Di tengah pandemi yang masih berlangsung sampai saat ini, pemerintah terus berupaya menahan kemampuan ekonomi masyarakat. Di sisi daya beli, sejumlah bantuan sosial dan bantalan ekonomi lainnya telah digelontorkan sejak virus Covid-19 merebak dan dinyatakan sebagai pandemi. Sedangkan di sisi ketenagakerjaan, pemerintah terus menggulirkan program pelatihan prakerja.
Program pelatihan prakerja ini merupakan produk hasil dari kebijakan kartu prakerja. Pada Februari 2020, program pelatihan ini resmi memiliki landasan hukum melalui perpres Nomor 36 Tahun 2020 Tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja. Dengan anggaran sekitar 8 hingga 10 triliun rupiah saat itu, program ini resmi bergulir, terutama untuk melindungi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi besar-besar yang terjadi di berbagai sektor di tengah pandemi Covid-19.
Sayangnya, program pelatihan prakerja ini masih terlalu banyak kelemahan sehingga jauh dari kata mangkus dan sangkil. Kelemahan utama pertama pembuatan program pelatihan prakerja adalah pada keamanan data kependudukan (E-KTP) yang hingga saat ini menjadi salah satu syarat utama pendaftaran program pelatihan prakerja.
Entah mengapa, sistem keamanan data kependudukan negara ini boleh dibilang: sangat lemah. Pernahkah kita mendengar, atau setidaknya tahu info dari media sosial, bahwa sejumlah data pribadi diperjualbelikan secara daring? Info soal kebocoran data (data leakage) kependudukan juga telah terjadi sekitar bulan Juni 2021 lalu. Entah siapa oknum pelakunya, yang jelas dukcapil pun menampik informasi bocornya data kependudukan tersebut dan menegaskan bahwa data tersebut bukan berasal darinya.
Ya sudahlah.... Kita dapat sejenak menutup mata soal kejadian tersebut, meski sebetulnya jelas-jelas menunjukkan bahwa keamanan data kependudukan kita sampai saat ini sangat tidak aman. Buktinya jelas kok, Nomor Induk Kependudukan presiden pun tak luput dari kebocoran di media Twitter. Kita sepertinya perlu memaksa diri untuk julid sambil lalu dan melupakannya, karena apa untungnya mengurus data pribadi? Meski kalau data-data seperti itu sangat krusial. Kelemahan data kependudukan yang mudah bocor kita hentikan sejenak di sini.
Berikutnya, kelemahan yang terkandung dalam sistem pelatihan prakerja adalah kurang profesionalnya rekanan penyedia pelatihan prakerja yang menjadi mitra program prakerja. Kira-kira dua hari lalu, saya iseng menengok media sosial dan menemukan sebuah unggahan seseorang yang mengeluhkan tentang rendahnya kualitas pelatihan dalam program prakerja. Katanya, pelatihan prakerja itu kualitasnya sangat kurang, bahkan jauh lebih baik kalau kita ikut pelatihan berbasis tutorial di youtube karena gratis dan benar-benar menambah skill.
Kalau saya boleh beropini dan sekaligus mengutarakan dugaan saya, hehe, sepertinya ada kong-kalikong antara mitra-mitra penyedia pelatihan prakerja dengan pihak pengadaan prakerja. Sama halnya dengan pendapat seseorang di media sosial tadi, saya sendiri menilai kualitas pelatihan program prakerja: buruk. Kenapa? Kalau kita bandingkan dengan penyedia pelatihan di luar sana, seperti Udemy, DQLab, Digitalsekolah, dan banyak lagi, dari sisi bobot kontennya sudah kalah telak. Lucunya, lagi, video tutorial yang diwajibkan untuk disimak oleh peserta pelatihan prakerja itu minimal 1 video dan disimak sampai habis. Bukankah kalau begitu bisa diakali dengan langsung menggeser video saja sampai batas akhir durasi saja ya? Lantas kemudian, setelah habis, peserta langsung mendapatkan sejumlah tes pasca pelatihan dan jika lolos, langsung dapat sertifikat. Sudah begitu saja?
Jujur, saya sendiri tidak memiliki latar belakang ahli IT, apalagi seorang full stack developer, tapi kok saya masih punya algoritma yang lebih "waras" ya ketimbang program pelatihan prakerja ini? Bukankah akan lebih baik bila mitra penyedia pelatihan prakerja itu betul-betul dipilih yang berkaliber dulu ya? Saya duga mitra penyedia pelatihan prakerja itu belum melewati fit and proper test layak dan terbuka secara umum, maka tidak heran bila banyak pihak yang menilai kualitas pelatihan yang disediakan ecek-ecek atau sekadar menggugurkan kewajiban.
Meski bukan ahli IT, kok saya masih ada pikiran ya, kenapa jumlah video pelatihan yang harus diselesaikan demi mendapatkan "cuan" jutaan cukup satu video? Kenapa minimalnya tidak lebih banyak sedikit? Kalau demikian, peserta prakerja saya rasa motifnya ikut prakerja cuma demi uang, bukan demi mendapatkan skill dan ilmu baru agar siap kerja.
Sekarang saya coba mengubah diri saya sebagai seorang penyidik tindak pidana korupsi (tipikor). Jauh-jauh waktu, yang terjadi dalam proses pelatihan prakerja adalah: peserta prakerja diberi sejumlah uang virtual yang, misalkan saldo awal dia sebesar Rp. 500.000,- untuk katakanlah 10 pelatihan prakerja. Lantas, untuk dapatkan insentif prakerja yang cair dalam beberapa tahap, ia hanya mampu menyelesaikan 1 pelatihan saja, katakanlah memasak nasi wewe gombel dengan biaya pelatuhan Rp. 100.000,-, saldo setelah ia ikutan pelatihan tersisa Rp. 400.000,-. Uang sebanyak Rp. 400.000,- ini kemudian "balik" lagi ke "bank virtual". Secara gerak cepat (gercep), tentu saya tergelitik sekali untuk menyelidiki uang yang "balik" ke "bank virtual" inilah, soalnya saya mengendus ada yang "mandi uang" di sini, hehe, tapi ya sudahlah, kan kalau saya menjadi penyidik tipikor.
Sebagai rakyat yang waras, dan semoga kita terus diberikan otak yang waras, kita patut ikut andil dalam mengawasi program prakerja ini. Soalnya, KPK dan ICW pun telah lama mengungkap kejanggalan-kejanggalan dalam program pelatihan prakerja ini. Coba kita ungkap kelemahan berikutnya, yaitu terkait efektivitas program prakerja dengan satu pertanyaan esensial. Apakah setelah mengikuti pelatihan prakerja, para peserta mendapat jaminan pekerjaan? Saya katakan dengan tegas: tidak.
Kalau saya berandai-andai sebagai pengambil kebijakan, kok saya kepikiran bagaimana sehabis peserta mengikuti pelatihan prakerja, mereka mendapatkan sertifikat berhologram kementerian ketenagakerjaan yang berkekuatan hukum legal formal, yang dapat digunakan peserta untuk melamar pekerjaan sesuai dengan jenis pelatihan yang ia pilih. Sertifikat itu juga tertera berapa jam ia melakukan pelatihan, apa saja jenis pekerjaannya, dan yang paling penting adalah status kelayakannya menjadi seorang pekerja di bidang pilihannya.
Ini hasil andai-andai saya, yang kelihatannya sangat berbeda dengan kenyataannya saat ini. Peserta prakerja bebas memilih pelatihan suka-suka, disediakan sejumlah uang virtual untuk "membeli" pelatihan itu, setelah lulus dengan hanya cukup 1 video dan tes, dapat sertifikat yang tidak memiliki kekuatan hukum legal formal sebagai portofolio utama kualifikasi pekerja, yang penting insentif mengucur hingga jutaan. Algoritma sistemnya terlihat "borongan" tanpa memerhatikan kualitas dan efektivitas.
Entah diakui atau tidak, sistem pelatihan prakerja yang kocar-kacir diduga dibesut oleh tenaga-tenaga berstatus: anak magang. Sebab, terdapat bagian-bagian sistem yang terputus-putus, bahkan asal jadi. Buktinya, dulu, di awal-awal program ini diterapkan, kualifikasi kepesertaannya kurang ketat, tidak ada proses verifikasi wajah, verifikasi cap jari, bahkan kalau perlu verifikasinya yang berbobot, yaitu verifikasi retina peserta. Tapi sayangnya, verifikasi yang (niat) itu tidak tercipta, sehingga banyak peserta rugi akibat EKTP yang ia daftarkan tidak valid, atau kasus riil lain, identitasnya tidak ditemukan akibat dugaan adanya oknum-oknum yang telah memanfaatkan kebocoran data kependudukan di awal penjelasan saya tadi, hehe.
Indonesia oh Indonesia, kapan ya engkau menjadi negara ya birokrasinya itu kalau membuat kebijakan memanfaatkan tenaga-tenaga andal yang algoritmanya waras dan sehat tanpa kena dibungkam uang? Program prakerja yang masih bergulir hingga kini, minim evaluasi, minim fungsi, namun boros anggaran. Kalau masyarakat kita tahu dengan situasi ini, sepertinya siapapun ia akan tersedak emosi. Bukan apa-apa sih, karena yang dipakai itu adalah uang negara, uang pajak, uang rakyat, rakyat yang setiap harinya berupaya mengais sesuap nasi dari hasil keringatnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H