sedikit saja sisa sinarnya. 

Sore nanti.

* (lat.) hibernum tempus: musim dingin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun