Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menunggu Kebijakan Tepat Tanggulangi Polusi Jakarta

16 Agustus 2023   08:29 Diperbarui: 16 Agustus 2023   09:03 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bauran polusi pembakaran batubara, Sumber gambar: Twitter (2023)

Kepulan asap yang disertai embun mungkin saban hari kita jumpai di sekitar kita. Tersebar di setiap dedaunan demikian menambah kesegeran di pelupuk mata. Namun, bagaimana jadinya bila asap yang disertai embun itu justru merupakan polusi udara yang membahayakan kesehatan?

Inilah sebuah kenyataan yang saat ini terjadi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Ketika sejumlah masyarakat yang berlari-lari dan bersantai di pagi hari, justru dihinggapi oleh kepulan asap yang ternyata itu adalah polusi udara. Tentu mereka yang menyakini bahwa udara pagi hari Jakarta dan sekitarnya yang segar, seketika berubah menjadi ancaman bagi kesehatan.

Baru-baru ini jagad maya dihebohkan oleh kondisi langit DKI Jakarta dan sekitarnya yang dipenuhi partikel kecokelatan. Berdasarkan data hasil pantauan indeks kualitas udara, nilai PM 2.5 Jakarta sendiri pada 14-15 Agustus 2023 itu masuk dalam 10 besar kota berpolusi terparah. Dari sejumlah wilayah yang mengandung polusi di DKI Jakarta, Jakarta Timur adalah yang paling parah.

Tak hanya kiriman banjir

Sebagai wilayah paling rendah dibanding wilayah Bogor, DKI Jakarta mau tidak mau menjadi wilayah hilir di musim hujan. Curah hujan yang sedikit lama, banjir sudah melambaikan dirinya menuju DKI Jakarta. Namun, tak cuma banjir yang langganan terjadi di DKI Jakarta, namun juga polusi udara. Artinya, ketika di wilayah luar DKI Jakarta terdapat polutan khususnya udara, sedikit banyak akan terbawa angin dan masuk wilayah DKI Jakarta.

Sudah berpenduduk padat, banyak industri, ditambah dengan mobilitas kendaraan yang tinggi, tentu polusi kiriman dari luar akan manambah risiko kesehatan penduduk DKI Jakarta. Lambat laun, DKI Jakarta sepertinya sudah tidak layak huni efek situasi ini.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa buruknya kualitas udara DKI Jakarta dan sekitarnya belakangan adalah puncak musim kemarau. Musim kemarau yang disertai fenomena El Nino menyebabkan kualitas udara cenderung menurun. Selain itu, fenomena lapisan inversi dinilai juga ikut andil dalam memperburuk kualitas udara karena menyebabkan kelembapan udara relatif tinggi.

Bauran polusi dari luar

Memburuknya kualitas udara DKI Jakarta menjadi sorotan berbagai pihak, bahkan presiden RI. Pasalnya, penyebab lain selain musim kemarau dan fenomena inversi adalah bauran polusi dari luar, yakni aktivitas pembakaran batubara (PLTU). Bauran ini terlihat begitu pekat menaungi udara DKI Jakarta.

Polutan terbesar sebagai hasil pembakaran batubara adalah emisi gas CO2, SO2, partikel padat lain, serta debu pengotor. Gas SO2 kendati dinilai penting dalam menghasilkan power plant PLTU, namun telah lama dikenal sebagai gas yang bisa menyebabkan iritasi pada sistem pernapasan. Sementara CO2 merupakan gas utama kontributor anomali cuaca dan suhu permukaan bumi.

Belum ada solusi

Merespon kondisi kualitas udara DKI Jakarta yang kian memburuk, sejauh ini pemerintah masih belum menemukan solusi. Adapun solusi seperti konversi pertalite ke pertamax serta rencana pengenaan pajak pencemaran lingkungan yang baru-baru ini dicokolkan di media masih menyisakan pro dan kotra.

Kebijakan pertalit ke pertamax bukanlah win win solution sebab ini justru menambah beban pengeluaran masyarakat DKI Jakarta. Padahal, yang perlu dibijaki adalah aktivitas pembakaran batubara oleh PLTU Banten. Demikian halnya dengan pengenaan pajak pencemaran lingkungan. Yang namanya perusahaan, terlebih PLTU, itu kemampuan finansialnya gede, kalau cuma dihukum dan dikenaik pajak pencemaran lingkungan, seberapapun besarnya, bukankah itu porsinya sangat kecil bagi perusahaan? Sudah pasti mampu bayar, bahkan dituntut pajak sekali, bisa bayar dua kali lipat, asalkan aktivitas terus berlanjut.

Oleh karenanya kita perlu menunggu ketegasan pemerintah dalam penanganan pekatnya polusi udara di langit Jakarta dan sekitarnya. Di negara manapun, yang namanya pembangunan itu pasti mengorbankan lingkungan. Namun setidaknya, perlu kebijakan tepat bagaimana membuat proses pembangunan itu minim dampak lingkungan. Jangan sampai kita menjaga mata air dengan genangan airmata.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun