Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Komentar "Dicuekin", Pantaskah Merana?

19 Januari 2016   06:08 Diperbarui: 19 Januari 2016   06:38 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memberi komentar di suatu artikel Kompasiana sesungguhnya adalah perbuatan mulia seorang Kompasianer. Memberi komentar berarti memberi perhatian "lebih" pada artikel yang bersangkutan. "Lebih" di sini maksudnya adalah bahwa sang Kompasianer pembaca artikel tidak sekedar meluangkan waktunya untuk membaca artikel itu, tapi juga meluangkan waktunya untuk berkomunikasi dengan si Kompasianer empunya tulisan atau yang sering disebut sebagai "pemilik lapak".

Jika memberi komentar adalah perbuatan mulia, maka perbuatan "membalas komentar" adalah perbuatan yang tidak kalah besar pahalanya bahkan bisa digolongkan sebagai perbuatan yang "sangat mulia" dari seorang Kompasianer. Ibarat kedatangan tamu, maka Kompasianer empunya lapak yang membalas komen adalah seumpama seorang tuan rumah yang tidak hanya mempersilakan tamunya masuk tapi juga menyuguhkan kopi dan emping lengkap dengan chiki (halah..).

Jika membalas komentar adalah perbuatan yang sangat mulia, mengapa seringkali terjadi adanya komentar yang tidak dibalas? Mengapa ada komentar-komentar yang "dicuekin"?

Ada beberapa poin jawaban atas pertanyaan tersebut:

Pertama, si Kompasianer empunya lapak sedang sibuk berat.

Setiap Kompasianer tentunya punya aktifitas utama yang jadi kesibukannya sehari-hari di luar menulis di Kompasiana. Tidak sekedar kesibukan yang terkait dengan profesi seperti sedang bertemu klien, sedang rapat ke luar negeri seperti ke Melbourne, sedang memberikan bimbingan ke junior-junior di kantor tapi juga mungkin kesibukan yang tak kalah pentingnya seperti menyapu pelataran belakang rumah, mengisi bak mandi, momong cucu, sedang nonton drakor (drama korea), atau sekedar sedang mengasah clurit.....

 

Kedua, si Kompasianer empunya lapak lupa kalau pernah menulis artikel.

Tak ada gading yang tak marten. Namanya juga lupa, khan nggak inget.

Demikianlah Kompasianer sebagai manusia selalu ada kelemahannya. Tidak jarang seorang Kompasianer lupa bahwa pernah menulis suatu artikel. Setelah mem-posting artikelnya, Kompasianer yang bersangkutan lalu meninggalkan saja lapaknya itu untuk pergi membali ikan cupang atau mencari kaos bola cap Barcelona, atau bahkan asyik nongkrong lalu memberi komen panjang lebar di artikel Kompasiana yang lain misalnya.

 

 

Ketiga, si Kompasianer empunya lapak hanya belum sempat membalas komentar Anda

Bukan sibuk, bukan lupa. Ada kemungkinan si penulis atau empunya lapak sudah merencanakan akan membalas komentar Anda di suatu saat nanti. Mungkin bukan di jam ini, tadi pagi, esok hari atau lusa nanti... Garuda bukan bur... Eh maksudnya mungkin tulisan Anda akan dibalas suatu saat nanti. Jadi bersabar saja. Misalnya Anda memberi komentar bulan September dibalasnya pas tahun baru...Untuk Kompasianer pemilik lapak seperti ini, empat kali empat enam belas, cepat atau lambat pasti dibalas...

 

Keempat, tidak ada Award "Komentator" atau "Pembalas Komentar" Of The Year Kompasiana (!)

Betapa tidak mulianya pekerjaan memberi komentar dan membalas komen?

Mereka yang rajin memberi komentar maupun membalasnya adalah para Kompasianer yang ber-Kompasiana tanpa pamrih.

Dua pekerjaan ini walau sama mulianya dengan menulis artikel sampai Kompasianipar 2015 yang lalu ternyata masih dipandang sebagai kegiatan kasta kedua oleh kita semua. Tidak ada award, tidak ada komentar HL, NT atau terpopuler untuk menghargai komentar maupun balasannya. Toh demikian, tetap saja ada Kompasianer-Kompasianer yang rajin memberi komentar dan membalasnya.

Apa jadinya Kompasiana tanpa komentar? Apa jadinya Kompasiana tanpa balas membalas Komentar?

Akhirnya menjawab pertanyaan judul tulisan ini: Komentar "Dicuekin", Pantaskah Merana?

Jawabannya: TIDAK.

Pertama: karena kalimat tanya di judul artikel ini mengandung kesalahan gramatika.

Subyek (S) di kalimat utama adalah kata 'komentar'. Anak kalimat 'pantaskah merana' tidak menyertakan subyek, yang berarti subyeknya adalah tetap 'komentar'. 'Komentar' tidak bisa merana. Yang bisa merana adalah Kita, para Kompasianer.

Kedua: jika kalimat diperbaiki maka akan menjadi: Komentar "Dicuekin", Pantaskah Kita Merana?

Jawabannya tetap saja: TIDAK.

Mengapa? Karena kita tidak pantas merana karena komentar kita 'dicuekin'. Kita hanya pantas merana karena judi (halaah...)

Akhirnya, jika ada Kompasianer yang marah-marah lalu bertanya, "Ini maksudnya apa sih bikin bikin tulisan kayak gini, sudah kangen sama clurit? mau cari gara-gara?"

Saya hanya akan menjawab, "Nggak Om, saya nggak cari gara-gara. Cuma cari sesuap NT atau seraup HL...."

- Sekian - the End - Fin -

(Selamat Ulang Tahun Koplak Yo Band!!!!!!!!!!!! )

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun