Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Pepatah Indah Ini Dipakai Menindas Minoritas

26 Januari 2021   17:13 Diperbarui: 27 Januari 2021   08:41 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://www.laodeahmad.com/

Di mana bumi dipijak. Di situ langit dijunjung!

Pepatah yang teramat indah yang selalu mengingatkan kita untuk menghormati norma-norma dan adat istiadat yang berlaku di suatu daerah.

Sayangnya, pepatah ini seringkali diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu, terutama mereka yang yang menganggap dirinya sebagai yang mewakili penduduk setempat atau mayoritas untuk menindas orang-orang yang dikategorikan sebagai pendatang atau minoritas.

Contoh ter-aktual disampaikan oleh mantan walikota Padang, Letnan Kolonel Purnawirawan Doktor Haji Fauzi Bahar Magister Sains saat beliau secara gagah perkasa mempertahankan kesahihan Peraturan Walikota Padang (Perda Padang) yang dibuat dan ditetapkannya pada tahun 2005 untuk mewajibkan pemakaian jilbab untuk semua siswi termasuk non-muslim seperti dikutip di Harian Kompas 23 Januari 2021 :

"Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Jadi idealnya harus diikuti. Kalau lah siswi non-muslim tidak memakai jilbab maka hal itu akan memperlihatkan minoritas-nya," kata Fauzi.

Ada tiga penyelewengan Letkol (Purn) Dr H. Fauzi Bahar MSi dengan kalimatnya yang mengutip pepatah mulia tersebut.

Pertama, Doktor Fauzi Bahar MSi tidak mengerti bahwa hak asasi manusia tidak bisa diganggu gugat dan tidak ditentukan oleh konsep mayoritas - minoritas. 

Hak asasi manusia memuat serangkaian hak yang tidak dapat diganggu gugat. Hak untuk hidup, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk berpendapat, hak untuk mendapat sandang, pangan, hak untuk mendapat pekerjaan, hak akan pendidikan dan lain-lain termasuk hak bebas berekspresi, hak untuk menjalankan agama atau keyakinan seseorang. 

Hak untuk untuk hidup misalnya tidak tergantung pada pendapat mayoritas. Keinginan mayoritas warga untuk memukuli sampai mati seorang maling motor yang tertangkap tentu adalah penerapan hukum rimba yang tidak benar. Hak untuk beribadah atau mendirikan tempat ibadah sesuai dengan keyakinan seseorang juga adalah hal yang seharusnya bukan merupakan hal yang diatur oleh konsep mayoritas-minoritas.

Hal ini pun berlaku dengan hak siswi non-muslim untuk bebas untuk tidak mengenakan pakaian yang tidak mencerminkan identitasnya.

Segala dalil seperti kearifan lokal atau norma-norma yang dianut mayoritas, budaya identitas yang dianut nenek moyang dari penduduk mayoritas seharunya tidak berarti apa-apa saat dalil-dalil itu berhadapan dengan hak asasi yang memang tidak bisa diganggu gugat.

Kedua, mantan walikota Padang ini terjebak dalam sesat pikir Argumentum ad populum . 

Sesat pikir ini mempercayai bahwa kebenaran dinyatakan oleh mayoritas.  Atau dengan kata lain, suatu hal dinyatakan benar dan sahih saat mayoritas orang menganggapnya sebagai kebenaran. 

Dalam konteks kasus ini, Doktor Fauzi Bahar MSi menganggap bahwa peraturannya yang mewajibkan siswi non-muslim memakai jilbab adalah  benar karena mayoritas masyarakat menganggap hal ini benar diterapkan. Hal ini dinyatakannya dengan menganggap bahwa pewajiban mengenakan jilbab bagi siswi non-muslim sudah menjadi bagian dari norma-norma yang diterima masyarakat mayoritas di Padang atau di Sumatera Barat maka hal itu adalah benar dan tak perlu dipertanyakan (take it for granted).

Terakhir, pepatah "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" seharusnya lebih merupakan suatu filsafat hidup yang selayaknya diterapkan oleh minoritas atau pendatang di suatu daerah dan bukan suatu norma yang dipaksakan oleh tuan rumah.

Konsep "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" sesungguhnya adalah konsep hidup yang sangat indah yang ditemui hampir di semua adat dan suku bangsa di nusantara. Jadi pada hakekatnya tak seorang manusia nusantara pun yang asing dengannya.

Di Jawa misalnya konsep ini sangat dekat dengan konsep  empan papan atau tepa slira ( Susetyo dan Widjanarko, 2017). Ketiga konsep ini menuntut keluwesan lahir batin (seseorang) untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pada tempat dan waktu tertentu. Sikap dan tindakan seseorang harus dipertimbangkan tujuannya, yakni untuk siapa, di mana, bagaimana caranya, hingga seberapa jauh kemungkinan pelaksanaannya.

Seorang siswi non-muslim di Padang atau di Sumatera Barat tentu bisa diharapkan untuk tahu menyesuaikan diri maupun penampilan dengan situasi dan kondisi maupun jaman di tempatnya tinggal dan berinteraksi. Hal ini tentu akan dilaksanakan oleh sang siswi sejauh tidak bertentangan dengan keyakinan maupun identitas yang melambangkan keyakinannya.

Namun demikian penyesuaian atau keluwesan sikap tersebut tidak bisa dipaksakan, apalagi jika hal ini bertentangan dengan keyakinan ataupun identitas seseorang. 

Se-minoritas apapun orang itu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun