Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bonus Demografi atau Zonk Demografi

15 Agustus 2016   05:47 Diperbarui: 4 April 2017   17:46 2266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Populasi Penduduk Dunia (dok.Pri)

Ada Apa dengan Bumi?

Apa apa dengan Bumi?. Semakin banyak kerusakan, kemiskinan dimana-mana, masalah sosial tiada habisnya. Pendidikan tak berkualitas. Kesejahteraan masyarakat menurun. Kelangkaan pangan. Krisis moral dan spiritual. Lesunya perekonomian. Udara kehilangan kandungan oksigennya. Air kehilangan jernihnya. Tanah kehilangan unsur haranya. Sampah menumpuk kehilangan tempat penampungannya. Radiasi kehilangan filternya. Es mencair kehilangan suhu dinginnya. Dan masih banyak lagi masalah yang ada bila dikuliti satu per satu.

Dari sekian masalah yang diderita oleh bumi, bila diusut ternyata biangnya adalah soal demografi. Demografi adalah soal manusia, meliputi strukturnya, perkembangannya hingga tatanannya. Demografi menceritakan kondisi populasi manusia dan segala aktivitasnya di muka bumi. Demografi mengambil peran mengenai perilaku dan pola kehidupan manusia sebagai pengelola alam, sehingga baik atau buruknya manusia, akan tertuang dalam kompleksitas demografi.

Ada apa dengan bumi sejatinya dapat digambarkan dengan ada apa dengan manusia. Populasi manusia semakin meningkat. Bumi semakin sempit hingga daratan kelak terancam punah oleh rumah-rumah yang membagi habis daratan. Bumi sesak karena jumlah persediaan oksigen tak mampu mencukupi kebutuhan manusia. Bila dipikir memang logis. Coba kita amati grafik berikut.

Pada tahun 1000-an, jumlah populasi penduduk di seluruh dunia masih sekitar 250 juta jiwa. Kemudian naik menyentuh angka 7 miliar jiwa pada tahun 2012. Hingga akhir 2015, jumlah populasi penduduk telah mencapai 7,3 miliar jiwa. Menariknya, sekitar 4 miliarnya adalah populasi penduduk Benua Asia. Konsekuensinya, bumi semakin padat, padat dengan penduduk. Kondisi ini justru membahayakan sebab daratan bumi tidak dapat bertambah untuk menampung populasi itu, sedangkan populasi penduduk terus bertambah.

Dampak dari pertumbuhan populasi penduduk itu sangat terasa. Seperti berbagai fenomena yang terjelaskan di awal, setidaknya ada lima dampak besar yang terangkum sebagai dampak meningkatnya populasi penduduk di bumi, yaitu kerusakan lingkungan, kelangkaan sumber daya, kerawanan pangan, kemiskinan dan yang terakhir yaitu timbulnya konflik sosial.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Jumlah penduduk yang besar ini mengindikasikan melimpahnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki oleh Indonesia. Jumlah penduduk yang besar juga berpotensi menciptakan SDM yang andal sebagai bekal mengelola Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang melimpah. Lantas, apakah benar demikian? Coba kita cermati grafik berikut.

Jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 - 2014, (dok.Pri)
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 - 2014, (dok.Pri)
Jumlah penduduk Indonesia nampaknya terus meningkat sepanjang tahun 2005 hingga 2014. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015), laju pertumbuhan penduduk Indonesia berkisar antara 1 – 2 persen per tahun. Relevansinya dengan kondisi penduduk dunia adalah luas daratan di Indonesia adalah tetap, tetapi jumlah penduduk terus bertambah sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial. Buktinya? Coba kita kaitkan dengan kondisi luas wilayah menurut pulau dan distribusi penduduk Indonesia tahun 2014.

Luas pulau dan sebaran penduduk Indonesia tahun 2014 (dok.Pri)
Luas pulau dan sebaran penduduk Indonesia tahun 2014 (dok.Pri)
Ada yang aneh? Tentu. Terlihat bahwa berdasarkan luas, Pulau di Indonesia dengan wilayah terluas adalah Maluku dan Papua, termasuk Papua Barat. Tetapi, persentase penduduk yang menempatinya secara nasional hanya sekitar 3 persen. Sebaliknya, Pulau Jawa yang notabene mempunyai luas sekitar 19 persen harus ‘rela’ dan ‘berkorban’ menampung sekitar 57 persen dari total penduduk Indonesia. Kondisi ini secara konkret diperlihatkan oleh timpangnya kepadatan penduduk per kilometer persegi di tiap daerah. 

Secara nasional, kepadatan penduduk per luas wilayah hingga tahun 2014 saja, wilayah DKI Jakarta menduduki posisi tertinggi, yakni sebesar 12.173 jiwa per km persegi. Artinya, setiap 1 kilometer persegi, wilayah DKI Jakarta dihuni setidaknya sebanyak 12.173 jiwa. Data dari Kementerian Dalam Negeri tahun 2015 menyebutkan bahwa luas DKI Jakarta adalah 664,01 km persegi dengan jumlah penduduk sebesar 9.992.842 jiwa. Bila idealnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebanyak 30 persen dari luas, maka luas Ruang Terbangun (RT) adalah 199,203 km persegi. 

Merujuk data tersebut didapatkan kepadatan penduduk DKI Jakarta tahun 2015 telah mencapai 50.165 jiwa per km persegi. Bila diasumsikan jumlah orang dalam satu keluarga rata-rata 4 orang, setidaknya terdapat kurang lebih 12.542 Keluarga (KK) per km persegi. Hasil perhitungan kasar tersebut memiriskan. Tata bangunan pemukiman penduduk di DKI Jakarta tidak lagi secara horizontal, tetapi harus dikombinasikan dengan bangunan bertingkat atau vertikal. Itu pun belum ditambah dengan bangunan non-tempat tinggal.

Sebaliknya, kepadatan penduduk di Papua Barat adalah 9 jiwa per km persegi. Bila asumsinya setiap KK terdiri dari 4 orang, maka setidaknya dalam 1 km persegi, di Papua Barat hanya dihuni sekitar 2 sampai 3 KK saja. Tampak sepi dan bagaimana mungkin perekonomian rakyat Papua Barat dapat berputar bila kondisinya demikian.

Ketimpangan sebaran penduduk ini juga menimbulkan permasalah di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2015 masih merayap sekitar 5 persen. Hal ini merupakan dampak dari lesunya investasi di dalam negeri dan di lain sisi, jumlah pengangguran terbuka masih terbilang tinggi.

TPAK dan TPT Indonesia tahun 2014, (Dok.Pri)
TPAK dan TPT Indonesia tahun 2014, (Dok.Pri)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari tahun 2005 hingga 2014 terlihat stagnan di angka 66 sampai 68 persen dari total penduduk tiap tahunnya. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami perlambatan penurunan. Kondisi ini tentunya sulit bagi Indonesia untuk meningkatkan turbulensi perekonomian nasional. 

Jumlah penduduk terus bertambah, tetapi persentase yang bekerja stagnan. BPS mencatat bahwa sejak 2006 hingga 2014, persentase TPAK masih didominasi oleh gender laki-laki dibandingkan perempuan, dengan komposisi 60 – 70 persen laki-laki dan 30 – 40 persen perempuan. Selain itu, BPS juga menyebutkan bahwa permintaan tenaga kerja menurut tamatan tertinggi masih didominasi oleh Diploma dan Perguruan Tinggi. Sedangkan suplai tenaga kerja selain tamatan Diploma dan Perguruan Tinggi melebihi suplai tenaga kerja tamatan Diploma dan Perguruan Tinggi.

Ini mengindikasikan adanya translasi orientasi permintaan tenaga kerja terhadap suplai dari tenaga kerja yang ada. Alhasil, permintaan tidak dapat diimbangi oleh suplai sehingga mengakibatkan terjadinya pengangguran terselubung hingga pengangguran terbuka. Perusahaan atau industri dalam negeri tampaknya lebih memilih berpola padat modal ketimbang padat karya sehingga permintaan terhadap suplai tenaga kerja begitu ketat. Berbekal kualifikasi tenaga kerja yang lebih mengutamakan level pendidikan menyebabkan sejumlah tenaga kerja tersia-siakan. Belum lagi bila mempertimbangkan kuota tenaga kerja, tentu akan lebih menambah pengangguran bagi mereka yang tidak lolos seleksi.

