Tadi pagi, ada sebuah notifikasi dari kompasiana yang menggelitik bagi saya. Diawali dengan tanda kurung siku beridentitas topik pilihan, judul dari notifikasi itu adalah sebuah pertanyaan mengenai akankah penyelenggaraan pemilu 2024 ditunda.
Kendati sebatas wacana, namun topik ini telah trending beberapa hari lalu. Bahkan, presiden saja sampai angkat bicara soal wacana ini dan dalam sebuah wawancara, presiden dengan tegas menyatakan tidak ingin lagi menjabat untuk ketiga kalinya. Orang nomor wahid di Indonesia itu beberapa waktu kemudian menambahkan pernyataan bahwa wacana penundaan pemilu 2024 oleh siapa pun merupakan gambaran sebuah negara yang demokratis. Meski sampai detik ini, saya sendiri belum menemukan ruangan demokratis itu sendiri ada atau tidak.
Entah siapa yang memulai mencokolkan wacana penundaan pemilu 2024 ini. Saya sendiri tidak begitu mengikuti perkembangannya. Yang jelas, kalau pemilu 2024 ditunda saya sendiri kurang setuju. Sebab, penundaan pemilu 2024 akan menimbulkan setidaknya tiga dampak serius.
Pertama, penundaan pemilu 2024 bertabrakan dengan UUD 1945 karena di dalamnya, konsep dan definisi sebuah negara yang demokratis tertuang dengan jelas dan gamblang.
Bila pemilu ditunda, umur jabatan presiden saat ini akan bertambah secara otomatis. Karena kebijakan penundaan ini melanggar UUD 1945, maka selama perpanjangan umur jabatan presiden itu, statusnya bisa dikatakan illegal. Kalau boleh saya katakan, negara kita akan dipimpin oleh presiden illegal.
Kedua, kalaupun presiden dengan lega menempati ruang jabatannya selama perpanjangan waktu akibat pemilu ditunda, yang saya kawatirkan akan terjadi pergolakan besar. Pergolakan besar itu dapat berupa munculnya gerakan pemberontak baru yang memanfaatkan situasi dan kondisi kepemimpinan yang illegal ini. Dalam status jabatan presiden yang illegal, tentu gerakan menggulingkan presiden akan dianggap sah. Proses penggulingan pun dapat melalui MPR, pengambilalihan komando militer secara sepihak, atau paling parahnya kondisi 1997/1998 akan Kembali terjadi melalui people power.
Kedua dampak di atas tentu akan memicu dampak lainnya dan berpotensi besar terjadinya chaos negara ini. Dan hal tersebut pastinya bukan menjadi harapan kita semua.
Baru-baru ini beberapa media mengangkat topik penundaan pemilu 2024. Mirisnya, media-media itu menyebut adanya tangan pemerintah dalam upaya meng-goal-kan wacana penundaan pemilu 2024. Kalau menurut saya, selama dua periode kepemimpinan saat ini, terdapat labirin-labirin dengan luas tertentu yang menguntungkan beberapa pembesar-pembesar tertentu. Bila terjadi pergantian pemimpin yang tidak pro dengannya, pastinya akan mengancam bahkan melibas habis labirin-labirin keuntungan itu. Oleh karenanya maka wajar, ada pihak-pihak yang dinyakini berupaya mendesak terjadinya penundaan pemilu 2024.
Saya tidak habis pikir, mengapa wacana penundaan pemilu 2024 diboomingkan. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung disertai hiasan gejolak beberapa harga sembako (minyak goreng, tempe, tahu, LPG nonsubsidi, dan BBM), wacana penundaan pemilu 2024 telah digaungkan.
Entah sadar entah tidak, sejak tahun 2021, masyarakat kita berupaya untuk dipolarisasi demi kepentingan politik 2024. Di jagat Twitter misalnya, kubu pro pemerintah terus berseteru dengan kubu kontra pemerintah dengan memanfaatkan beberapa topik tertentu (dengan tagar), misalnya baru-baru jagat Twitter ramai membahas topik penundaan pemilu 2024 dengan menggunakan tagar #JokowiSemakinDiktator, #JokowiLuhutPengkhianat. Berdasarkan Social Network Analysis (SNA), ketiga tagar ini begitu menarik perhatian masyarakat dunia maya, terutama pihak-pihak yang kontra pemerintah.
Berdasarkan gambar (1), tagar #JokowiSemakinDiktator dan #JokowiLuhutPengkhianat tidak hanya diviralkan oleh akun-akun valid, melainkan juga oleh akun palsu, seperti @mentaripagi. Ketrendingan tagar tersebut tak lepas dari tren #tundapemilu dan #tolakpenundaanpemilu. Setidaknya terdapat 3 aktor yang berperan penting dalam penyebaran tagar tersebut, yaitu akun palsu @mentaripagi, @triokwekkwek2, dan akun @dewimajid3 sebab memiliki derajat sentralitas perantara jaringan tertinggi di antara 1.463 aktor lainnya. Tidak hanya itu, ketiga akun tersebut juga memiliki jumlah follower serta derajat kesentralan keluar terbanyak sehingga menjadi aktor utama kecepatan penyebaran informasi (tweets) bertagar #JokowiSemakinDiktator dan #JokowiLuhutPengkhianat.
Sebenarnya, ketrendingan kedua tagar di atas tidak akan memiliki kecepatan penyebaran yang tinggi bila wacana penundaan pemilu 2024 tidak muncul ke permukaan media. Saya yakin, masyarakat saat ini telah lelah dengan segala kegaduhan baik politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di negara ini.
Semua pihak mestinya sama-sama menahan diri. Memunculkan wacana penundaan pemilu 2024 yang identik dengan upaya polarisasi masyarakat pastinya menambah masalah bagi sebagian masyarakat. Meski sebagian besar lainnya saya rasa bersikap masa bodoh dengan semua polemik yang ada. Oleh karena itulah menurut saya, pemilu 2024 tak perlu ditunda, sebab selain melanggar UUD 1945 juga berpotensi menimbulkan chaos negara. Ada yang lebih substansial dari sederatan masalah negara yang substansial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H