Kalau diamati sekilas, sejak 2011 Indonesia selalu melakukan impor garam besar-besaran. Momentum kebijakannya pun bergulir di saat petambak garam lokal sedang panen raya.
Alasan yang mendasari desakan impor tersebut juga masih sama, yakni demi memenuhi kebutuhan garam sekitar 2-3 juta ton beberapa sektor industri. Situasi tersebut tentu menimbulkan pertanyaan: mengapa pemerintah seakan "tidak berdaya" menyelesaikan persoalan ini?
Upaya mengatasi impor
Sebenarnya, pemerintah telah melakukan beragam kebijakan untuk mengatasi impor garam. Langkah pemerintah melalui skema peningkatan produktivitas dan kualitas garam lokal patut diapresiasi.
Skema tersebut dilakukan dengan menyediakan air tua, yaitu lapisan air paling atas yang memiliki kandungan NaCl tinggi bagi petambak garam. Tujuannya agar mereka tidak perlu lagi mengambil air laut karena kandungan NaCl-nya masih di bawah standar Permenperin (92 persen). Skema ini setidaknya menjamin peningkatan kadar NaCl garam lokal hingga 96 persen.
Skema berikutnya dilakukan melalui pencanangan proyek percontohan (pilot project) Plant garam di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang digarap sejak 2017. Proyek tersebut ditargetkan beroperasi tahun ini dengan klaim mempunyai kapasitas menyerap garam lokal hingga 40.000 ton per tahun.
Skema terakhir yang dilakukan pemerintah adalah dengan menjalin kerjasama dengan sektor rill. Tahun lalu, pemerintah berhasil meneken nota kesepahaman dengan 11 perusahaan dalam negeri yang di dalamnya memuat komitmen menyerap sebanyak 1,1 juta ton garam lokal selama 2019-2020.
Beberapa solusi
Harga garam lokal yang terjun bebas tidak sepenuhnya disebabkan permainan harga. Desakan impor sebagai konsekuensi kualitas garam sesuai standar Permenperin juga ikut berpengaruh.
Hasil riset serta kajian yang selama ini dilakukan oleh pemerintah memang terbukti mampu meningkatkan kualitas garam lokal. Namun, alangkah baiknya bila pemerintah juga melakukan sosialisasi sekaligus pengawalan terhadap petambak garam lokal sehingga hasil riset dan kajian itu dapat diaplikasikan secara luas. Transfer pengetahun terkait teknik meningkatkan kadar NaCl garam lokal juga perlu dimonitor dan dievaluasi dengan baik untuk melihat tingkat keberhasilannya.
Proyek percontohan yang ditunaikan sejak 2017 memang berjalan. Kendati demikian, proyek tersebut agaknya lamban dan cenderung mangkrak, padahal beban biaya yang telah dan akan digelontorkan sangat besar. Desakan impor garam tentu dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan apabila proyek percontohan tersebut digarap secara serius dan berorientasi pada manfaat yang lebih luas. Yaitu dengan menerapkannya di seluruh wilayah sentra garam lokal.