Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Era Baru Sensus Penduduk

9 Januari 2020   15:58 Diperbarui: 18 Februari 2020   21:19 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, saya membaca Peraturan Presiden (Perpres) 39 Tahun 2019 tentang program Satu data (One Data). Perpres tersebut sangat menarik mengingat Indonesia dalam waktu dekat akan melaksanakan Sensus Penduduk (SP) 2020 bersama 54 negara lainnya.

Dalam Perpres itu dijelaskan bahwa program Satu Data diyakini menjadi solusi masalah tumpang-tindih data. Program Satu Data memang menjadi jembatan antara kementerian/lembaga yang kerap kali mengalami perbedaan data.

Momentum SP 2020 menjadi wadah bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat melakukan perbaikan data kependudukan secara bertahap. Dengan mekanisme yang diawali sensus daring mulai Februari hingga Maret 2020, dilanjutkan dengan sensus lengkap sekitar bulan Juli 2020.

Beberapa tujuan yang hendak dibidik dalam SP 2020 nanti adalah informasi tentang populasi penduduk Indonesia, komposisi dan perpindahan penduduk, serta menangkap karakteristik lainnya untuk pendukung program Satu Data.

Masalah konsep

Program Satu Data merupakan salah satu program andalan Presiden Joko Widodo saat ini. Tak cocok rasanya, bila data penduduk saja ada dua versi atau lebih. Perbedaan data jumlah penduduk nasional antar lembaga dinyakini menimbulkan banyak masalah di kemudian hari.

Program Satu Data memicu diskusi panjang kementerian dan lembaga. Menyikapi data populasi penduduk Indonesia dengan beragam versi, agaknya cukup memusingkan presiden dan wakilnya. 

Pada tahun 2016 misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa populasi penduduk Indonesia hasil proyeksi sebanyak 258,7 juta jiwa. Sedangkan menurut data Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) adalah 257,9 juta jiwa.

Perbedaan data antara BPS dan Dukcapil sebenarnya dipicu oleh perbedaan konsep tentang penduduk. Menurut BPS, yang dimaksud sebagai penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Indonesia selama satu tahun atau lebih dan mereka yang berdomisili kurang dari satu tahun, tetapi bertujuan untuk menetap. Inilah yang kemudian kita kenal sebagai konsep penduduk secara de facto. 

Sedangkan Dukcapil menggunakan konsep penduduk secara de jure. Konsep penduduk secara hukum berdasarkan Kartu Keluarga (KK) dan atau Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Program Satu Data "menyerukan" supaya perbedaan konsep terkait penduduk ini dipadukan. Caranya, dengan mengambil benang merah konsep kependudukan menurut BPS dan Dukcapil. Program ini diharapkan menjadi titik temu kedua konsep itu sehingga mampu mengurangi kesalahan interpretasi data (mutant statistic).

Sadar data

Pembangunan nasional tidak terlepas dari perencanaan sebab perencanaan yang gagal sama halnya merencanakan kegagalan. Kesadaran masyarakat terhadap data diperlukan untuk mewujudkan data berkualitas sehingga kebijakan yang diambil bisa tepat sasaran.

Bagaimana mungkin membangun sebuah gedung Sekolah Menengah Atas (SMA), sementara lokasinya saja tidak diketahui. Bagaimana bisa menentukan besarnya Dana Alokasi Umum (DAU), sedangkan data jumlah penduduknya tidak tersedia. 

Tanpa data, bisa jadi gedung SMA yang dibangun malah dislokasi. Bisa saja DAU justru menimbulkan polemik sebab manipulasi  data penduduknya dibuat di atas meja atau "jatuh dari langit".

Kesadaran masyarakat terhadap data dirasa mempunyai peran penting. Bersedia menjadi responden saja tidaklah cukup. Lebih dari itu, masyarakat perlu memberi informasi yang jujur dan terbuka saat didata. Karena kebijakan yang diambil bisa salah jika datanya salah.

Belum lagi, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang beranggapan pendataan (sensus) itu identik dengan bantuan langsung. Anggapan tersebut tentu mengakibatkan timbulnya kesalahan (bias) informasi sehingga data kurang berkualitas.

Sebuah Era baru

Era Big Data menjadikan kebutuhan data kian meningkat. Data bervolume besar, cepat, aktual, dan murah demikian diminati berbagai kalangan, seperti halnya data populasi penduduk. 

Sayangnya, data penduduk yang tersedia baik di BPS maupun Dukcapil masih terbatas. Di BPS, data penduduk yang tersedia hanya sampai level kecamatan. Sedangkan data penduduk level desa dipotret oleh Dukcapil berdasarkan rekapitulasi KK dan KTP.

Untuk itulah pada SP 2020 nanti, BPS menggunakan metode kombinasi. Dengan melakukan pengintegrasian konsep dan definisi penduduk baik secara de facto, maupun secara de jure dinyakini menjadi solusi menuju Satu Data. SP 2020 dilakukan dengan mekanisme pencacahan seluruh penduduk dengan memerhatikan identitas mereka pada KK dan atau KTP.

SP 2020 bukanlah milik BPS, bukan pula menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pengambil kebijakan. SP 2020 sesungguhnya adalah milik kita semua yang harus disukseskan. 

Cukup dengan melakukan sensus daring pada laman sensus.bps.go.id, seluruh data penduduk akan terekam menjadi Satu Data. Siapa lagi yang mau menyukseskan hajatan nasional itu kalau bukan kita? Melalui SP 2020, program Satu Data diharapkan memberi manfaat sekaligus menyelamatkan pembangunan bangsa. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun