Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Menjaga Kerukunan Umat Beragama Melalui Media Sosial

18 Agustus 2016   18:29 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 5245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fungsi media sosial, sumber: Dok.Pri

Suatu ketika, ada acara pengajian di sebuah Masjid. Kebetulan tepat di sebelah masjid terdapat seorang penduduk yang beragama Kristiani. Tetapi, suara sound systemnya terlalu keras sehingga menyebabkan penduduk tersebut terganggu dengan suara pengajian yang terlalu keras.

Dalam konsep baik dan benar, kondisi ini memperlihatkan kebenaran, tetapi tidak baik. Tentu, cara menanggapinya adalah pihak panitia pengajian seharusnya meminta izin kepada penduduk yang beragama kristiani sebelum acara dilaksanakan karena akan memutar sound system sedikit keras. Atau bisa tidak meminta izin dahulu, pihak panitia pengajian seharusnya mensurvei terlebih dulu kondisi lingkungan sekitar masjid, bila terdapat penduduk beragama lain, maka seyogyanya tidak terlalu keras memutar sound system. Demikian pula bila sebaliknya, penduduk kristiani setidaknya memberitahukan baik-baik kepada pihak panitia atau penyelenggara untuk sebaiknya tidak memutar sound system terlalu keras.

Suatu ketika, terdapat sekelompok orang melakukan praktik ibadah sholat. Mereka mempraktikan sholat Subuh tetapi jumlah rakaatnya sebanyak 50 rakaat. Mereka berdalih melakukannya 50 rakaat karena sedang semangat beribadah. Kemudian mereka rekam praktik sholat itu lalu mereka sebarkan di media sosial pengunggah video.

Dalam konsep baik dan benar, kondisi ini memperlihatkan kebaikan, namanya saja ibadah, tetapi dari sudut pandang agama Islam sendiri jelas tidak benar. Sebab sholat Subuh jumlah rakaatnya harus 2.

Nah, demikian halnya saat kita berinteraksi dengan melalui media sosial. Apalagi saat ini pemerintah telah menciptakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) sebagai upaya yuridis untuk menekan jumlah penyelewengan pengguna media sosial, tentu setiap aktivitas kita di media sosial bakal terpantau dan terekam bila terendus mengandung muatan khususnya pemecah-belah kerukunan umat beragama. Betapa meruginya kita bila hanya karena komentar atau postingan di media sosial, kita mendapat sanksi penjara, denda sekaligus sanksi sosial karena rasa malu. Bila demikian yang terjadi, lantas salah siapa? Media sosial?. Bukan. Yang salah adalah pengguna dari media sosial itu sendiri. Media sosial hanya berperan sebagai tool atau alat, tak lebih dari itu.

Cara Merawat Kerukunan Umat Beragama di Era Media Sosial

Sebenarnya terdapat banyak cara untuk merawat kerukunan umat beragama di era media sosial saat ini. Upaya itu dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Beberapa cara di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, redam ego kita. Dalam media sosial, informasi mengalir deras tanpa ada remnya. Sepintas muncul di beranda akun pribadi kita atau bahkan sebuah postingan yang bermuatan kebencian sesama umat beragama berlarut-larut menampakkan diri di depan mata kita. Mau tidak mau, postingantersebut harus kita baca. Tetapi, dengan upaya kita untuk selalu meredam ego kita, kita tidak akan mudah untuk larut dalam postingan tersebut. Kita harus sadar bahwa kebenaran suatu keyakinan pun itu adalah relatif. Yang jelas, kita tetap sadar bahwa kita hanya membaca sebuah opini seseorang. Opini hanya mengandung pendapat seseorang, dan hal itu harus kita hargai sebab menjadi buah pikir atau buah penafsiran dari seseorang. Dengan demikian, kita tidak mudah tersulut amarah yang mendorong kita untuk memposting respon yang negatif di media sosial.

Kedua, biasakan untuk mengkonfirmasi postingan atau komentar. Seringkali kita menemui postingan, link share atau komentar di media sosial secara nyata memuat hal-hal yang provokatif bahkan jelas-jelas berupa penghinaan, pelecehan dan penistaan terhadap agama tertentu. Menanggapi hal ini, sebaiknya kita konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak yang melakukan dengan catatan secara pribadi (bisa menggunakan private inbox atau chatting). Sebab, ada kemungkinan bahwa si pelaku asal posting, keliru dalam membuat kalimat, atau bahkan akunya telah dibajak oleh orang lain. Sekarang banyak juga kejadian seseorang yang dalam dunia nyata kita kenal baik, tetapi tiba-tiba dalam akun media sosialnya ia menyebarkan link-link yang berisi provokasi atau bahkan pornografi. Demikian halnya bila menemui komentar miring seseorang dalam menanggapi postinganorang lain. Kita bisa bertanya baik-baik terlebih dahulu melalui kometar juga atau chatt, bila memang benar, maka sebaiknya kita menjadi pihak pencair suasana aksi-reaksi media sosial dengan mem-posting atau komentar yang mendamaikan.

Hentikan perpecahan umat beragama melalui media sosial, sumber: Dok.Pri.
Hentikan perpecahan umat beragama melalui media sosial, sumber: Dok.Pri.
Ketiga, stop posting di media sosial yang mengandung kekerasan, adu domba, penistaan agama dan peperangan pendapat. Begitu banyak postinganyang mengandung kekerasan, adu domba, penistaan agama dan adu mulut di media sosial saat ini. Malah, bila kita mengamati semisal grup diskusi antar keyakinan, antar umat beragama, atau antar aliran di dalam agama itu sendiri, terkadang membuat kita kesal, merasa jengkel, atau datar-datar saja. Sebab, begitu kejinya kalimat yang dilontarkan di dalam berdiskusi. Bukan kerukunan yang didapatkan, malah justru sebaliknya, yakni perpecahan, peperangan argumentasi dan penistaan terhadap agama. Dalam bersosialita di media sosial kita harus memegang teguh prinsip “tengoklah ke dalam sebelum bicara” atau “berpikir mendalam sebelum mem-posting dan berkomentar” di media sosial. Dengan bekal konsep “baik dan buruk” kita setidaknya lebih mengerti adab dan etika dalam membentengi diri kita dari muatan kekerasan, adu domba sesama agama, penistaan agama atau perdebatan kusir antar agama.

Keempat, tumbuh dan kembangkan sikap toleransi umat beragama. Kita semua mengetahui bahwa setiap agama di Indonesia mempunyai hak mengklaim kebenaran menurut keyakinannya masing-masing. Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 juga tertuang pasal-pasal kebebasan dalam beragama dan beribadah menurut agamanya itu tanpa gangguan pihak lain. Begitu pula di dalam Pancasila, utamanya sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, begitu jelas tertuang butir-butir implementasi bahwa kita sebaiknya menghormati dan menghargai sesama umat beragama. Keberagaman umat beragama di Indonesia ini merupakan keniscayaan, sebab dalam konsep Islam sendiri telah jelas tertuang dalam kitab suci, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” Dalam konteks di era media sosial, ini menandaskan bahwa perbedaan pendapat baik di dalam postingan atau komentar di media sosial merupakan keniscayaan, tak lain merupakan sebuah realitas sosial yang hendaknya kita maklumi sekaligus kita hargai sebagai wujud dari pemikiran manusia. Perbedaan pendapat itu seharusnya kita rayakan bersama, bukan sebagai alasan berpecah-belah satu dengan yang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun