Terik panas setelah tengah hari pada sore itu tak dirasakan oleh  dua orang pria yang sedang duduk sambil bercakap  di Ladang jagung yang sudah dipanen  oleh pemiliknya. "Makin Susah banget hidup ini Karto yo nggak?"  Tanya Tarmo kepada sahabat buruhnya Karto.  "Yang susah ya susah, yang seneng ya seneng Tarmo yang kelas buruh kayak kita ini ya susah walau hari lebaran sekalipun," Timpal Karto sambil ngisap rokok cap gandum kesukaannya. "Ku tadi mau minta kerjaan buruh nyangkul ladangnya kang Kemis tapi gak dapet karena dia juga belum mau bertanam karena modal  gak ada dan panen bulan ini merugi."  Keluh Tarmo sambil sambil membuka topi buruh lusuhnya.  " Iya aku juga  kemarin jual jagung hasil leles di kebun pakde Kemo juga murah banget, katanya gudang masih penuh, pikirku  bisa  beli rokok sebungkus dan sisanya bisa ku kasih orang rumah, ehhh malah  Cuma bisa tuk beli beras  dua kilo gak cukup buat seminggu." Keluh Karto tak kalah susahnya sama Tarmo.Â
Keduanya  lalu beranjak untuk memetik sisa sisa jagung yang ditinggal dibatang oleh pemetiknya karena  kurang layak jika dijual.  "Tirto teman kita leles jagung dulu itu nggarap tanahnya Dikdo  bos gudang itu yo To?" Tanya Tarmo sambil memasukan jagung ke karung goninya. "Iya!,  Tirto penggarap tanahnya  Dikdo bos gudang." Jawab Karto sambil memasukan jagung ke karungnya  "Wah lapamg  rejeki Tirto yo?"  TanyaTarmo agak iri.  "Lapang apanya  kemarin istrinya ditagih koperasi keliling sembunyi di rumahku Tarmo."  Kata Karto meninggi  suaranya.  "Kok bisa gitu ya, bukannya Tirto dekat sama Dikdo?"  Selidik Tarmo."Heran juga ya sudah nggarap tanah lebar masih ngutang koperasi ."  Kata Tarmo keheranan. "Kayaknya aja enak kut Boss Mo, tapi nyatanya  gak, kok." Jelas Karto. Kedua  karib itu tampak semangat  memetik sisa-sisa jagung demi bisa memberikan istrinya beberapa puluh  ribu rupiah  sore itu.  Â
"Kudengar anakmu lanang  sudah mau tamat kelas tiga SMP yo Mo?'  Tanya Karto.  "Yo, tahun ini dah kelas 3 bentar lagi tamat." Jawab Tarmo singkat.  "Mau lanjut mana anakmu Mo?"  Kejar Karto.  "Gak tau juga To, soalnya biayanya belum ada, maunya siih SMA Negeri yang  murah kalau Swasta mahal."  Jawab Tarmo lesu.  "Sama aja Mo, gak negri gak swasta sama aja pakek biaya."  Sela Karto sambil masukan jagung ke karungnya.  Sore itu kedua karib itu cukup banyak  dapat lelesan jagung karena memang kayaknya jagung diladang itu kurang dirawat sehingga banyak banget jagung gak dipanen.  Â
" Karto jagung dirumahmu dah banyak belum?,  besok kita timbang tempat Boss Dikdo yuuk?"  Ajak Tarmo semangat.   "Belum Tarmo , malahan belum dipipil jagungnya, mungkin  tiga  hari lagilah , nanti aja ya, bareng nimbangnya." Jawab dan pinta  Karto.  " Tadi pagi istriku bilang beras udah mau habis.' Keluh Tarmo. "Aku belum bisa kalau besok jagungku juga belum banyak." Jelas Tarmo.  "Yaudah tiga hari lagi kita timbang jagung kita."  Jawab Karto  gak nyaman. "Besok kita gak usah  pergi leles jagung  dulu  yo To?,  soalnya aku mau buruh nyangkul tempat Pak de Bardi  mungkin sehari rampung."  Ajak Tarmo.  "Iyo Tarmo kujuga mau bantu bantu nguli di gudangnya Dikdo  soalnya ku diajak Tirto kemarin malam." Jawab Karto semangat. "Ok!, kita akur!  besok gak usah leles jagung dulu."Tutup Tarmo sambil ngikat karungnya yang sudah penuh. Sore itu  dua  buruh karib  itu karungnya penuh dari hasil  leles mereka . Itulah  yang membuat semangat , kendatipun harus mengangkat delapan puluhan kilo dipundaknya menuju motor bututnya.  Â
