Mohon tunggu...
JOKO KHRISTIANTO
JOKO KHRISTIANTO Mohon Tunggu... Lainnya - ASN SATPOL PP

Saya seorang ASN satpol pp yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Perang Batin: ASN Satpol PP Terjepit Antara Hukum dan Hati Nurani

30 Januari 2025   19:56 Diperbarui: 30 Januari 2025   19:56 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pra Penertiban Pedagang Pasar Rengasdengklok  (Sumber :Dok. Pribadi)

"Pak, saya mohon jangan dibongkar dulu warung ini. Anak saya masih sakit, butuh biaya berobat." Suara parau seorang ibu pedagang kaki lima menggema di tengah prosesi penertiban. Seorang petugas Satpol PP terdiam, matanya menyiratkan pergulatan batin yang dalam.

Kisah seperti ini bukanlah hal asing dalam keseharian Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas menegakkan Peraturan Daerah, mereka kerap menghadapi dilema antara ketegasan hukum dan kepekaan nurani.

Di satu sisi, mereka adalah perpanjangan tangan pemerintah yang harus menjalankan aturan demi ketertiban umum. Namun di sisi lain, mereka adalah manusia yang memiliki empati terhadap kisah hidup setiap warga yang terdampak kebijakan.

"Kami bukan robot yang bisa mengabaikan perasaan," ungkap Budi (bukan nama sebenarnya), seorang anggota Satpol PP yang telah bertugas selama 15 tahun. "Setiap kali melakukan penertiban, kami juga merasakan beratnya membuat keputusan yang berdampak pada kehidupan orang lain," sambungnya.

Tak jarang, para petugas ini harus menghadapi cemoohan, cacian, bahkan perlawanan fisik dari masyarakat. Padahal, di balik seragam kebesaran mereka, tersimpan cerita-cerita kemanusiaan yang jarang terungkap ke publik. Ada yang diam-diam membantu biaya sekolah anak pedagang yang ditertibkan, atau memberikan informasi tentang lokasi berjualan alternatif yang legal.

Profesionalisme dan humanisme menjadi dua kutub yang harus mereka seimbangkan. Menegakkan aturan tanpa menghilangkan sisi kemanusiaan bukanlah perkara mudah. Setiap tindakan penertiban selalu diawali dengan sosialisasi dan pendekatan persuasif, mencoba mencari jalan tengah yang bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Fenomena ini menunjukkan bahwa tugas Satpol PP bukan sekadar urusan hitam-putih penegakan aturan. Ada ruang abu-abu yang menuntut kebijaksanaan dalam bertindak. Mereka dituntut untuk tetap profesional sambil mencari solusi yang manusiawi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), tugas dan fungsi Satpol PP diatur untuk menegakkan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada), serta menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Secara umum, tugas Satpol PP meliputi:

  1. Menegakkan Perda dan Perkada: Satpol PP bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dipatuhi oleh masyarakat.

  2. Menyelenggarakan Ketertiban Umum: Ini termasuk menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat, serta mencegah terjadinya pelanggaran yang dapat mengganggu ketentraman.

  3. Melindungi Masyarakat: Satpol PP juga berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari berbagai ancaman yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan.

Selain itu, jika dihubungkan dengan slogan Satpol PP yaitu "Praja Wibawa", bisa dimaknai bahwa Slogan "Praja Wibawa" yang menjadi semboyan Satpol PP memiliki makna mendalam yang mencerminkan humanisme dalam pelaksanaan tugasnya. "Praja" berarti masyarakat atau rakyat, sedangkan "Wibawa" berarti kekuasaan dan kehormatan yang diakui. 

Jika dihubungkan dengan humanisme Satpol PP, slogan ini bermakna bahwa dalam menjalankan kewenangannya, Satpol PP harus tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, menghormati hak-hak masyarakat, dan bertindak secara bermartabat.

Penegakan peraturan yang dilakukan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan memberikan ruang dialog dengan masyarakat. Wibawa yang dimaksud bukan berarti bertindak keras dan represif, tetapi justru mencerminkan kewibawaan melalui pendekatan yang humanis, profesional, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat.

Dengan demikian, slogan ini menggambarkan komitmen Satpol PP untuk bertindak tegas namun tetap mengedepankan pendekatan humanis dalam penegakan hukum dan ketertiban. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Satpol PP memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum, mereka juga berupaya untuk menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat, mendengarkan aspirasi mereka, dan memberikan perlindungan secara adil.

Di tengah stigma negatif yang kerap melekat, sudah saatnya masyarakat melihat sisi lain dari para penegak Perda ini. Mereka bukan hanya aparatur negara, tapi juga manusia yang memiliki hati dan nurani. Perang batin yang mereka hadapi adalah bukti bahwa di balik ketegasan tindakan, terselip kepedulian terhadap nasib sesama.

Mungkin ini saatnya kita membangun pemahaman bersama: bahwa ketertiban kota dan kesejahteraan warganya bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Dengan dialog dan saling pengertian, kita bisa menemukan titik temu yang menguntungkan semua pihak.

Karena pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah keseimbangan antara ketegasan hukum dan kelembutan hati. Sebuah harmoni yang mungkin sulit dicapai, namun tetap harus diperjuangkan demi kebaikan bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun