Segala dalil seperti kearifan lokal atau norma-norma yang dianut mayoritas, budaya identitas yang dianut nenek moyang dari penduduk mayoritas seharunya tidak berarti apa-apa saat dalil-dalil itu berhadapan dengan hak asasi yang memang tidak bisa diganggu gugat.
Kedua, mantan walikota Padang ini terjebak dalam sesat pikir Argumentum ad populum .Â
Sesat pikir ini mempercayai bahwa kebenaran dinyatakan oleh mayoritas. Â Atau dengan kata lain, suatu hal dinyatakan benar dan sahih saat mayoritas orang menganggapnya sebagai kebenaran.Â
Dalam konteks kasus ini, Doktor Fauzi Bahar MSi menganggap bahwa peraturannya yang mewajibkan siswi non-muslim memakai jilbab adalah  benar karena mayoritas masyarakat menganggap hal ini benar diterapkan. Hal ini dinyatakannya dengan menganggap bahwa pewajiban mengenakan jilbab bagi siswi non-muslim sudah menjadi bagian dari norma-norma yang diterima masyarakat mayoritas di Padang atau di Sumatera Barat maka hal itu adalah benar dan tak perlu dipertanyakan (take it for granted).
Terakhir, pepatah "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" seharusnya lebih merupakan suatu filsafat hidup yang selayaknya diterapkan oleh minoritas atau pendatang di suatu daerah dan bukan suatu norma yang dipaksakan oleh tuan rumah.
Konsep "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" sesungguhnya adalah konsep hidup yang sangat indah yang ditemui hampir di semua adat dan suku bangsa di nusantara. Jadi pada hakekatnya tak seorang manusia nusantara pun yang asing dengannya.
Di Jawa misalnya konsep ini sangat dekat dengan konsep  empan papan atau tepa slira ( Susetyo dan Widjanarko, 2017). Ketiga konsep ini menuntut keluwesan lahir batin (seseorang) untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pada tempat dan waktu tertentu. Sikap dan tindakan seseorang harus dipertimbangkan tujuannya, yakni untuk siapa, di mana, bagaimana caranya, hingga seberapa jauh kemungkinan pelaksanaannya.
Seorang siswi non-muslim di Padang atau di Sumatera Barat tentu bisa diharapkan untuk tahu menyesuaikan diri maupun penampilan dengan situasi dan kondisi maupun jaman di tempatnya tinggal dan berinteraksi. Hal ini tentu akan dilaksanakan oleh sang siswi sejauh tidak bertentangan dengan keyakinan maupun identitas yang melambangkan keyakinannya.
Namun demikian penyesuaian atau keluwesan sikap tersebut tidak bisa dipaksakan, apalagi jika hal ini bertentangan dengan keyakinan ataupun identitas seseorang.Â
Se-minoritas apapun orang itu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H