Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Menjaga Kerukunan Umat Beragama Melalui Media Sosial

18 Agustus 2016   18:29 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 5245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fungsi media sosial, sumber: Dok.Pri

Interaksi Sosial Berubah Saat Teknologi Menyerang

Sebagai mahluk sosial, kita tak akan pernah bisa hidup tanpa orang lain. Kita butuh orang lain. Mulai dari hal yang mendesak, atau mungkin hal yang sangat sepele pun kita butuh orang lain. Kita tidak mungkin mampu sendirian hidup di dunia ini. Sebab, sesempurna apapun kita, tetaplah memiliki kekurangan dan kelemahan. Itu menjadi keniscayaan karena kita diciptakan Tuhan sebagai pengelola alam sekaligus dituntut untuk hidup berdampingan satu dengan yang lain.

Urgensi logis sebagai mahluk sosial, mau tidak mau kita dihadapkan pada kebutuhan berinteraksi dengan orang lain atau diistilahkan sebagai interaksi sosial. Zaman dulu pola interaksi sosial hanya terjadi dari mulut ke mulut, baik satu arah maupun dua arah. Pola interaksi sosial zaman dulu masih dibatasi oleh ruang dan waktu. Untuk mengetahui kondisi seseorang atau kerabat kita saja, dulu harus mengirimkan surat. Namun, kehadiran teknologi telah mengubah semuanya, termasuk pola interaksi sosial kita.

Teknologi hadir sebagai respon kebutuhan kita yang ingin serba cepat, mudah dan murah. Kemajuan teknologi juga mengubah pola interaksi kita yang awalnya dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi tak terbatas. Teknologi membuka seluruh border hubungan sosial kita menjadi lebih bebas dan sesuai kehendak kita. Teknologi juga secara nyata mentransformasi pola interaksi sosial yang konvensional menjadi tampilan-tampilan interaksi sosial kontemporer, dari one to one atau one to many menjadi many to many.

Sebegitu cepatnya kemajuan teknologi sehingga banyak menimbulkan pilihan-pilihan bagi kita sebagai alat bersosialita. Internet menjadi embrio pertama teknologi yang seketika merombak seluruh aspek kebutuhan kita dalam berinteraksi sosial. Surat yang awalnya hanya menggunakan kertas, seketika itu berubah menjadi surat elektronik atau yang biasa kita sebut email. Kemajuan internet begitu selaras dengan pemutakhiran media telekomunikasi yang awalnya telepon kabel berubah menjadi telepon nirkabel atau yang sekarang menjadi Hand Phone(HP).

Kemajuan teknologi ternyata tidak stagnan sampai di situ. Dengan terus berkembangnya ide dan keahlian manusia di bidang Teknologi dan Informasi (TI), internet dan media telekomunikasi melahirkan kolaborasi baru dimana HP diinjeksi sebuah kemampuan untuk dapat mengakses informasi dan berinteraksi sosial melalui internet. Dampak hilir dari kolaborasi tersebut kini melahirkan beragam fitur alat interaksi sosial, salah satunya adalah media sosial atau jejaring sosial.

Media Sosial, Apa Itu?

Sebenarnya media sosial sendiri dilihat dari bentuknya telah lama ada di dalam integralistik interaksi sosial. Bentuknya bisa dalam berupa cetak atau bersifat non-cetak, misalnya koran, majalah atau buku. Dulu, orang berinteraksi sosial melalui opini dan saling memberi atau bertukar informasi secara tertulis. Namun sekarang bentuknya lain, lebih interaktif dan lebih menarik.

Dalam pengertian media sosial sendiri, kita bisa mencuplik beberapa saja tentang apa sih yang dimaksud dengan media sosial. media sosial (medsos) adalah bentuk interaksi sosial yang transparan, menarik dan interaktif dalam bentuk konten yang bersifat digital atau berbasis komputer antara seseorang dengan orang lain di sekitarnya.

Fungsi media sosial, sumber: Dok.Pri
Fungsi media sosial, sumber: Dok.Pri
Hingga kini, fungsi dominan media sosial yang masih kita nikmati adalah sebagai tool interaksi sosial atau koneksi sosial. Dalam aspek interaksi sosial, terdapat setidaknya dua aspek utama, yaitu aksi dan reaksi. Dalam pengertiannya, aksi dalam menggunakan media sosial adalah memberikan stimulus kepada orang lain, sedangkan reaksi menyangkut respon yang diberikan orang lain kepada kita setelah stimulus tersebut diterima dan diolah. Fungsi ini juga bisa berbentuk belajar dan mengajar atau learing and teaching. Fungsi kedua dari media sosial adalah sebagai wahana berbagi atau sharing. Berbagi dalam hal ini tidak hanya menyangkut informasi saja, namun mencakup berbagi dalam bentuk yang lebih luas, misalnya berbagi gambar, video, atau berbagi hati atau curhat. Lebih lanjut, media sosial dapat berfungsi sebagai media untuk membuat sesuatu atau making something. Dengan adanya media sosial, kita bisa membuat sebuah grup tertentu, sebuah komunitas dengan entitas tertentu, lapak untuk usaha atau tautan (link) yang berkonten informasi mengenai suatu hal. Dan terakhir adalah fungsi hiburan atau refreshing. Media sosial menjadi sebuah lahan virtual bagi kita untuk sejenak menghibur diri dari segala permasalahan, kita bisa menyalurkan bakat yang kita miliki, atau mungkin sebagai ruang untuk berekspresi atau sekedar eksistensi.

Anomali Media Sosial di Indonesia

Tidak hanya di negara maju, media sosial, terutama berbasis virtual hingga kini masih banyak digunakan di Indonesia. Data Internet Live States mencatat bahwa Indonesia pada tahun 2015 saja telah menduduki peringkat ke 12 sebagai negara dengan jumlah pengguna atau user internet terbanyak di dunia. Setidaknya terdapat sekitar 54 juta orang yang mempunyai akses terhadap internet. Menariknya, dari jumlah itu, seluruh penggunaannya dikatakan fokus pada media sosial.

Jumlah itu masih merupakan hal yang wajar karena media sosial memang begitu banyak memberikan manfaat positif kepada penggunanya. Mulai dengan kemudahan di dalam menjalin persahabatan, memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga menyangkut persoalan krusial dalam kehidupan, misalnya kehilangan orang terdekat kita hingga soal keterpurukan ekonomi yang melanda diri kita. Namun, di samping manfaat yang positif itu, media sosial juga memberikan dampak negatif bagi penggunanya, khususnya dalam merawat hubungan baik dan kerukunan beragama.

Kerukunan merupakan sebuah isu yang kontekstual dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai keberagaman dengan entitas yang unik. Terlebih pada tahun 1970 hingga 1990-an, pemerintah menerapkan kebijakan transmigrasi dalam rangka penyebaran penduduk dan pembangunan di seluruh wilayah. Kebijakan ‘mengocok’ penduduk ini menjadi konsekuensi logis bagi seluruh masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan kalangan pendatang. Pun sebaliknya bagi masyarakat asli suatu daerah. Terlebih bila dikaitkan dengan proses membaurnya berbagai umat beragama di setiap daerah. Proses Indonesia saat itu terlihat pelik. Gesekan sosial dengan dalih agama kerap kali terjadi. Terlebih saat pasca reformasi, tak sedikit konflik hingga terjadi peperangan antar masyarakat karena terlalu timpangnya pemahaman dan mudahnya masyarakat untuk diprovokasi. Mulai dari kasus Gereja Yasmin di Bogor, konflik Poso, hingga penolakan warga Ahmadiyah dan Syiah di beberapa daerah. Belum lagi soal kasus Jaringan Islam Liberal (JIL), kontradiksi pembelaan kelompok yang dituduh Komunis dan persoalan etnis Tionhoa yang semakin menambah daftar persoalan kompleks tentang kondisi kerukunan beragama di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan kurangnya sinergi bangsa dan negara dalam menjamin kebebesan dalam beragama di Indonesia.

Saat ini beda lagi. Di era media sosial, konflik yang berbau agama justru lebih intens terjadi. Kita dihadapkan pada ancaman-ancaman disintegrasi agama yang lebih halus tetapi begitu viral dalam penyebarannya. Pastinya kita masih ingat tiga fondasi kerukunan beragama yang juga termaktub dalam konstitusi kita, kerukunan inter umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dan pemerintah.

Tri kerukunan beragama, sumber: Dok.Pri.
Tri kerukunan beragama, sumber: Dok.Pri.
Kalau dulu, ancaman yang menyolok adalah antar komponen kerukunan tersebut. Namun, dengan hadirnya media sosial, justru ancaman disintegrasi muncul dalam setiap komponen dan antar komponen. Dan anehnya, oknum-oknum yang menjadi sumber perpecahan adalah perorangan. Tidak hanya itu, bila ditinjau dari segi motifnya saja kebanyakan hal-hal yang sepeleatau tidak begitu penting. Apa buktinya? Coba kita amati dan kita analisis beberapa kasus riil berikut.

Contoh kasus riil penyelewengan media sosial, sumber: Dok.Pri.
Contoh kasus riil penyelewengan media sosial, sumber: Dok.Pri.
Media sosial tercatat mulai banyak digunakan sekitar 2008-an. Sejak saat itu hingga kini, kasus penyelewengan fungsi dari media sosial sangat sering terjadi, terutama berkaitan soal agama. Berdasarkan gambar, bahwa salah satu penyebab dari seorang pemuda yang menghina agama Hindu di Bali masuk dalam perkara pidana adalah ketidakmampuannya untuk mengutarakan ketikdaksetujuannya terhadap apa yang dilakukan oleh warga Hindu saat itu. Otomatis, tanpa berpikir panjang, bagi si pelaku, media sosial menjadi media yang ampuh untuk menyalurkan kondisi tersebut. Ia kemudian melakukan aktivitas posting status di media sosial dan diakhiri dengan respon yang tidak baik dari masyarakat sekitarnya.

Berikutnya adalah kasus pidana hanya karena komentar pada sebuah status yang diposting seseorang. Ini menandaskan bahwa di dalam memberikan respon terhadap sebuah pernyataan atau postingan di media sosial pun, kita harus berhati-hati. Jangan sampai berniat hanya komentar seperti biasa, namun karena menurut komentator lainnya atau pihak yang mem-posting status bernada penghinaan agama, pelecehan agama atau penistiaan, lalu di-screen shoot (SS) kemudian berbuntut pelaporan kepada pihak berwajib. Betapa konyolnya hidup kita bila hal demikian yang terjadi melalui media sosial.

Contoh yang ketiga mengenai kasus yang menimpa seorang perawat tahun 2014 yang dipolisikan karena menghina tempat ibadah. Si pelaku merasa gusar karena pekerja pembangunan rumah ibadah menyetel musik di tempat ibadah terlalu keras. Si pelaku kemudian posting status dan menghina tempat ibadah. Hanyasebab mengetik tak sampai sebuku, postingan tersebut begitu viral di media sosial sehingga menyebabkan respon buruk dari pihak pembangunan. Alhasil dipidanakan.

Menurut hasil survei Kementerian Agama (Kemenag), Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia tahun 2015 adalah 75,36 dalam rentang 0 – 100. Artinya, tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia ini adalah baik. Terlebih lagi pada tahun 2016, pastilah masih diharapkan dalam rentang angka itu. Meski demikian, yang namanya ancaman terhadap kerukunan akan tetap ada, terutama melalui media sosial. Baru-baru ini saja, masyarakat dunia maya dihebohkan dengan tindakan penistaan agama yang dilakukan oleh 5 orang laki-laki, mereka memotret diri mereka ketika ibadah, namun tidak memakai pakaian yang pantas kemudian diunggah atau diposting di media sosial. Sontak, berbagai kalangan pun geram dan melaporkannya kepada polisi karena agamanya merasa dinodai dan dilecehkan. Ini sekaligus menunjukkan betapa masih lemahnya masyarakat Indonesia dalam menjaga hubungan baik dan kerukunan beragama.

Semua Salah Media Sosial! Benarkah Demikian?

Sebentar…kita harus dudukkan pikiran kita untuk mengulas lebih dalam soal kasus di media sosial yang berbuntut pidana ini. Kita mulai dengan membahas konsep “baik dan benar” terlebih dahulu. Dalam bersosialita, apalagi melalui jejaring sosial, kita perlu memahamkan diri kita mengenai sesuatu itu baik dan benar. Sebab, ada hal-hal yang menurut kita baik, tetapi tidak benar dari sudut pandang banyak orang. Ada juga hal-hal yang menurut kita benar namun tidak baik dari sudut pandang banyak orang. Coba kita bredeli satu per satu.

Suatu ketika, ada acara pengajian di sebuah Masjid. Kebetulan tepat di sebelah masjid terdapat seorang penduduk yang beragama Kristiani. Tetapi, suara sound systemnya terlalu keras sehingga menyebabkan penduduk tersebut terganggu dengan suara pengajian yang terlalu keras.

Dalam konsep baik dan benar, kondisi ini memperlihatkan kebenaran, tetapi tidak baik. Tentu, cara menanggapinya adalah pihak panitia pengajian seharusnya meminta izin kepada penduduk yang beragama kristiani sebelum acara dilaksanakan karena akan memutar sound system sedikit keras. Atau bisa tidak meminta izin dahulu, pihak panitia pengajian seharusnya mensurvei terlebih dulu kondisi lingkungan sekitar masjid, bila terdapat penduduk beragama lain, maka seyogyanya tidak terlalu keras memutar sound system. Demikian pula bila sebaliknya, penduduk kristiani setidaknya memberitahukan baik-baik kepada pihak panitia atau penyelenggara untuk sebaiknya tidak memutar sound system terlalu keras.

Suatu ketika, terdapat sekelompok orang melakukan praktik ibadah sholat. Mereka mempraktikan sholat Subuh tetapi jumlah rakaatnya sebanyak 50 rakaat. Mereka berdalih melakukannya 50 rakaat karena sedang semangat beribadah. Kemudian mereka rekam praktik sholat itu lalu mereka sebarkan di media sosial pengunggah video.

Dalam konsep baik dan benar, kondisi ini memperlihatkan kebaikan, namanya saja ibadah, tetapi dari sudut pandang agama Islam sendiri jelas tidak benar. Sebab sholat Subuh jumlah rakaatnya harus 2.

Nah, demikian halnya saat kita berinteraksi dengan melalui media sosial. Apalagi saat ini pemerintah telah menciptakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) sebagai upaya yuridis untuk menekan jumlah penyelewengan pengguna media sosial, tentu setiap aktivitas kita di media sosial bakal terpantau dan terekam bila terendus mengandung muatan khususnya pemecah-belah kerukunan umat beragama. Betapa meruginya kita bila hanya karena komentar atau postingan di media sosial, kita mendapat sanksi penjara, denda sekaligus sanksi sosial karena rasa malu. Bila demikian yang terjadi, lantas salah siapa? Media sosial?. Bukan. Yang salah adalah pengguna dari media sosial itu sendiri. Media sosial hanya berperan sebagai tool atau alat, tak lebih dari itu.

Cara Merawat Kerukunan Umat Beragama di Era Media Sosial

Sebenarnya terdapat banyak cara untuk merawat kerukunan umat beragama di era media sosial saat ini. Upaya itu dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Beberapa cara di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, redam ego kita. Dalam media sosial, informasi mengalir deras tanpa ada remnya. Sepintas muncul di beranda akun pribadi kita atau bahkan sebuah postingan yang bermuatan kebencian sesama umat beragama berlarut-larut menampakkan diri di depan mata kita. Mau tidak mau, postingantersebut harus kita baca. Tetapi, dengan upaya kita untuk selalu meredam ego kita, kita tidak akan mudah untuk larut dalam postingan tersebut. Kita harus sadar bahwa kebenaran suatu keyakinan pun itu adalah relatif. Yang jelas, kita tetap sadar bahwa kita hanya membaca sebuah opini seseorang. Opini hanya mengandung pendapat seseorang, dan hal itu harus kita hargai sebab menjadi buah pikir atau buah penafsiran dari seseorang. Dengan demikian, kita tidak mudah tersulut amarah yang mendorong kita untuk memposting respon yang negatif di media sosial.

Kedua, biasakan untuk mengkonfirmasi postingan atau komentar. Seringkali kita menemui postingan, link share atau komentar di media sosial secara nyata memuat hal-hal yang provokatif bahkan jelas-jelas berupa penghinaan, pelecehan dan penistaan terhadap agama tertentu. Menanggapi hal ini, sebaiknya kita konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak yang melakukan dengan catatan secara pribadi (bisa menggunakan private inbox atau chatting). Sebab, ada kemungkinan bahwa si pelaku asal posting, keliru dalam membuat kalimat, atau bahkan akunya telah dibajak oleh orang lain. Sekarang banyak juga kejadian seseorang yang dalam dunia nyata kita kenal baik, tetapi tiba-tiba dalam akun media sosialnya ia menyebarkan link-link yang berisi provokasi atau bahkan pornografi. Demikian halnya bila menemui komentar miring seseorang dalam menanggapi postinganorang lain. Kita bisa bertanya baik-baik terlebih dahulu melalui kometar juga atau chatt, bila memang benar, maka sebaiknya kita menjadi pihak pencair suasana aksi-reaksi media sosial dengan mem-posting atau komentar yang mendamaikan.

Hentikan perpecahan umat beragama melalui media sosial, sumber: Dok.Pri.
Hentikan perpecahan umat beragama melalui media sosial, sumber: Dok.Pri.
Ketiga, stop posting di media sosial yang mengandung kekerasan, adu domba, penistaan agama dan peperangan pendapat. Begitu banyak postinganyang mengandung kekerasan, adu domba, penistaan agama dan adu mulut di media sosial saat ini. Malah, bila kita mengamati semisal grup diskusi antar keyakinan, antar umat beragama, atau antar aliran di dalam agama itu sendiri, terkadang membuat kita kesal, merasa jengkel, atau datar-datar saja. Sebab, begitu kejinya kalimat yang dilontarkan di dalam berdiskusi. Bukan kerukunan yang didapatkan, malah justru sebaliknya, yakni perpecahan, peperangan argumentasi dan penistaan terhadap agama. Dalam bersosialita di media sosial kita harus memegang teguh prinsip “tengoklah ke dalam sebelum bicara” atau “berpikir mendalam sebelum mem-posting dan berkomentar” di media sosial. Dengan bekal konsep “baik dan buruk” kita setidaknya lebih mengerti adab dan etika dalam membentengi diri kita dari muatan kekerasan, adu domba sesama agama, penistaan agama atau perdebatan kusir antar agama.

Keempat, tumbuh dan kembangkan sikap toleransi umat beragama. Kita semua mengetahui bahwa setiap agama di Indonesia mempunyai hak mengklaim kebenaran menurut keyakinannya masing-masing. Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 juga tertuang pasal-pasal kebebasan dalam beragama dan beribadah menurut agamanya itu tanpa gangguan pihak lain. Begitu pula di dalam Pancasila, utamanya sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, begitu jelas tertuang butir-butir implementasi bahwa kita sebaiknya menghormati dan menghargai sesama umat beragama. Keberagaman umat beragama di Indonesia ini merupakan keniscayaan, sebab dalam konsep Islam sendiri telah jelas tertuang dalam kitab suci, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” Dalam konteks di era media sosial, ini menandaskan bahwa perbedaan pendapat baik di dalam postingan atau komentar di media sosial merupakan keniscayaan, tak lain merupakan sebuah realitas sosial yang hendaknya kita maklumi sekaligus kita hargai sebagai wujud dari pemikiran manusia. Perbedaan pendapat itu seharusnya kita rayakan bersama, bukan sebagai alasan berpecah-belah satu dengan yang lainnya.

Kelima, ajarkan pada generasi muda mengenai konsep Peace Education atau pendidikan perdamaian. Pendidikan perdamaian merupakan sebuah konstruksi pendidikan yang memberikan asupan ilmu dasar perdamaian dan bagaimana mengikis kekerasan, permusuhan, disharmoni sosial dan sejenisnya.  Peace Education juga menawarkan konsep bagaimana membuka diri dan mengakui keyakinan agama lain dan bagaimana cara untuk bertenggang rasa bila mendapatkan sebuah stimulus yang tidak baik, terutama di media sosial. Peace Education juga memuat pendidikan bagi generasi muda tentang cara memahami konsep definisi serta aplikasi sosial pluralisme dalam agama. Pluralisme bukannya konsep bahwa semua agama benar secara mutlak. Pluralisme membeberkan pengertian bahwa seluruh agama di dalam kehidupan ini mempunyai prinsip egaliter. Semua agama boleh saling bergotong-royong dan membantu dalam kebaikan, kecuali dalam konteks ibadah. Pemahaman mengenai pluralisme, sederhananya dapat dilustrasikan sebagai berikut.

Pemahaman mendasar tentang Pluralisme, sumber: Dok.Pri.
Pemahaman mendasar tentang Pluralisme, sumber: Dok.Pri.
Ilustrasi tersebut dapat kita aplikasikan dalam kerangka kehidupan ber-media sosial. Bila terdapat orang lain yang semisal Muslim yang sedang membutuhkan bantuan akibat lilitan ekonomi dan kita sebagai seorang Muslim, maka posisikan diri kita sebagai seagama atau sesama Muslim. Dalam konteks ibadah pun kita juga dapat membantunya. Bila kemudian orang lain misalnya umat Kristiani memerlukan bantuan oleh suatu sebab, maka kita sebagai seorang Muslim memposisikan diri kita sebagai sesama umat beragama untuk saling membantu, kecuali dalam hal ibadah. Dalam tataran lebih lanjut semisal dalam sebuah negara terdapat kelompok yang teraniayah dan memerlukan bantuan, misalnya kelompok yang dianggap ajaran menyimpang, maka posisikan diri kita sebagai sesama manusia untuk membantunya. Dan dalam tingkatan yang lebih tinggi, semisal terdapat seekor kucing yang tenggelam di sungai, maka kita posisikan diri kita sebagai sesama mahluk hidup ciptaan Tuhan di dalam menolong kucing tersebut. Konsep ini memberikan pengajaran bagi manusia tentang bagaimana menjaga keseimbangan hubungan secara horizontal untuk mencapai kerukunan umat beragama. Kerangka pikir sebelum ber-media sosial itu kemudian dapat kita implementasikan melalui postinganakun media sosial kita, kita sebarkan kasih sayang, nilai-nilai persahabatan dan persatuan kepada khalayak.

