Tak berselang lama, sentimen masyarakat terhadap kenaikan harga BBM cenderung ke arah positif. Ini menjadi bukti bahwa keseimbangan permintaan dan penawaran yang baru akan terbentuk.
Sudah lumrah dalam teori ekonomi, ketika harga sebuah komoditas bergejolak, lambat laun akan menuju keseimbangan baru.Â
Diketahui, tepat menjelang wacana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi per 1 September lalu, panic buying terjadi di sejumlah wilayah, bahkan di antara masyarakat merelakan antre berjam-jam demi membeli BBM sebanyak mungkin sebelum harga benar-benar naik.
Namun, setelah pemerintah menetapkan kenaikan harga per 3 September, keseimbangan baru perlahan terjadi sebagai wujud penerimaan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM subsidi.Â
Tercatat, hingga 18 September kemarin, sentimen masyarakat mencapai 0,123 poin. Efek psikologis penolakan terhadap kebijakan pemerintah justru berubah arah sedikit demi sedikit.
Kurang tajam
Kenaikan harga BBM subsidi begitu memukul ekonomi masyarakat. Sebagaimana tukang ojek, dengan pendapatan yang tidak menentu, daya belinya semakin tergerus.Â
Untuk memenuhi kebutuhan, ia harus merelokasi pendapatannya untuk menjangkau selisih kenaikan harga sebagai efek kenaikan harga BBM subsidi. Meski bantalan ekonomi berbentuk Bantuan Langsung Tunai BBM (BLT BBM) bergulir, tukang ojek tidak berharap mendapatkannya.
"Seberapa lama sih Mas, duit BLT bisa menjamin ekonomi saya?" tanyanya.
Kalau masyarakat ekonomi menengah ke atas, kenaikan harga BBM non-subsidi mungkin diakali dengan merelokasi dana kebutuhan membeli pakaian atau mengurangi frekuensi bertamasya.Â