Mungkin pernyataan Bang Tere tersebut, ditulis dengan maksud – respon terhadap berbagai perkembangan – tren pola pikir Ideologis pemuda-pemudi di era ini. Seperti yang abang jelaskan sebelum tulisan ini dirilis, dan sesudah komentar saya pada fanspage Facebook Bang Tere hapus serta blokir akun saya.
Abang membantah jika menganggap tokoh Idealisme Impor tersebut, seperti Tan Malaka dan Sutan Sjahrir, ditiadakan dalam peran kemerdekaan. Abang jelaskan bahwa abang hanya mengajak membuka kembali lembaran sejarah dan menghayati kearifan lokal. Bagi saya, cara Bang Tere tersebut mencerminkan sosok Dewan Perwakilan Sastra yang reaksioner, tapi amat jauh dari bijak; penuh standar ganda dan pukul rata.
Tulisan ini saya buat untuk sekadar berdialektik dengan Bang Tere, bukan untuk saling menjatuhkan. Tulisan ini dibuat oleh seorang Calon yang masih “Antah-Berantah”; entah sastrawan, sejarawan, budayawan, tapi yang pasti: Calon Mati. Sama seperti Bang Tere dan juga Pembaca. Mati dalam arti raga, namun bukan pemikiran dan jiwanya.
Saya harap, kelak di masa depan: Saya, Bang Tere, Pembaca dan Jutaan penggiat sastra di Indonesia, tidak menjadi Penyair Salon; yang seperti kata WS Rendra:
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H