Fenomena alam, pelangi, Sumber: Dok.Pri.
Fenomena alam, pelangi, Sumber: Dok.Pri.
Keenam, mari kita belajardan mengambil hikmah dari peristiwa alam sebelum ber-media sosial, yaitu pelangi. Kita tahu bahwa pelangi itu terjadi karena peristiwa pembiasan cahaya matahari oleh pertikel air ketika hujan gerimis. Cahaya matahari menurut sains berasal dari satu warna saja, yaitu warna putih. Warna ini biasanya disebut sebagai warna polykromatik, artinya warna yang mengandung beragam warna. Padawaktu terjadinya pelangi, cahaya berwarna putih itu terbiaskan menurut sudut bias yang berbeda-beda. Walhasil, terbentuknya pendaran cahaya yang berwarna-warni, mulai dari merah, jingga, kuning, hijau, ungu serta warna gradasinya masing-masing. Kalau kita amati, warna yang ditimbulkan pelangi itubersatu sehingga nampak indah di mata bila kita pandang. Setiap warna tidak berdiri sendiri. Bisa dibayangkan betapa membosankannya bila warna pelangi hanya terdiri atas satu warna saja. Masing-masing warna pelangi begitu dapatbersama, berkombinasi dengan apik sehingga mencokolkan rasa keindahan. Maknanyayang kita dapatkan adalah bahwa keberagaman itu sangat indah. Persatuan dankesatuan itu membentuk sebuah kekuatan yang indah. Bahwa kita hidup di alam iniharus selalu rukun terhadap sesama manusia, tidak memandang agama apa yang iayakini. Perihal agama mana yang paling benar, itu adalah hak Sang Pencipta sebagai hakimnya, sebagai wasitnya, sebagai ketua panitianya. Agama apapun, intinya bersumber dari sebuah satu keyakinan, semua ber-Tuhan Yang Satu. Dan dari satu sumber itulah, perbedaan timbul karena sudut pandang manusia yangberbeda-beda mengenai kebenaran Tuhan.

Mari bersatu dalam keragaman untuk Indonesia damai, sumber: Dok.Pri.
Mari bersatu dalam keragaman untuk Indonesia damai, sumber: Dok.Pri.
Dengan demikian maka jelaslah, bahwa kita harus merawat kerukunan umat beragama. Kita ditakdirkan beragama di Indonesia yang begitu beragam kultur dan historisnya, namun kita tahu bahwa kemerdekaan bangsa dan negara ini diraih dengan bekal persatuan dan kesatuan itu. Maka sudah seharusnya lah kita rawat kerukunan agar persatuan dan kesatuan itu tetap utuh. Melalui media sosial, kita tuangkan sebuah ruang berbagi dan lahan seluas-luasnyauntuk menjalin kerukunan, persahabatan dan solidaritas yang tinggi terhadapsesama. Niscaya, perdamaian abadi itu kelak kita raih, bukan sekedar mimpi.

Sumber bacaan:

Nurcholish, Ahmad. 2014. Peace Education, Pendidikan Perdamaian Gus Dur. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Kirom, Abdul. 2015. Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Merawat Kehidupan Umat Beragama.[Tesis]. Yogyakarta: UIN SUnan Kalijaga

Muthi, M. Misbahul. 2015. Implementasi Pendidikan Agama dalam Meningkatkan Kerukunan Sosial Beragama Antar Siswa dan Kesadaran Pluralitas Agama Siswa di SMA 1 Magelang Tahun Pelajaran 2014 - 2015. [Tesis]. Salatiga: IAIN Salatiga.

Komunika. 2011. Indahnya Kerukunan Antar Umat Beragama. [Tabloid edisi ke-5]. Jakarta: Komunika.

Kementerian Agama. 2014. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Agama.

Kompas. 10 Februari 2016. Tingkat Kerukunan Beragama DKI Jakarta di Bawah Indeks Rata-Rata Nasional. 

Facebook: Joko Ade 

Twitter: Joko Ade Nursiyono

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun