Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan featured

Keadilan dan Tragedi Bintaro 1987

18 Oktober 2012   21:49 Diperbarui: 19 Oktober 2020   09:20 11280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
101 korban tewas dan 238 orang luka berat yang tercatat kibat terjadi kecelakaan kereta api terbesar dan paling tragis dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia, Senin pagi ( 19/10/1987 ) pukul 07.10 WIB di kampung Pondok Betung, RW IX, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Tabrakan antara KA patas no.220 dari Tanah Abang menuju Merak dengan LA no. 225 dari Rangkasbitung menuju Tanah Abang. Berita Terkait Kompas 20-10-1987, 1-12. Judul Amplop: Kecelakaan Kereta Api (Foto: Jimmy WP via kompas.com)

Tepat 25 tahun (19/10/1987) yang lalu, 156 nyawa melayang dan lebih dari 300 orang mengalami luka ringan dan berat dalam tabrakan langsung antara dua kereta diesel di Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.

Seperti dirangkum dari blog (Ferdian, 2009), kecelakaan kereta di Senin Pon pagi 19 Oktober 1987 itu berawal dari dua kesalahpahaman.

Kesalahpahaman pertama terjadi antara petugas stasiun Sudimara dan petugas stasiun Kebayoran Lama tentang tempat di mana seharusnya persilangan antara KA225  dan KA220 terjadi.

Saat itu, sekitar pk 06.30 pagi, KA225 jurusan Stasiun Jakarta Kota menunggu di salah satu lajur di stasiun Sudimara dan KA220 jurusan Merak menunggu di salah satu lajur stasiun Kebayoran Lama. Perdebatan berakhir dengan 'mengalahnya' petugas stasiun Sudimara: KA225 harus langsir dan pindah lajur untuk memungkinkan lewatnya KA220 di stasiun Sudimara.

Kesalahpahaman kedua yang terjadi di Stasiun Sudimara antara petugas stasiun, Djamhari dan Masinis KA225 jurusan Stasiun Jakarta Kota, Slamet Suradio.

Diberitakan bahwa dalam kondisi lokomotif yang penuh sesak dengan penumpang yang berjejal, perintah untuk melakukan langsir (Semboyan 46) dalam rangka pindah lajur yang diberikan oleh petugas stasiun, Djamhari tidak dapat dilihat dengan jelas oleh Masinis KA 225 Slamet Suradio. Masinis Slamet Suradio justru mengartikan perintah tersebut sebagai tanda sinyal hijau (Semboyan 40) yang merupakan tanda bahwa lajur telah aman dan keretanya dapat diberangkatkan menuju Stasiun Kebayoran Lama.

Berangkatnya KA225 pada pukul 07.00 WIB itu menimbulkan kepanikan hebat di Stasiun Sudimara karena pada saat yang sama di lajur tersebut telah melaju KA 220 yang diberangkatkan dari Stasiun Kebayoran Lama pada pukul 06.50 menuju stasiun Sudimara, tanpa menunggu sinyal aman dari Stasiun Sudimara.

Usaha Djamhari untuk mengejar KA 225 dengan sepeda motor maupun dengan semboyan bahaya ke Palang Pintu Pondok Betung tidak membuahkan hasil.

skema tragedi bintaro. (ilustrasi pribadi)
skema tragedi bintaro. (ilustrasi pribadi)
Pada pukul 07.10 WIB, KA 225 dan KA220 bertabrakan di dekat SMUN 86 Bintaro, sekitar 200 meter dari Perlintasan Kereta Pondok Betung. 

Walau kedua kereta diesel melaju dengan kecepatan rendah, antara 25 sampai 45 km/jam saja, namun momentum yang terjadi saat tabrakan sangatlah besar.

Hal ini menyebabkan salah satu lokomotif KA melesak masuk dan terbungkus oleh gerbong kereta yang menghantamnya dari belakang dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Kecelakaan kereta di Bintaro ini adalah salah satu kecelakaan kereta dengan korban jiwa terbesar di Indonesia.

Dikutip dari Wikipedia, sebagai buntut peristiwa tersebut Masinis KA 225 Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Kondektur KA225, Adung Syafei, dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun 6 bulan dan Umrihadi, pimpinan Stasiun Kebayoran Lama dipenjara selama 10 bulan. ***

Hasil pengadilan atas tragedi Bintaro hampir seperempat abad yang lalu ini mungkin membuat kita terkesima. Semua yang mendapat ganjaran penjara adalah para petugas di lapangan: masinis, kondektur dan petugas stasiun.

Pada saat yang sama, moda angkutan jalan rel tidaklah sama dengan moda-moda angkutan yang lain. Moda jalan rel merupakan sistema yang sangat terstruktur dan berhierarki. Seorang masinis, misalnya tidak bisa menjalankan keretanya tanpa sinyal hijau dari petugas stasiun.

Seorang petugas atau kepala stasiun tidak dapat memberikan sinyal hijau sebelum mendapatkan sinyal hijau dari kepala stasiun berikutnya yang akan dilalui oleh rangkaian kereta, dan seterusnya.

Kebebasan seorang masinis untuk ber-manoeuvre juga sangat terbatas. Tidak seperti mobil atau moda angkutan jalan, seorang masinis tidak bisa banting stir ke kiri atau ke kanan untuk menghindari tabrakan.

Jarak pandang yang seringkali terbatas karena geometri tikungan jalan rel, membuat waktu untuk bereaksi dan menghentikan kereta seringkali tidak memadai untuk menghindari tabrakan.

Koordinasi, komunikasi dan kepatuhan adalah kata kunci dalam menjalankan moda angkutan jalan rel. Hal-hal sepele yang mengganggu ketiga hal tersebut dapat berakibat fatal.

Dalam kasus Bintaro, penuhnya lokomotif oleh penumpang yang berjejal (di lokomotif!!) menyebabkan masinis salah mengartikan semboyan atau perintah yang diberikan kepala stasiun. Kekacauan di stasiun Sudimara karena tiga lajur relnya yang terisi penuh juga memicu terjadinya kesulitan koordinasi.

Apakah rendahnya kapasitas gerbong dalam menerima penumpang dan rendahnya kapasitas jaringan rel menampung lalu lintas kereta adalah semata-mata kesalahan masinis, kondektur dan petugas stasiun?

Tahun 1956 atau 31 tahun sebelum tragedi Bintaro, kereta ekspres Madras-Tuticorin mengalami anjlok jembatan sungai Maradaiyar di Tamil Nadu, India yang menyebabkan tewasnya 154 penumpang. Segera setelah kejadian itu, Menteri perhubungan India saat itu, Lal Bahadur Shastri mengajukan pengunduran diri ke Perdana Menteri Jawaharlal Nehru.

Tahun 1993, seperti diberitakan Jawa Pos (6/10/2010), Slamet Suradio, mantan masinis KA225 keluar dari Lapas Cipinang setelah mendekam di sana selama 5 tahun. Tahun 1994 dia diberhentikan dengan tidak hormat dan tanpa uang pensiun dari PT PJKA (sekarang PT KAI) walau sebelumnya dia sudah bekerja lebih dari 20 tahun di perusahaan negara tersebut.

Sekarang untuk menyambung hidupnya di masa tuanya, Slamet Suradio berjualan rokok di dekat stasiun Kutoarjo dengan penghasilan tidak lebih dari Rp. 5000 per hari.

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun