Mohon tunggu...
Joko Prihanto
Joko Prihanto Mohon Tunggu... Dosen - Dosen | Pendeta | Fans Manchester United

Lahir di 'Repoeblik mBantoel' seboeah wilajah daripada Keradjaan Ngajogdjakarta Hadiningrat. Selain mengadjar di STT Kharisma, ia joega menoeangkan daripada toelisannja di Renoengan Harian NILAI KEHIDOEPAN (renoengan dwi boelanan jang diterbitken Blessing Media Bandoeng). Email: jprihanto@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MENARIK SEUTAS PELAJARAN

15 September 2015   13:47 Diperbarui: 15 September 2015   13:47 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa komentar di media sosial mempersepsikan saya sebagai orang yang kuat dan tabah dalam menjalani semuanya ini. Tentu pemahaman itu keliru. Saya tak sekuat yang diduga. Dalam kesendirian, saya beberapa kali menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala beban. Atau ketika hanya berdua dengan isteri, kami berulang kali menumpahkan air mata bersama-sama. Demikianlah saya melewati babak duka ini sebagai manusia biasa.

Dua-tiga hari setelah Jevin dimakamkan, perasaan kehilangan itu justru kian menguat. Batin yang ngelangut kemudian menghadirkan secara cepat kelebatan gambar bayi ringkih itu. Sebagian lagi seperti video yang diperlambat, memapar perjuangannya di inkubator.

Semuanya berawal ketika tekanan darah Fenty kian meninggi dan mencapai puncaknya di angka 180/110 pada Selasa, 25 Agustus silam. Dokter di balai pengobatan memberi rujukan agar segera dibawa ke rumah sakit. Dokter menyarankan untuk dirawat inap, tetapi kami menawar agar beristirahat di rumah saja. Tengah malam, Fenty mengalami sakit kepala yang tak tertahan dan akhirnya saya larikan ke rumah sakit.

Setelah diobservasi hingga menjelang subuh, diputuskan bahwa operasi caesar harus dilakukan. Tekanan darah tak menurun meski sudah dicoba berbagai macam obat. Detak jantung bayi mulai kehilangan ritme yang teratur. Asupan oksigen juga menipis. Sesaat sebelum melakukan operasi, dokter memaparkan bahwa ini bukan kondisi ideal untuk melaksanakan tindakan karena tekanan darah yang tinggi. Semua resiko yang disampaikan membuat saya cemas. Saya bisa kehilangan istri, kehilangan anak atau kehilangan dua-duanya. Baru kali itu saya merasa sangat takut dan diterkam senyap.

Sejam setelah operasi berlangsung, Jevin berhasil dikeluarkan dari rahim Fenty dengan bobot 1,1kg dengan perkiraan 26-27 minggu kehamilan. Ia keluar dari rahim tanpa tangisan. Nafasnya terengah di dalam inkubator dan segera dilarikan ke ruang NICU. Sejam lebih kemudian Fenty keluar dari ruang operasi dan juga ‘mampir’ ke ruang ICU.

Saya dikuatkan oleh kedatangan sahabat-sahabat yang tidak bisa berbicara banyak tetapi melakukan tindakan-tindakan kecil yang berarti besar buat saya. Mereka yang merangkul pundak saya, memberikan sebungkus makanan, menyarankan saya mengambil waktu tidur sejenak. Semuanya sangat berarti untuk pertahanan tubuh fisik saya yang sejak semalam berjaga.

Setelah beberapa hari dirawat selepas operasi, Fenty diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Tetapi cerita Jevin masih berlanjut dengan perjuangannya bertahan hidup di inkubator. Sama seperti Jery, kakaknya dulu, ia harus menjalani hari-hari pertamanya di dunia ini dengan selang dan kabel di sekujur tubuhnya. Alat bantu pernafasan, infus, selang ke lambungnya, kabel penghubung ke monitor memenuhi tubuh mungilnya.

Meski sudah pernah ‘berlatih’ menghadapi hal seperti ini ketika peristiwa kelahiran prematur Jery dulu, kerapuhan saya menahan air mata tak terelakkan. Melihat Jevin kecil yang megap-megap karena paru-parunya yang belum berkembang sempurna, membuat saya trenyuh. Sementara saya tidak bisa berbuat banyak selain mengelusnya sebentar, mendoakannya sembari berbisik, “Jev, Papa ini… Kamu yang kuat, cepat besar. Berjuang terus ya, banyak yang mendoakanmu…”

Hampir dua pekan berlalu, Senin pagi, 7 September, saya menjenguk Jevin sambil berpamitan karena harus pergi untuk sebuah acara di Jakarta. Hari itu kondisinya dilaporkan membaik dan ada perkembangan positif, meski infeksi belum teratasi. Jevin sempat menangis dan membuka mata sebentar, seperti ingin berkata, “Hati-hati di jalan Pa…” atau “Jangan tinggalkan Jevin, Pa…” Entahlah… Selasa paginya, rumah sakit menelpon dan mengabarkan bahwa kondisinya ngedrop. Segera kuteruskan pesan ke Fenty agar secepatnya ke rumah sakit. Saya meminta ijin untuk segera pulang ke Bandung sebelum menyelesaikan acara di Jakarta yang terjadwal hingga sore.

Syukurlah, travel ke Bandung bisa dengan cepat didapat. Tetapi baru beberapa belas kilometer memasuki tol Jakarta-Cikampek, telepon genggam kembali berdering. Dari ujung sana, dokter menyampaikan kabar bahwa Jevin berpulang. Dia tidak dapat bertahan dan mengakhiri pertandingannya pagi itu sekitar pukul 08.00.

Waktunya bagi saya dan Fenty kemudian untuk menata hati menghadapi kenyataan menyedihkan ini. Berat rasanya karena tidak sempat menimangnya. Tidak sempat melihatnya bertumbuh-kembang bersama kedua kakaknya. Yang selalu melegakan adalah keyakinan bahwa saat ini dia berada di tangan yang jauh lebih aman dan nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun