Cara terbaik untuk bisa menghadirkan situasi asing tersebut adalah melakukan studi mendalam.
Saya sendiri menghabiskan cukup banyak waktu untuk mempelajari apa yang dilakukan Presiden Alberto Fujimori dan rejim-nya di tahun 90an, membaca berbagai artikel tentang situasi ekonomi, budaya, politik kota Lima dan negara Peru selama rejim tersebut.
Bahkan membaca bagaimana migrasi bangsa Jepang ke Peru dan negara-negara Amerika latin lainnya di awal abad yang lampau untuk bisa memahami siapa presiden Fujimori yang keturunan Jepang!
Keempat, kenali si pengarang!
Saya punya pandangan setiap penulis atau pengarang memiliki suatu misi besar lewat karya-karyanya. Saya juga percaya bahwa suatu kisah roman selalu merupakan buah pengalaman dan kisah hidup sang pengarang selain juga menggambarkan karakter, sifat, ego dari si penulis.Â
Dengan demikian salah satu trik untuk menghasilkan suatu karya penerjemahan yang baik adalah mengenal siapa si penulis.
Saat mulai membaca dan menerjemahkan Cinco Esquinas saya belum pernah membaca satu karya pun dari Vargas Llosa sang pengarang.Â
Untuk mengirit waktu, yang saya lakukan selain mempelajari biografinya adalah membaca berbagai essai maupun ulasan tentang karya-karyanya yang lain untuk memahami gaya maupun misi besar Vargas Llosa, membaca tulisan opini-opini politiknya maupun berita-berita di koran tentang pemenang Nobel 2010 itu.
Kelima, jangan menerjemahkan di saat capek!
Sama seperti menulis di Kompasiana menerjemahkan roman hanyalah suatu aktivitas saya untuk mengisi waktu senggang. Seringkali waktu yang saya miliki untuk menerjemahkan hanya di malam hari di kala saya sudah menyelesaikan semua pekerjaan utama saya.
Namun demikian, penerjemahan yang saya lakukan di malam hari saat sudah lelah selalu menghasilkan hasil terjemahan yang buruk dan saya ulang kembali penulisannya. Saya bisa menyimpulkan bahwa penerjemahan ternyata memerlukan kesegaran otak yang akan mendukung proses kreatif.