" Lhohh!...Jam segini Kok udah pulang Kang?  Biasanya petang mau mahgrib?"  Tanya Wiyah istri Tarmo agak heran.  "Yahh hari ini lumayan, dapet sekarung penuh Yah,  mudahan bisa gini terus dapetnya."  Jawab Tarmo semangat  sambil menjatuhkan karung di Halaman rumah sederhananya. "Mana Setyo, biar bantu angkat karung kedalam  rumah?"  Tanya Tarmo. Wiyah segera memanggil Setyo umtuk bantu Bapaknya angkat  karung.  Setyo dan Tarmo segera mengangkat karung jagung itu ke dalam rumahnya dengan penuh semangat. Wiyah merasa senang karena suamintya hari itu dapat banyak jagung dengan harapan besok jika ditimbang dapat uang yang cukup yang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Setelah mandi Tarmo berkata istrinya. "Wiyah besok aku mau nyangkul  tempatnya Pakde Bardi." Kata Tarmo.  "Terserah Kang yang penting besok bisa beli beras, karena beras udah mau habis." Jawab Wiyah sambil menaruh segelas kopi di depan suaminya. Tak berapa lama ketika  menikmati kopi saat habis maghrib petang itu,  tiba-tiba Taryo anaknya Pakde Bardi datang ke rumah Tarmo untuk memberikan uang upah buruh esok harinya. " Permisi Kang Tramo." Kata Taryo sambil megetuk pintu.  "Silahkan dekTaryo, lho kok tumben petang-petang dateng?"  Ungkap Tamo Ramah.  "Begini Kang Tarmo, Bapak nyuruh ngasih duit upah nyangkul besok  sebanyak  delapan puluh ribu sehari,  karena Bapak besok mau pergi ke Kota, jadi ku disuruh tuk ngasih duit ini ke Kang Tarmo." Jelas Taryo.  "Ohhh  gitu makasih saya terima dek Taryo." Sahut Tarmo girang.  "Ohhh iya, Kang kalo kopi dan snack disiapin tapi kalo  makan gak Kang." Tambah Taryo. "Gak apa dek ku bisa mbontot sendiri besok. Setelah guyon sedikit sana-sini Taryo pamit. Tarmo segera memanggil istrinya wiyah dengan memberikan uang delapan puluh ribu kepada istrinya. Malam itu keluarga Tarmo bersuka karena selain dapat lelesan jagung yang banyak juga dapat rejeki dari Pakde Bardi dari upah buruh nyangkul. Karena  begitu capeknya badan juga ditambah beratnya beban hidup sehari-hari  membuat Tarmo segera membantigkan tubuhnya ke dipan sederhananya sebab besok raganya harus bertarung di  lahan Pakde Bardi dengan bermandikan nikmatnya terik matahari.Â
Kesokan harinya setelah menikmati nyaman dan nikmatnyaa malam selama hampir  sembilam jam itu Tarmo segera mempersiapkan pakaian, cangkul, sabit, topi lusuhnya, dan motor bututnya untuk berangkat ke kebun Pakde Bardi. "Sarapan dan minum dulu kopinya Kang." Pinta wiyah disela kesibukan Tarmo. "Ni rantang bontotnya dibawa tuk makan siang nanti." Tambah Wiyah kepada suaminya. Tarmo segera menikmati sarapan  hidangan sambel tempe dan tumis kangkung hangatan dengan lahap karena harus tarung bersama cangkul dan sabitnya hari itu. Setelah menhabiskan segelas kopinya, Tarmo segera pergi bersama motor bututnya ke kebun Pakde Bardi. Tarmo seorang pekerja keras , kaku, namun penuh semangat dan jujur,  buruh nyangkul  sebenarnya pekerjaan pokok yang dilakoni sejak masih remaja hingga berkeluarga. Menjelang sore jam empat segera  Ia menghentikan ativitasnya lalu segera  membersihkan cangkulnya ,kemudian bergegas dengan arit tajamnya menuju belukar terdekat  untuk mencari rumput kambingnya. Maghrib dirasa  begitu cepat berlalu,setelah  rumput  untuk makan kambingnya sudah banyak  diikatnya segera kemudian di tumpangkannya ke atas motor bututnya.
"Kang ku mau ngomong," Ucap Wiyah dengan agak takut-takut sambil bawakan kopi panas buat  Tarmo. " Ya gomong wae Yah, ada apa." Pinta Tarmo. "Token dah mau habis Kang."  Tambah wiyah agak takut. "Lho khan  udah dikasih duit delapan puluh ribu, duit nyangkul tadi?" Jawab Tarmo heran.  "Kang beli beras  tiga kilo tiga puluh ribu, beli sayur dan tempe bumbu bumbu, gula  tiga puluh lima ribu, yang sepuluh ribu untuk bayar koperasi harian, terus yang lima ribu untuk jajannya Setyo Kang." Papar Wiyah sambil duduk di dekat suaminya. "Ya sudah dua hari lagi kita nimbang jagung bisa untuk tambah-tambah ongkos dapur." Tambah Tarmo menghibur istrinya. Setelah menikmati makan malan seadanya  Tarmo tak sanggup menahan rasa kantuknya tersebab capek badannya dan juga beban uang hasil susah payah nyangkulnya gak mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Malamlah yang membuat Tarmo bisa hidup senang karena merasa tak memikirkan beban apa-apa.
Pagi subuh setelah sejenak melepaskan beban hidup karena tidur semaleman Tarmo segera mempersiapkan diri untuk pergi ke kebun-kebun untuk leles jagung bersama Karto teman susahnya. Setelah menikmati kopi dan sarapan seadanya diambilnya bontot buatan istrinya, lalu segera bergegas menuju motornya, pergi menuju arah kebun  dimana Karto sudah menunggunya.  Â
" Dah lamaTo?" Sapa Tarmo.  "Belum juga Mo, Yukk  langsung wae daripada keduluan yang lain." Ajak Karto sambil membuka karung jagungnya.  Kedua sahabat  itu segera meluncur menuju kebun jagung untuk petik jagung yang ditinggalkan oleh pemiliknya. "Anakmu Setyo mau lanjut sekolah dimana Mo?"  Suara Karto muncul memecah semangat leles jagung mereka.  "Kalo anakku lanjut SMA Negeri ajalah To, soalnya kalo Negri khan murah." Tanggap Tarmo gaya mantap. "Anakmu mau masuk mana To?" Tanya tak kalah dari Tarmo.  "Anakku masuk SMA Negeri juga, tapi kalo lulus, gak lulus  SMA Swasta  aja" Jawab Karto mantap. "Kata anakku Bono yang kelas sembilan  udah pada ujian praktek, waaah  bakal siap duit lagi niihh kita Mo!" Tegas Karto sambil masukan lelesan jagung  ke dalam  karungnya.  "Iyalah tambah pening wae hidup ini  yo To." Tambah Tarmo. "Kata istriku harga bahan-bahan dapur  mahal-mahal Mo, kemarin wae istriku kukasih uang delapan puluh ribu cuman dapat kangkung dan tahu To." Keluh kesah Tarmo sambil usap keringat  di wajah dengan lenggannya. "Istriku juga bilang gitu Mo, uang seratus ribu itu isi  kantong asoi gak penuh katanya," Sambung Karto menambahi keluh kesah.  "Tambah susah aja wong tani sekarang, pupuk mahal, upah buruh mahal, sewa tanah mahal, sementara harga selalu anjlok jika panen." Jelas Tarmo lagi.  "Kalau gitu yang untung itu kita karena kita gak nanggung resiko kayak petani, kita  Cuma butuh tenaga aja Mo ." Tambah Karto pula. " Pinter juga kamu tu To." Ucap Tarmo sambil tertawa kecil. Kedua buruh tani itu dengan begitu semangat menyusuri kebun-kebun jagung yang sudah dipanen demi mencukupi kebutuhan keluarga dan sekolah anak-anaknya. Terik  matahari, rasa gatal, dan goresan tajam dari pohon jagung yang menggores lecet  tangannya seolah tak dirasakan oleh kedua buruh tani itu. Â
