Jika Miing diberi senyuman oleh sang Raja, Dono justru “disegani” oleh Aparat.
Militer, sebagai garda terdepan penjaga negara ‘Orde Baru’ tampak tak tega berperilaku bengis kepada seorang Dono. Untuk masuk ke Gedung Parlemen, para alumni UI sering menggunakan dirinya sebagai “Visa” guna membawa masuk perlengkapan logistik di Aksi Mei ‘98.
Dari dalam mobil, beliau hanya membuka kaca, lalu pintu penjagaan lekas terbuka dan Aparat menegur dengan ramah.
Hal ini terulang lagi di depan Universitas Atma Jaya pada Sidang Istimewa MPR, November 1998. Para aparat hanya mampu menggelengkan kepala dan tersenyum melihat aksi Dono menyemproti mereka dengan semprotan hydrant.
Kritik Warkop tidak terbatas pada urusan politik saja. Mereka terbukti menjadi pelopor lahirnya Orkes Moral, “penentang” Orkes Melayu.
Dangdut yang pada waktu itu sedang tren berkat eksperimen Oma Irama, yang mengakulturasikannya dengan rock, dimanfaatkan oleh Kasino dan Nanu sebagai media lawakan intelektual mereka – sebagai mahasiswa – di acara-acara kampus Universitas Indonesia.
Banyak sedikitnya, Warkop memengaruhi lahirnya OM PSP yang mengespreksikan kejengahan mahasiswa lewat ‘Gaya Mahasiswa’, dan OM PMR yang membunuh horor lewat ‘Malam Jumat Kliwon’ serta menyulap cinta-cintaan gombal para penyanyi cengeng menjadi humor yang eksentrik.
Membaca kembali Warkop DKI seperti memahami kembali proses kita dalam berintelektual, membangun karakter, dan membaca arah mata angin ke depannya.
Membaca kembali Warkop DKI seperti mempertanyakan kembali: Apakah kita mampu mengendalikan paradigma, atau justru kita terjebak di dalamnya?
Membaca mereka adalah memahami, bahwa lawakan bukan sekadar lempar tepung, dan bersembunyi di balik kata “Baper” jika lawan bicara tersinggung.
Membacalah sebelum membaca itu dilupakan.