Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Mengapa Lahan Sawah Tergerus dan Petani Rugi Terus?

1 Maret 2022   14:06 Diperbarui: 17 Juni 2022   06:24 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rugi Terus

Dalam beberapa tahun terakhir, pertanian kita berjalan di tempat. Bahkan, petani sebagai aktor utama input lapangan usaha pertanian terus merugi. Nasib mereka di ambang kritis karena negara memberi sentuhan kebijakan yang membingungkan.

Di kala produktivitas lagi bagus-bagusnya, aktivitas panen di sejumlah wilayah dalam euforia, negara malah memberi sentuhan kebijakan impor pangan sehingga petani pun gigit jari. 

Ketika harga pangan mencekik akibat produksi turun atau tak mampu memenuhi kebutuhan, negara malah memberi sentuhan usang berupa operasi pasar tanpa mengecek rantai distribusi pangan. Sungguh membingungkan bukan?

Dalam setahun terakhir, Nilai Tukar Pertani (NTP) nasional rata-rata naik tipis. Terakhir, NTP yang dirilis BPS pada Februari 2022 lalu sebesar 108,83 poin. Kendati mengalami kenaikan sebesar 0,15 persen poin dibanding bulan sebelumnya, namun perbedaan antara Indeks yang diterima (It) dan Indeks yang dibayar (Ib) petani tidak jauh berbeda.

Sebagai indikator daya tukar (term of trade) produk pertanian terhadap barang dan jasa biaya produksi, angka sebesar itu sekilas terlihat petani dari sisi biaya produksi dan apa yang mereka dapatkan: impas. Padahal, NTP ini tidak mencakup barang dan jasa untuk kebutuhan sehari-hari petani. Jadi wajar bila petani kita saat ini di ujung tanduk.

Terus meruginya petani lebih lanjut saya buktikan sewaktu menanyai seorang petani yang akan menjual lahan sawahnya kepada pengembang perumahan. Motif yang mendorongnya sampai menjual lahan sawahnya adalah akibat lilitan utang. 

Di samping menanjaknya biaya produksi lahan dan kebutuhan lain, si petani tersebut juga memiliki tanggungan utang dengan bunga yang terus membengkak. Menjual lahan sawah mau tak mau menjadi pilihan terakhir si petani.

Fenomena ini sekaligus mengakhiri alur pikiran saya dalam perjalanan mengelilingi desa tempat saya tinggal. Betapa ancaman krisis pangan akibat tergerusnya lahan sawah kita ke depan demikian nyata. 

Akankah pemerintah kita terus lelap dalam iming-iming industrialisasi dan modernisasi? Sampai-sampai tak sadar bahwa kelak lahan sawah hanya tinggal istilah dan cerita. 

Apa mungkin perlu saya tegaskan lagi pesan sejarah? Bahwa negara ini pernah menyuapi secuplik negara Afrika dan membeli pesawat dengan berton-ton beras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun