Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tendon Demokrasi

28 Desember 2011   23:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:38 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan suatu reportase di salah satu teve Belgia yang topiknya peringatan 6 tahun peristiwa pemboman metro di kota London di Inggris. Saya tidak serius menonton reportase tersebut karena sebenarnya saya sedang memperbaiki setrikaan yang rusak. Namun perhatian saya tiba-tiba tertarik ke arah teve, saat ditayangkan wawancara antara wartawan teve Belgia dengan seorang pria berkulit hitam yang menggunakan jubah. Pria itu, saya lupa namanya, menyebut dirinya Mujahid asal kota London.

Wawancara dengan sang Mujahid, seperti ditayangkan, berlangsung di beberapa tempat di kota London: di taman, di trotoar, di halaman gedung apartemen dan tempat-tempat lainnya.

Yang menarik adalah adalah klaim sang Mujahid bahwa semakin banyak anak muda kota London yang bergabung dengan pergerakannya dan keyakinannya bahwa beberapa tahun lagi penduduk Inggris akan menerima diberlakukannya syariah di negara tersebut.

Si wartawan lalu bertanya, apa konsekuensinya jika syariah berlaku di Inggris?

Secara gamblang sang Mujahid menjawab, konsekuensinya adalah bahwa sistem pemerintahan demokratis konstitutionil yang sekarang berlaku (di Inggris) akan sepenuhnya dihapus dan diganti dengan sistem pemerintahan syariah.

(sayang sungguh sayang saya tidak bisa menemukan atau mengingat nama acara di teve tersebut)

***

Saya tidak sedang memikirkan apa itu sistem pemerintahan syariah, ataupun sedang membandingkan antara sistem syariah dan demokrasi. Saya tidak anti syariah maupun pro demokrasi. Yang sedang saya pikirkan adalah titik lemah sistem demokratis atas dasar ilustrasi acara teve di atas.

Sistem demokratis (konstitusionil) pada umumnya membebaskan segala bentuk pemikiran maupun aspirasi politik warganya. Sistem demokratis melindungi segala macam aspirasi termasuk aspirasi yang bersifat anti-demokratis. Represi terhadap kebebasan berpendapat atau ber-ide adalah tindakan yang tidak populer dalam iklim demokratis. Yang terlihat dari sikap Sang Mujahid dalam acara televisi adalah keberanian dan keyakinannya dalam menyampaikan idenya, aspirasinya. Beliau sama sekali tidak menampakan rasa takut untuk memberikan wawancara terbuka-nya di media televisi karena beliau tahu bahwa kebebasannya untuk berpendapat dilindungi oleh konstitusi negara yang bersangkutan (Inggris) sekalipun pendapatnya tersebut jelas-jelas menyuarakan cita-citanya untuk mengganti sistem demokratis yang saat ini berlaku di negara tersebut. Sang Mujahid tahu persis bahwa dia tidak akan ditangkap polisi dengan menyuarakan pendapat seperti itu karena itulah haknya di alam demokratis.

Titik lemah dari sistem demokratis jelas terlihat di sini: kebaikan sistem demokrasi untuk mengakomodasi dan melindungi semua aspirasi warga dapat menjadi senjata makan tuan. Sang Mujahid sedang menggunakan sistem demokratis yang berlaku untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasinya. Suatu saat (seperti diutarakannya dalam wawancara tersebut), ketika dukungan atas aspirasinya menjadi mayoritas dan kekuasaan dapat diraih, sistem demokratis akan diganti dengan sistem yang lain. Demokrasi bisa mati karena ulahnya sendiri.

Benarkah demikian?

Menurut filsuf Amerika Serikat, John Rawls (1921-2002), ide anti demokrasi (intolerance) dan para pendukungnya harus tetap dihormati dalam suatu sistem demokratis. Jika tidak maka sistem tersebut tidak bisa disebut sebagai sistem yang demokratis karena sistem tersebut tidak berlaku adil.

Namun demikian, menurut penulis Teori tentang Keadilan (A Theory of Justice) ini, demokrasi juga mengenal dan memperbolehkan adanya represi atas ide anti-demokrasi dalam kondisi-kondisi tertentu. Lebih tepatnya beliau menyatakan bahwa dalam suatu sistem pemerintahan demokratis, suatu paham anti-demokrasi bisa direpresi jika paham tersebut (dan para pendukungnya) atas dasar/alasan yang kuat dianggap membahayakan keamanan warga lainnya maupun dianggap mengancam kelangsungan iklim kebebasan dalam sistem (demokratis) tersebut.

Kesimpulannya, ide maupun pemikiran anti-demokrasi bisa dan layak hidup di iklim demokratis sejauh tidak dianggap membahayakan keamanan warga lainnya maupun kelangsungan iklim kebebasan. Represi terhadap pemikiran anti demokrasi hanya bisa dilakukan jika ada dasar atau alasan yang kuat untuk menyimpulkan bahwa ide tersebut 'berbahaya'.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana sistem demokratis dapat mengantisipasi suatu ide sebagai berbahaya bagi masyarakat dan bagi iklim kebebasan?

Selamat tahun baru 2012!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun