Saat itu saya baru menyadari bahwa ternyata memang teman-teman sekelas saya di negara tersebut sudah sangat terbiasa mencantumkan referensi dalam setiap tugas yang mereka buat. Entah itu tugas ilmiah 1 paragraf atau tugas menulis 100 halaman, mereka akan setia mencantumkan referensi.Â
Berbudaya ilmiah seperti itu yang saya pelajari dengan selalu mencari dan membuat referensi jika diperlukan dalam menulis. Kebiasan seperti ini di kemudian hari ternyata berpotensi membuat kita berpikir kritis, misalnya untuk selalu mempertanyakan kebenaran suatu informasi, suatu data, suatu argumen dan lain-lain yang sifat kebenarannya belum dapat diterima begitu saja (take it for granted). Â Â
Kedua: untuk tidak menyebarkan kebohongan atau hoax
Hoax atau kebohongan dapat disebarkan lewat tulisan yang tidak di-moderasi secara ketat seperti di Kompasiana. Adalah kesadaran dari masing-masing penulis untuk menjamin kebenaran fakta, data, atau teori yang diungkapkan dalam tulisannya.
Menyinggung butir pertama, adalah kesadaran setiap penulis untuk menyajikan sumber data, fakta ataupun teori dalam tulisannya terutama yang menyangkut kebenaran yang sifatnya masih kontroversial atau tidak dapat diterima begitu saja.
Misalnya: di tulisannya kompasianer Jati Kumoro mengungkap bawa Rake Panangkaran dari kerajaan Medang (Mataram Kuna)-lah yang disebut sebagai Wisnu di prasasti Ligor yang ada di Thailand Selatan. Kang Jati mencantumkan berbagai referensi ilmiah untuk mendukung hipotesanya tersebut.
Contoh lain: jika saya ingin menulis bahwa salah satu alasan Kerajaan Medang tidak menguasai Selandia Baru adalah karena Kerajaan Medang tahu bahwa daratan Selandia Baru beriklim tandus, maka saya merasa wajib mencantumkan referensi.Â
Misalnya tulisan-tulisan ilmiah dari antropolog, sejarawan, ataupun arkeolog yang membuktikan bahwa pernah ada ekspedisi kerajaan Medang ke Selandia Baru untuk meng-observasi kondisi lahan di sana. Tanpa menyertakan referensi maka tulisan saya tentang pengetahuan orang-orang Medang tentang Selandia Baru adalah bohong belaka.
Ketiga: untuk mencegah plagiarisme atau penjiplakan dan membangun argumen
Tulisan di Kompasiana sekali lagi tidaklah di-moderasi secara ketat. Adalah godaan tersendiri bagi Kompasianer untuk menulis suatu teori atau pendapat dengan cara menjiplak tulisan orang lain. Sepanjang bergabung dengan Kompasiana, penulis sendiri sudah tiga atau empat kali menemukan artikel-artikel jiplakan dari penulis lain atau terjemahan dari bahasa Inggris.
Dengan mencantumkan referensi, seorang penulis mengakui hasil karya penulis lain dan membangun argumen-argumennya dengan dasar sumber-sumber tersebut.Â