Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama FEATURED

Mengapa Lahan Sawah Tergerus dan Petani Rugi Terus?

1 Maret 2022   14:06 Diperbarui: 17 Juni 2022   06:24 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengingat pula, profesi petani saat ini kurang menarik bagi banyak kalangan, terutama generasi muda. Dan pandangan negatif profesi ini juga diturunkan ke anak cucu sehingga motivasi untuk mencoba terjun ke pertanian pun sulit.

Di samping pandangan marginal terhadap profesi petani, gencarnya upaya alih fungsi lahan sawah juga membuat saya prihatin. Di mana umbul-umbul berdiri, di situ sebuah lahan sawah bakal tertutup oleh perumahan.

Memang banyak faktor yang menyebabkan seseorang petani merelakan diri menjual lahan sawahnya. Mulai dari keinginan sendiri mengubah nasib akibat jeratan ekonomi, hingga terpaksa akibat dilewati infrastruktur kepentingan negara. 

Tanpa disadari, dampak serius akan dialami negara ini 10 hingga 25 tahun ke depan. Populasi lahan sawah yang tergerus seirama dengan jumlah petani kan menyebabkan turunnya produksi pangan dari normalnya sebagai negara yang digadang-gadang berswasembada.

Di media sosial pun, suatu ketika saya terlibat diskusi terkait nasib pertanian ini. Tak selang beberapa lama, netizen yang saya ajak diskusi melontarkan opini miring. 

Ia mengatakan bahwa ke depan, negara ini tak akan cukup hanya mengimpor beras, jagung, dan kedelai, tetapi petaninya pun niscaya akan impor dari negara lain.

Ungkapan seperti itu sungguh menyayat hati. Di tengah kepayahan negara mengatasi pandemi Covid-19 dan ketidakpastian ekonomi dunia saat ini, lahan sawah sebagai tumpuan memproduksi pangan seakan tak lagi menjadi fokus perhatian pemerintah. Kalaupun masih, tampaknya kurang serius.

Bagi saya, dalam hal swasembada, negara ini masih tertatih-tatih mempertahankannya. Sebab, begitu banyaknya hasil riset terkait pertanian, hasilnya hanya terkurung di dalam ruang-ruang akademik semata. 

Sejumlah riset pertanian tak lebih dari sekadar meraih sebuah gelar, sedangkan implementasinya tidaklah mudah direalisasikan, apalagi untuk diterapkan secara nasional.

Mungkin, karena ukuran kasat mata kemajuan ekonomi adalah berjajarnya bangunan-bangunan tinggi, fokus pemerintah kita terperangkap olehnya. 

Ketidakhadiran negara dalam menjaga keberlanjutan aset pertanian membuat pengembang dan pengusaha mengganas dalam mencaplok luasan-luasan lahan sawah tanpa henti. Lantas, apalah arti sebuah kemajuan ekonomi bila pertanian sebagai sumber pangan kita semakin keropos?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun