Kalau saya berandai-andai sebagai pengambil kebijakan, kok saya kepikiran bagaimana sehabis peserta mengikuti pelatihan prakerja, mereka mendapatkan sertifikat berhologram kementerian ketenagakerjaan yang berkekuatan hukum legal formal, yang dapat digunakan peserta untuk melamar pekerjaan sesuai dengan jenis pelatihan yang ia pilih. Sertifikat itu juga tertera berapa jam ia melakukan pelatihan, apa saja jenis pekerjaannya, dan yang paling penting adalah status kelayakannya menjadi seorang pekerja di bidang pilihannya.
Ini hasil andai-andai saya, yang kelihatannya sangat berbeda dengan kenyataannya saat ini. Peserta prakerja bebas memilih pelatihan suka-suka, disediakan sejumlah uang virtual untuk "membeli" pelatihan itu, setelah lulus dengan hanya cukup 1 video dan tes, dapat sertifikat yang tidak memiliki kekuatan hukum legal formal sebagai portofolio utama kualifikasi pekerja, yang penting insentif mengucur hingga jutaan. Algoritma sistemnya terlihat "borongan" tanpa memerhatikan kualitas dan efektivitas.
Entah diakui atau tidak, sistem pelatihan prakerja yang kocar-kacir diduga dibesut oleh tenaga-tenaga berstatus: anak magang. Sebab, terdapat bagian-bagian sistem yang terputus-putus, bahkan asal jadi. Buktinya, dulu, di awal-awal program ini diterapkan, kualifikasi kepesertaannya kurang ketat, tidak ada proses verifikasi wajah, verifikasi cap jari, bahkan kalau perlu verifikasinya yang berbobot, yaitu verifikasi retina peserta. Tapi sayangnya, verifikasi yang (niat) itu tidak tercipta, sehingga banyak peserta rugi akibat EKTP yang ia daftarkan tidak valid, atau kasus riil lain, identitasnya tidak ditemukan akibat dugaan adanya oknum-oknum yang telah memanfaatkan kebocoran data kependudukan di awal penjelasan saya tadi, hehe.
Indonesia oh Indonesia, kapan ya engkau menjadi negara ya birokrasinya itu kalau membuat kebijakan memanfaatkan tenaga-tenaga andal yang algoritmanya waras dan sehat tanpa kena dibungkam uang? Program prakerja yang masih bergulir hingga kini, minim evaluasi, minim fungsi, namun boros anggaran. Kalau masyarakat kita tahu dengan situasi ini, sepertinya siapapun ia akan tersedak emosi. Bukan apa-apa sih, karena yang dipakai itu adalah uang negara, uang pajak, uang rakyat, rakyat yang setiap harinya berupaya mengais sesuap nasi dari hasil keringatnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H