Hari ganti minggu, minggu terus berlalu akhirnya menjadi bulan dilalui oleh buruh tani itu dengan  semangat dan harapan yang kuat, kendatipun hasilnya tak mencukupi kebutuhan sehari-hari dan itupun masih punya hutang dengan koperasi harian.  Â
"Kang anak kita Setyo lulus." Kata Wiyah sambil menunjukan amplop kelulusan kepada suaminya.  "Puji Gusti Setyo anakku  lulus."  Ungkap Tarmo saking senangnya. "Setyo moga-moga kamu gak seperti bapakmu ini nak!" ungkapnya lagi. "Setyo pingin masuk di SMA swasta  aja Kang soalnya kalo masuk negri jauh jaraknya  dan tiap hari pakai ongkos, kalau masuk swasta k han dekat jadi bisa jalan kaki." Lanjut Wiyah senang dan bangga anaknya lulus. "Kalo saya terserah Setyo mau sekolah dimana asal dia bisa sekolah." Tegas Tarmo penuh semangat.Â
Tapi Kang kalo masuk  SMA Swasta itu  mahal hampir tiga jutaan untuk biaya semuanya."  Jelas Wiyah. " Pokoknya  uang  bisa dicari yang penting Setyo bisa sekolah!" Tegas Tarmo  menghibur istrinya. "Kamu punya tabungan berapa wiyah?" Tanya Tarmo. "Kita udah ada dua juta lina ratus ribu Kang." Jawab  Wiyah cepat.  "Berarti masih harus cari lima ratus ribu lagi." Guman Tarmo. "Yah coba cari hutangan ke tetangga mungkin bisa dapat" Kejar Tarmo.  "Gak bisa Kang tetangga juga susah kayak kita, kalopun ada mereka gak percaya."  Mendengar itu Tarmo agak bingung. "Masih ada utang warung dan koperasi harian juga." Tambah Wiyah. Mendengar penjelasan istrinya membuat Tarmo jadi bingung. "Ya udah istirahat dulu besok saya mau pergi - pagi  pergi sama Karto!" Usir Tarmo malam itu pada istrinya. Wiyah meninggalkan suaminya di ruang tamu yang beralaskan tikar.Â
Malam itu Tarmo tidak bisa tidur memikirkan Setyo yang masih harus siap uang lima ratus ribu, rasa capek kantuk, dan beban hidup yang menderanya seolah hilang karena semangatnya ingin menyekolahkan anaknya dengan harapan anaknya bisa hidup layak kelak. Semalaman Tarmo hanya sebentar menutup matanya, sebab pikirannya melayang buana bagaimana harus dapatkan uang lima ratus  ribu. Pagi itu Tarmo tidak seperti biasanya, Ia tak minum kopi dan sarapan  buatan istrinya, namun  Ia bawa bontotnya. Segera Ia melajukan motornya menuju ketempat dimana Karto menunggunya. Setelah dijumpainya Karto segera Tarmo mengarahkan motornya ke kebun yang di tujunya.Â
"Ini Karto kayaknya yang baru dipanen jagungnya." Teriak Tarmo semangat. Segera Tarmo turun dari Motornya dan segera memetik jagung dengan penuh semangat. "Kok semangat banget  kamu Tarmo,  pagi ini ada apa?" Tanya Karto heran. "Anakku mau masuk sekolah perlu biaya banyak To!" Timpal Tarmo. "Masih perlu lima ratus ribu lagi To." Sambungnya lagi. Hari itu Tarmo begitu semangat,namun demikian bagi seorang Tarmo seorang buruh tani, uang  segitu harus jungkir balik mendapatkannya. Tengah hari ketika mau buka bontotnya karung Tarmo juga sudah terisi walau dengan jagung yang kurang baik namun harapan Tarmo terus memuncak untuk dapat uang lima ratus ribu. Segera Tarmo dan Karto mencari tempat teduh untuk menikmati makan siang seadanya demi  menambah tenaganya untuk leles kebun-kebun yang lebih jauh.  Â
"To besok kita gak campur dulu ya, aku ada kerja lain."  Kata Tarmo sambil makan. "Lho knapa Mo, kok gak mau campur?" Tanya Karto heran.  "Ada deehhh.. To." Jawab Tarmo singkat.  "Ok, besok saya mau ke rumah Tirto lah siapa tau ada  rejeki." Ungkap Karto mantap. Setelah menikmati bontotnya dan istirahat sejenak segera kedua buruh tani itu meluncur ke kebun yang dipikirnya sudah dipanen. Hari itu kedua buruh karib itu mendapat hasil yang cukup lumayan banyak.Â
"Kok sudah bangun jam segini Kang?" Tanya istrinya kepada Tarmo. "Iya ini mau  pergi cepat karena mau manen jagung orang Yah." Jawab karto sambil merapikan beberapa karung untuk ditaruh di motor bututnya. "Minum dulu kopi dan sarapannya Kang biar gak masuk angin ini masih sangat pagi lho."  Kata Wiyah memperingati. Tarmo segera menikmati kopi dan sarapan yang disediakan istrinya. Sejenak setelah menikmati kopi dan sarapan Tarmo segera menuju motor bututnya ditaruh kemudian dengan tergesa menuju kebun tanpa ditemani Karto. Motor Tarmo di arahkan ke kebun Boss Dikdo seorang yang kaya, karena punya beberapa gudang pupuk, toko pertanian, pekerja yang banyak, dan kebun di banyak tempat. Boss Dikdo bahkan menguasai beberapa tempat didaerahnya karena pintar dan duitnya sangat banyak. Bahkan jika ada kebun yang mau dijual pasti bisa dibeli oleh boss Dikdo. Dikdo juga kenal dekat dengan pejabat pemerintah daerah, dan disegani karena duitnya yang banyak. Kemarin ketika leles jagung bersama Karto Tarmo melihat jagungnya  Boss Dikdo tidak di panen jagung itu lebat banget sampai ada yang roboh bahkan ada buahnya yang jamuran. Pikir Tarmo jagung itu dilupakan atau sengaja tidak dipanen oleh Boss Dikdo karena sudah sangat banyak duitnya.Â
Tarmo dengan semangat memetik buah jagung yang lebat itu dengan semangat harapannya  bisa  cepat mendapatkan uang lima ratus ribu untuk biaya anaknya. Karena begitu semangatnya kira- kira jam sepuluh pagi 10 karung penuh sudah bisa didapatkan Tarmo. Tarmo segera menyiapkan motornya  untuk mengangkut jagungnya akan dijual  ke  gudangnya  Prapto.  Baru mau mengangkut satu karung besar tiba tiba datanglah  Wiryo dan Larno  pekerja Dikdo datang ke kebun untuk memanen jagung yang sudah  dipanen Tarmo. Wiryo dan Larno terkaget-kaget melihat Tarmo memanen jagung Boss Dikdo.  Â
" Weeehh!!... Tarmo kenapa kau maling  jagung Boss?!"  Bentak Wiryo. "Laahh.. !  siapa yang maling, aku hanya manen jagung, karena kupikir gak dipanen daripada busuk sia-sia jadi kupanen Wiryo!" Kata Tarmo tak kalah kerasnya. "Gak Tarmo kami berdua disuruh manen hari ini, nahhh!! . caramu ini kayak maling, Ok, kulaporkan kamu Tarmo!" Ancam Wiryo. "Laporkanlah aku gak maling aku Cuma manfaatkan jagung yang gak dipanen!" Tantang Wiryo.  Wiryo dan Larno  segera pulang ke gudangnya Boss Dikdo dan menceritakan semuas tentang apa yang dilakukan oleh  Tarmo. Boss Dikdo berencana umtuk memangil Tarmo saat itu juga. Saat itu Boss Dikdo sedang mengnndang  bereapa pejabat pemerintah juga perangkat desa setempat umtuk  makan siang dan sekedar ngopi bareng.
Tarmo segera dipanggil ke gudang Boss Dikdo yang sudah banyak dengan beberapa pejabat dan perangkat desa setempat. Tarmopun segera datang ke Gudang Boss Dikdo tanpa takut sedikitpun siang tengah hari itu. Oleh Wiryo Tarmo diajak ke ruang tamu tempat para kolega terhormat Boss Dikdo  berada diruang tengah tempat mereka akan menikmati makan siang bareng. Â
"Duduk sini Tarmo kau!" Kata Boss Dikdo Sangar. "Kenapa kau maling jagungku?!" Tambah Boss Dikdo. "Siapa maling, aku panen jagung itu pikirku gak dipanen, jadi daripada sia-sia kupanen!" Bantah Tarmo Tegas. "Kau bisa dipenjara Tarmo!!" Bentak Boss Dikdo. "Dipenjara?!!!,  itu yang kuminta  Dikdo karena dipenjara aku bisa makan dan tidak susah  cari makan!" Tantang Tarmo. Mendengar itu semua orang diruangan itu kaget, tidak menyangka kalau Tarmo berani berkata begitu. "Sekarangpun akau mau dipenjara asalkan kasih makan istriku dan sekolahkan anakku!" Teriak Tarmo. Mendengar itu Boss Dikdo semakin geram saja.  "Kau ini maling pintar juga  ngomong  ya?!" Bentak Boss Dikdo.  "Pintar kamu Dikdo!, kau beri pinjaman ke para petani, hasil panen semaunya kamu beli!" Balas bentak Tarmo. Mendengar itu Boss Dikdo kaget bukan kepalang termasuk para kolega terhormat diruangan itu. "Berani kau Tarmo?!" Bentak Boss Dikdo. "Beranilah, saat ini dipenjarapun aku berani, tapi harus kasih makan istri dan sekolahkan anakku!"  Kata Tarmo tegas. Mendengar itu para kolega Boss Dikdo merasa trenyuh.  Â
"Sekarang gimana?!!, Dibuat apapun aku siap!  Kalau gak aku  mau ngarit untuk kambingku!, aku bukan maling !, aku gak pernah minjami duit ke orang lalu membeli seenaknya untuk cari untung!"  Segera Tarmo bergegas meninggalkan ruangan itu menuju motornya , pergi ke kebun untuk merumput kambing yang digaduh dari orang kaya didesanya. Saat itu juga para  kolega terhormat Boss Dikdo segera meninggalkan ruangan itu dengan meninggalkan hidangan siang mewah begitu saja. Boss Dikdo merasa kacau pikirannya bagaimana itu bisa terjadi lalu dia membanting tas isi duit ke lantai lalu pergi ke kamar.
Siang itu keluguan, keberanian,  dan kemiskinan Tarmo telah dengan telak mengalahkan kekayaan, kehormatan  dan  kepandaian Boss Dikdo. Sejak saat itu Pamor dan kehebatan Boss Dikdo ambyar oleh seorang Tarmo buruh tani miskin, namun jujur, dan tulus apa adanya dalam menghadapi hidup sehari-hari. Â
Catatan Penulis : Nama-nama dan cerita diatas hanyalah rekaan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H