Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menanti Keseriusan Pemerintah Merespon Kelangkaan Minyak Goreng

13 Februari 2022   05:46 Diperbarui: 13 Februari 2022   07:02 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1.  googgle trend index kata kunci "harga minyak goreng" dan "minyak goreng"/tangkap layar dari google trend

Hingga kini, minyak goreng masih menjadi perhatian masyarakat. Setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng menurut kualitasnya, nyatanya harga minyak goreng belum seragam di sejumlah wilayah. Ini merupakan masalah serius dan kalau dibiarkan, panic buying akan terulang kembali.

Kita ketahui, sejak 1 Februari lalu Kementerian Perdagangan telah memberlakukan HET tersebut. Harga seliter minyak goreng curah diatur dengan HET sebesar Rp. 11.500,-; minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp. 13.500,-; dan minyak goreng kemasan premium sebesar Rp. 14.000,-. Pengendalian harga dengan memberlakukan HET ini tentu disambut meriah oleh masyarakat, meski pemerintah agaknya tak mampu menjamin ketersediaan minyak goreng di pasar.

Di samping itu, penerapan HET minyak goreng diketahui hanya berlaku pada toko-toko moderen. Pemberlakuan HET yang tidak adil ini menyebabkan ketimpangan harga di berbagai wilayah.

Tadi pagi, saya sempat bercengkramah dengan adik saya mengenai kondisi penyebaran Omicron dan berujung bicara minyak goreng. Tidak hanya di daerah perkotaan, dampak kelangkaan minyak goreng sebagai akibat dinamisnya harga minyak goreng juga dirasakan oleh masyarakat pedesaan, yang notabene akses terhadap pasar relatif lebih sulit daripada wilayah perkotaan. Hingga kemarin (11/2/2022), di DKI Jakarta saja, ketimpangan harga minyak goreng masih terjadi. Kondisi serupa juga terjadi sampai pasar tradisional wilayah Nongkojajar, Jawa Timur.

Menurut penelusuran adik saya yang kemarin, mencari minyak goreng di sejumlah toko moderen seolah sedang bermain petak umpet. Harga minyak goreng memang telah sesuai dengan kebijakan pemerintah. Terpampang jelas di bandrol-bandrol harga toko moderen, tapi sayangnya stoknya ludes entah terjual, atau entah kemana. Harga minyak goreng (kualitas curah) yang bervariasi malah ditemukan adik saya di sejumlah toko pasar tradisional Nongkojajar.

Dari penelusuran itu, saya menyimpulkan ketimpangan harga minyak goreng masih terjadi. Harga minyak goreng di pasar tradisional juga belum tersentuh kebijakan pemerintah saat ini.

Memantau permintaan minyak goreng dengan big data

Untuk menambah kontribusi tulisan ini, analisis terhadap situasi perminyakgorengan saya lanjutkan dengan memanfaatkan big data. Dengan big data, kita bisa melihat sekilas tingkat permintaan masyarakat terhadap komoditas tertentu, khususnya minyak goreng ini. Tak sulit-sulit, saya memanfaatkan google trend index (indeks pencarian google) dengan menggunakan kata kunci yang bisa dijadikan pendekatan ukuran yang saya duga erat kaitannya dengan permintaan minyak goreng.

Dari gambar (1) ini terlihat bahwa permintaan minyak goreng di jagad maya terlihat meningkat tajam di tanggal 19 hingga 21 Januari 2022. Peningkatan tajam ini dugaan kuat saya diakibatkan tingginya intensitas masyarakat dalam memantau harga dan komoditas minyak goreng melalui mesin pencari google. Tidak hanya itu, tingginya intensitas pencarian masyarakat dalam interval waktu tersebut juga menunjukkan shock respon masyarakat terhadap pemberlakuan HET minyak goreng.

Sebagai dampak kebijakan HET, indeks pencarian google terhadap komoditas minyak goreng dan harganya cenderung naik bila dibandingkan sebelum tanggal 19 Januari 2022. Naiknya indeks ini bisa terjemahkan bahwa masyarakat mulai aktif mengamati harga dan stok minyak goreng di pasaran melalui google.

Kalau kita amati secara spasial (gambar 2), indeks pencarian google dengan kata kunci "harga minyak goreng" tertinggi berada di Jawa Timur (100), DI Yogyakarta (94), Aceh (91), Jawa Tengah (88), dan Sulawesi Selatan (84). Hal ini sekaligus mengkonfirmasi diskusi saya dan adik saya tentang situasi terkini komoditas minyak goreng di daerah Nongkojajar, Jawa Timur tadi. Ini juga berarti bahwa respon atas kebijakan pemberlakuan HET minyak goreng paling intens terjadi di wilayah Jawa Timur.

Gambar 2. google trend index secara spasial/tangkap layar dari google trend
Gambar 2. google trend index secara spasial/tangkap layar dari google trend

Hal itu ternyata konsisten dengan intensitas pencarian kata kunci "minyak goreng". Masyarakat Jawa Timur tercatat memberikan respon dengan intensitas tertinggi (100) diikuti Banten (91), Jawa Tengah (83), dan Kalimantan Selatan (81).

Terkait dengan harga minyak goreng sendiri, masyarakat paling banyak melakukan aktivitas pencarian terintens tentang informasi harga minyak goreng hari ini, kapan harga minyak goreng turun, dan harga minyak goreng hari ini di alfamart. Sedangkan pencarian masyarakat yang berkaitan dengan komoditas minyak goreng itu sendiri paling intens adalah kata kunci subsidi minyak goreng, minyak goreng 14 ribu, minyak goreng turun harga, dan berita minyak goreng.

Semestinya hal ini tidak terjadi di negara yang kaya sawit. Pakar ekonom seperti Faisal Basri juga angkat bicara mengenai situasi ini. Ia mengungkap bahwa pemerintah saat ini tidak bisa mencari akar masalah naiknya harga minyak goreng. Pada posisi permintaan yang tidak begitu melonjak, harga minyak goreng malah naik, padahal produksinya naik tipis di tengah melonjaknya harga minyak sawit dunia.

Beberapa alternatif solusi

Panic buying yang acapkali terjadi di negeri ini sebetulnya mengindikasikan kebijakan pemerintah yang kurang efektif. Kekurangefektifan ini muncul akibat kebijakan yang tidak seragam sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat. Maka sudah saatnya pemerintah dapat mengakhirinya dengan melakukan beberapa hal.

Pertama dengan melakukan operasi pasar. Ini perlu dilakukan mengingat stok minyak goreng di pasaran itu: tidak ada. Sedangkan permintaan terhadap komoditas tersebut terus berlanjut. Dengan melakukan operasi pasar, saya yakin pemerintah dapat menyuntik stok minyak goreng di wilayah-wilayah minim stok, namun permintaannya tinggi. Soalnya percuma jika harga minyak goreng turun, namun kalau stoknya kosong, harga minyak goreng yang diterima oleh konsumen pasti lebih mahal.

Kedua, saya yakin saat ini banyak pihak yang memburu rente. Perbedaan harga minyak goreng di toko-toko moderen dan pasa tradisional pasti memicu timbulnya spekulan-spekulan untuk ikut dalam "permainan" harga yang menguntungkan ini. Oleh karena itu, saya menyarankan agar pemerintah memaksimalkan Satgas pangan dan menemukan kantung-kantung minyak goreng ilegal dan yang masih bersembunyi di tengah kebingungan masyarakat.

Ketiga, kalau posisi stok minyak goreng bermerek saat ini kosong, seyogyanya pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi harga minyak goreng untuk semua merek dahulu sambil menemukan pangkal masalah kelangkaan minyak goreng. Sebab, kebutuhan terhadap minyak goreng itu, kalau bagi petani bagaikan pupuk, ia harus tersedia selama dibutuhkan, karena melekat pada kebutuhan primer masyarakat.

Keempat, mengurangi atau bahkan menghentikan ekspor CPO sejenak. Di tengah naiknya harga CPO dunia, mengekspor merupakan jalan cepat mendapatkan cuan. Tetapi, jikalau pemerintah masih pro rakyat, dengan kenaikan produksi minyak goreng yang tipis sebagaimana dikatakan ekonom Faisal Basri, saya rasa secara nilai masih lebih mulia mengalokasikan sepenuhnya untuk produksi minyak goreng dalam negeri.

Kalau dikatakan "ngibulin", ya bisa jadi banyak pihak menilai kebijakan terkait harga minyak goreng ini "ngibulin". Kebijakan yang serampangan, dicetak secara mendadak, pasti hasilnya tidak optimal. Harga disubsidi, kebijakan satu harga diterapkan, tapi hanya pada tataran toko-toko moderen, sedangkan di level konsumen sendiri bingung menentukan, wong stok barangnya kosong. Sejauh mata memandang, stok gula juga ikut-ikutan kosong di sejumlah pertokoan moderen, semacam ada beberapa komoditas primer yang sengaja disembunyikan dalam jangkauan masyarakat. Apakah bagi pemerintah ini bukan persoalan serius?

Lantas apa gunanya menggulirkan kebijakan kalau ternyata malah membikin masalah di masyarakat makin runyam begini? Ayolah pemerintah, sudahilah kebingungan masyarakat. Saatnya negara ini dikelola dengan sistem kebijakan yang lebih waras, lebih sehat, dan lebih akuntabel. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan diterapkan sedangkan esensinya cuma isapan jempol belaka. Apakah negara ini tidak bosan terus berseteru dengan rakyatnya karena ketidakadilan dan ketidaksejahteraan? Kapan rakyat bisa menikmati kebijakan dengan versi yang lebih serius?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun