Dalam percakapan-percakapan bahasa Jawa sering muncul istilah "londho didong" untuk menyebut orang asing berkulit putih atau orang bule. Â Istilah ini biasanya dipakai oleh orang-orang tua atau orang jaman dulu.
"Oh ket mau aku kepethuk londho didong neng dhalan," begitu misalnya sering dituturkan Mbah saya saat dulu dia melihat orang bule di jalan.
Siapa itu londho didong atau bule didong? Apakah didong itu kata serapan dalam bahasa Belanda?
Sedikit pencarian ber-metode kothak-kathik gathuk untuk menelusuri kata-kata dalam bahasa asing dengan yang berbunyi didong, membawa saya pada satu idiom bahasa Perancis yaitu "dis donc!" Â
Idiom "dis donc" sampai hari ini  sering dipakai dalam bahasa Perancis percakapan untuk menyatakan keterkejutan dan biasa dirangkai dengan kata celoteh "ben" atau "bah" menjadi:
"bah, dis donc!" (dibaca: bah didong!)
"ben, dis donc!" (dibaca: bang didong!)
Kedua frasa di atas, secara kasar memiliki arti "ah yang benar saja" atau "ah mosok!"
Dengan demikian dari penelitian kecil ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa londho didong adalah orang atau bule Perancis.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana atau sejauh mana persinggungan antara orang-orang Perancis dengan penduduk Nusantara terutama di Jawa, sampai bangsa Perancis di Jawa memiliki satu julukan khas yaitu londho didong? Â
Menurut Cholsy (2017) hubungan antara Perancis dan Nusantara terjadi sejak abad ke-16, tepatnya pada 1526 yang ditandai dengan perjalanan Verrazane dan Pierre Caunay de Honfleur ke Sumatera (1526-1529) yang menurut Dorleans (2006) adalah perjalanan untuk membuka jalur perdagangan rempah-rempah antara kedua belahan dunia tersebut.Â
Namun kehadiran pengaruh Perancis di Nusantara yang paling kuat terjadi antara 1810 dan 1811 saat Kerajaan Inggris berperang melawan Kerajaan Belanda yang saat itu dikuasai oleh adik Napoleon Bonaparte yaitu Louis Bonaparte. Sebelum perang terjadi, pada sekitar tahun 1800, seorang konsul bernama d'Houdetot (Marihandono, 2004) yang menurut penulis adalah Jenderal Cesar Louis d'Houdetot sudah memberikan beberapa laporan ke pada Napoleon Bonaparte tentang pentingnya menguasai Jawa.Â
Dalam perang 1810-1811 sendiri Marihandono (2004) mencatat adanya kedatangan pasukan 500 tentara Eropa (Perancis dan Belanda) di bawah pimpinan Brigadir Jendral Jumel. Menurut Wikipedia, Brigjen Jean-Marie Jumel dan pasukannya mendarat di Gresik pada 27 April 1811 lalu tiba di Buitenzorg atau Bogor pada tanggal 15 Mei 1811 sebelum menyerbu ke Benteng Meester Cornelis (Jatinegara), Batavia (Jakarta).
Kekuasaan regim Napoleon di Jawa selanjutnya dipegang oleh Gubernur Jenderal Jan Willems Jansen yang ditunjuk Napokeon menggantikan Daendels. Namun demikian "penjajahan Londho Didong atau Perancis" di Jawa berlangsung singkat.Â
4 Agustus 1811, 9000 marinir kerajaan Inggris di bawah pimpinan Lord Minto mendarat di Cilincing, Batavia dan memporakporandakan Pasukan gabungan Perancis-Belanda di Weltevreden (Lapangan Banteng). Â Gubernur Jenderal JW Janssen dan sisa-sisa pasukan melarikan diri ke Bogor, lalu ke Semarang sebelum akhirnya takluk sepenuhnya pada pasukan Inggris, di daerah Srondol pada 18 September 1811.
Akhirnya dari tulisan kecil ini bisa dirangkum dua hal. Pertama, bahwa londho Didong adalah orang Perancis dan kedua bahwa londho didong pernah berkuasa di Jawa selama sekitar 4-5 bulan antara Mei dan September 1811.
-Setelah sarapan, Jakarta 21 Desemberrr 2020-
Referensi
Cholsy, H. (2017) Le progres d'utilization des vocabulaires francais en Indonesie, Actes de la conference internationale sur le francais "Intelligence Linguistique et Litteraire a l'ere Informatique", Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 18 November
Dorleans (2006)Â Orang Indonesia & Orang Prancis: Dari Abad XVI Sampai dengan Abad XX.
Jakarta: KepustakaanPopulerGramedia.
Marihandoko, M. I. D (2004) Java sous la domination francaise, Universitas Ibdonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H