[caption id="attachment_396129" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Seperti yang sudah diketahui hampir semua penduduk bumi, harga minyak mentah dunia terus mengalami penurunan. Harga minyak Brent dan WTI misalnya mengalami penurunan lebih dari 50% dalam waktu enam-tujuh bulan terakhir.
Di satu sisi, terobosan besar dalam teknik hidraulic fracturing alias fracking dalam eksploitasi minyak shale di Amerika Serikat ditengarai sebagai pangkal naiknya kapasitas produksi minyak mentah negara Obama itu sejak setahun terakhir. Berkat kesuksesan eksplorasi shale oil-ya, di tahun 2014 yang lalu Amerika Serikat berhasil menduduki peringkat pertama negara-negara penghasil minyak mentah di dunia menggeser posisi Arab Saudi dan Rusia.
Di sisi lain, Arab Saudi dan negara-negara teluk yang kaya karena minyak seperti Kuwait dan UEA sebagai saingan terbesar Amerika Serikat, di luar dugaan ternyata tidak mau kalah juga dalam perang adu rendah harga minyak dunia. Arab Saudi & the gang yang selama beberapa tahun terakhir berhasil menimbun dana berkat harga minyak yang tinggi ternyata memutuskan untuk tidak mengerem sedikit pun produksi minyak mereka. Tahu bahwa biaya eksplorasi shale oil sesungguhnya tidak murah Gang teluk ini seakan menantang Amerika Serikat untuk berlomba mengeksplorasi dan menjual minyak bumi dengan harga semurah-murahnya: how low can you go?
Harga minyak yang semakin rendah ini tentu memberi keuntungan bagi banyak pihak. Setelah didera krisis lima-enam tahun terakhir, negara-negara Eropa misalnya sudah mulai sedikit bisa berseri: turunnya harga minyak mentah dunia sebesar 10% saja seharusnya akan meningkatkan 0,1% output perekonomian, demikian menurut para ahli (Bowler, 2015). Untuk negara pengimpor minyak di Asia seperti Jepang atau India atau Indonesia, keuntungan dari turunnya harga minyak dunia (seharusnya) cukup jelas: defisit neraca perdagangan menjadi semakin kecil akibat menurunnya biaya impor minyak.
Namun demikian, di luar untung yang disebar di pelbagai penjuru dunia, turunnya harga minyak juga berarti "buntung" buat beberapa pihak. Siapa mereka?
Pecundang jangka pendek: Venezuela and the gang
"Mammoth berkelahi lawan Mamouth, pemalas darat mati di tengah-tengah"
Pepatah à la filem Ice-Age itu berlaku juga buat negara-negara produsen minyak selain Amerika dan Arab Saudi. Dengan jumlah produksi yang "tanggung", negara-negara ini tidak terlalu berpengaruh untuk menentukan harga minyak di pasaran dunia dan mereka inilah yang disebut sebagai produsen price taker, seperti misalnya Venezuela yang saat ini sedang dirundung krisis ekonomi terberat sepanjang sejarahnya.
Dengan 96% pendapatan devisa dari ekspor minyak mentah, Bloomberg memperkirakan bahwa akibat anjloknya harga minyak mentah di dunia, Venezuela telah kehilangan pendapatan sebesar USD 10 milyar sepanjang tahun 2014 yang lalu (Vinogradoff, 2014). Malapetaka yang terjadi tidak sukar untuk dibayangkan: saat pendapatan devisa menurun tajam, daya beli suatu negara menjadi rendah dan otomatis terjadi pengurangan dalam jumlah barang-barang yang diimpor. Terbatasnya ketersediaan barang (impor) di pasaran sementara jumlah permintaan tetap besar menyebabkan harga-harga barang kebutuhan sehari-hari naik secara gila-gilaan. Forbes (2015) mencatat bahwa kenaikan indeks harga konsumen negara itu naik sebesar 64% sepanjang tahun 2014.
Selain Venezuela, Iran dan Rusia adalah dua negara produsen yang juga terancam. Jika harga minyak per barrel tetap di bawah USD 60, maka dengan 45% APBN bersumber dari minyak, Tanas & Adrianova (2014) memperkirakan bahwa PNB Rusia akan turun 4,5% sepanjang tahun 2015. Ditambah dengan sanksi ekonomi dari Uni Eropa dan Amerika Serikat terkait dengan konflik Ukraina, situasi ekonomi Rusia berada di bawah tekanan berat pada bulan-bulan terakhir ini. Hal yang sama juga menimpa Iran: situasi ideal bagi negara Hassan Rohani ini adalah harga minyak tetap berada di atas USD 100 per barrel-nya. Anjloknya harga minyak ditambah dengan sanksi ekonomi negara-negara barat terkait program nuklir Iran juga membuat situasi ekonomi negara tersebut jauh dari stabil.
Pecundang jangka panjang: kita sendiri.
Di tengah berbagai konflik yang sedang terjadi di dunia seperti konflik Ukraina versus Rusia, IS versus non-IS, maupun di Tanah Air seperti Jokowi melawan mak lampir atau KPK melawan pulisi, sebenarnya perlahan namun pasti ada satu hal yang sama-sama kita hadapi di dunia ini: perubahan iklim atau pemanasan global.
Fenomena perubahan iklim sebenarnya bukan barang baru. Adalah ilmuwan besar Swedia, Svante Arrhenius yang pada tahun 1896 menemukan formula yang mengaitkan perubahan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer dengan perubahan temperatur di permukaan bumi lewat efek rumah kaca. Arrhenius adalah orang pertama yang memperkirakan bahwa emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar berbasis fuel di bumi akan menyebabkan naiknya temperatur bumi.
Dewasa ini para ahli telah membangun berbagai skenario perubahan iklim yang menghubungkan antara tingkat emisi gas-gas rumah kaca terutama CO2, konsentrasi CO2 di atmosfer dan naiknya rata-rata temperatur bumi. Skenario RCP8.5 atau yang sering disebut sebagai bussiness-as-usual (BAU) misalnya mengandaikan bahwa kita warga dunia tidak melakukan apa-apa untuk menyetop emisi CO2. Dengan tidak melakukan apa-apa, skenario RCP8.5 meramalkan bahwa pada tahun 2100 konsentrasi CO2 di atmosfer akan mencapai 936ppm, temperatur bumi akan naik sekitar 3,7 derajat celcius sementara permukaan laut akan naik sekitar 63 cm.
Apa yang terjadi jika suhu bumi naik sampai hampir 4 derajat celcius dalam waktu kurang dari seabad? Apa yang terjadi jika permukaan laut naik lebih dari setengah meter? Silakan kita bayangkan sendiri-sendiri.
Belanda masih jauh? Tidak juga.
Dewasa ini, pelelehan es di dua kutub bumi sudah terjadi secara nyata, termasuk es di puncak-puncak tertinggi dunia. Temperatur rata-rata musim dingin di belahan bumi utara dan selatan sudah semakin naik. Perubahan waktu dan arah migrasi burung, perubahan siklus tanaman juga sudah jelas teramati demikian juga dengan kekuatan angin puyuh yang terjadi di pelbagai belahan bumi (Bradford, 2014). Mora laboratory di Hawaii memperkirakan bahwa kenaikan suhu secara signifikan akan dialami dulu oleh belahan bumi di sekitar katulistiwa seperti Indonesia: Jakarta diperkirakan akan mengalami climate departure pada tahun 2029 sementara Manokwari di Papua malah akan mengalaminya lebih dulu, yaitu pada tahun 2020.
Turunnya harga minyak saat ini jelas berpotensi menaikkan permintaan akan bahan bakar minyak. Potensi naiknya permintaan akan bahan bakar minyak berarti juga potensi naiknya emisi CO2 ke atmosfer lewat berbagai kegiatan industri, pertanian, dan angkutan. Naiknya jumlah emisi CO2 ke atmosfer semakin mendekatkan kita pula pada skenario bencana akibat perubahan iklim sebagaimana diperkirakan para ahli.
Untung (sekali lagi untung) bahwa turunnya harga minyak baru terjadi 6 bulan terakhir. Hal ini bertepatan dengan krisis ekonomi yang masih mendera berbagai negara industri dan (untung lagi) hari ini telah cukup banyak kemajuan teknologi yang dicapai untuk meningkatkan efisiensi mesin industri maupun transportasi.
Pertanyaan terbesar adalah sampai kapan rendahnya harga minyak akan terus terjadi sampai orang terpicu kembali untuk berinvestasi ke arah malapetaka perubahan iklim ketimbang mengembangkan energi alternatif yang selama ini (selama harga minyak begitu tinggi tahun-tahun belakangan ini) begitu giat dikembangkan.
[caption id="attachment_368253" align="aligncenter" width="560" caption="Masih bakal ada yang investasi di sini? (dok.pri)"]
Energy Watch Group di Berlin Jerman memperkirakan bahwa produksi shale oil di Amerika Serikat yang sekarang sedang booming ini baru akan mencapai puncaknya sekitar 3-4 tahun mendatang. Sementara itu industri eksplorasi minyak bumi di belahan dunia lain seperti di Indonesia sedang bersiap-siap juga untuk mulai berinvestasi mengeksplorasi shale oil.
Protokol Kyoto yang memperjuangkan pembatasan emisi gas-gas rumah kaca mungkin akan tinggal jadi kenangan. Keadilan antar-generasi yang didengung-dengungkan bakal tinggal khayalan.
Daftar bacaan:
Tim Bowler, 2015, Failing oil prices: who are the winners and losers?,BBC.com/news 19 Januari 2015 (diakses 9 Februari 2015)
Alina Bradford, 2014, Effects of Global Warming, livescience.com, 17 Desember 2014 (diakses 10 Februari 2015)
Camilo Mora et al., 2013, The projected timing of climate departure from recent variability, Nature 502, 183-187
Forbes Staff, 2015, Venezuela cerrará 2014 en recesión y con inflación del 64%, Forbes México, 9 Februari 2015 (diakses 9 Februari 2015)
Olga Tanas & Adrianova, A., 2014, Russia Sees GDP Shrinking at Least 4.5% in 2015 With $60 Oil, Bloomberg Business, 15 Desember 2014 (diakses 9 Februari 2015)
Ludmila Vinogradoff, 2014, La caÃda del precio del petróleo lleva a Venezuela a su más grave crisis. Diario ABC, 30 Oktober 2014 (diakses 9 Februari 2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Si_pemalas_darat
Menurut Moralab, "climate departure" akan terjadi lebih dulu di kawasan di dekat garis katulistiwa ketimbang di belahan bumi utara dan selatan. Climate departure dapat diartikan sebagai suatu saat di mana suhu bumi (di tempat yang bersangkutan) akan tidak sama lagi seperti di masa-masa sebelumnya. Dengan kata lain suhu bumi di tempat itu akan memasuki suatu "era" suhu yang baru: rekor suhu tertinggi akan semakin sering terjadi, temperatur tinggi yang ekstrim di masa sekarang akan menjadi temperatur "normal" di era tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H