Persoalan lain menyangkut dampak pertumbuhan penduduk di Indonesia adalah kondisi lingkungan. Kita semua tentu mengetahui bahwa timbulan sampah rumah tangga sejalan dengan jumlah penduduk. Data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga menyebutkan bahwa setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah sekitar 2 kg per hari, atau sekitar 700 kg sampah dalam setahun. Bila diasumsikan sama untuk setiap tahunnya, maka bisa dikalkulasi begitu banyak sampah yang dihasilkan di Indonesia. Tahun 2012 saja, volume sampah di Indonesia mencapai 178.850.000 ton dan 50 persen lebihnya merupakan sampah yang ditimbulkan oleh rumah tangga.

Kemelut persoalan menyangkut demografi dan karekateristiknya hingga kini masih menjadi topik hangat para ahli demografi. Membahas soal demografi, kurang lengkap rasanya bila tidak mengaitkannya dengan fenomena Bonus Demografi yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia, bahkan menjadi booming news. Lantas, apa itu Bonus Demografi?.

Bonus Demografi

Bonus Demografi. Yang namanya bonus…tentu secara sederhana diartikan sebagai bentuk insentif atau kompensasi bila kita telah bekerja keras, berupaya secara maksimal, sehingga mencapai target-target yang telah direncanakan. Dengan demikian, Bonus Demografi tak lain merupakan wujud insentif atau kompensasi dari keberhasilan suatu negara, khususnya Indonesia dalam mencapai tujuan penataan struktur demografi secara nasional. Menurut Woongbongsin, dkk. (2003), Bonus Demografi secara teoritis didefinisikan sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas (tingkat kelahiran) dalam jangka panjang. 

Menurut John Ross (2004), juga menegaskan bahwa Bonus Demografi terjadi karena penurunan kelahiran yang dalam jangka panjang menurunkan proporsi penduduk usia muda sehingga investasi pemenuhan kebutuhannya dapat berkurang dan sumber daya dapat dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Bloom dkk. (2003) dan Bloom dkk. (2011) juga memasukkan faktor berkurangnya mortalitas di samping penurunan fertilitas sebagai akibat terjadinya transisi demografi.

Merujuk beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Bonus Demografi adalah sebuah kondisi terjadinya penurunan fertilitas dan mortalitas yang memberikan dampak keuntungan ekonomis sebagai akibat terjadinya transisi demografi. Bila ditelisik lebih dalam, Bonus Demografi ditandai dengan meningkatkan proporsi jumlah penduduk usia produktif dibandingkan proporsi penduduk usia non-produktif. 

Dikatakan sebagai usia produktif yakni usia dimana penduduk dikatakan secara standard mempunyai kualifikasi menghasilkan nilai tambah perekonomian, baik barang maupun jasa. Menurut standard internasional, usia produktif ini berkisar antara 15 – 64 tahun, sedangkan usia non-produktif berkisar antara 0 – 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas. Perbandingan atau rasio antara jumlah penduduk usia non-produktif terhadap jumlah penduduk usia produktif ini kemudian menghasilkan sebuah angka yang dinamakan angka ketergantungan atau Dependency Ratio(DR).

Penurunan DR inilah yang menunjukkan bahwa penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif. Kondisi ini secara spontan mampu menciptakan ketersediaan tenaga kerja yang mampu menggerakkan turbulensi perekonomian nasional dan pada akhirnya bisa mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat dan stabilitas investasi. Historikal transisi demografi Indonesia secara konkret dapat diamati berdasarkan gambar berikut.

Zona Bonus Demografi Indonesia 2010 - 2035, (Dok.Pri)
Zona Bonus Demografi Indonesia 2010 - 2035, (Dok.Pri)
Penurunan DR tidak terlepas dari peranan pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terus menggalakkan program “2 anak, cukup” bagi seluruh lapisan masyarakat. Tercatat sejak tahun 2004 hingga 2013 saja, Total Fertility Rate(TFR) Indonesia berkisar pada angka 2. Artinya, setiap perempuan usia subur di Indonesia rata-rata melahirkan anak sebanyak 2 orang hingga akhir masa reproduksinya. 

Hasilnya pun tampak signifikan menekan angka kelahiran dan nilai DR pun perlahan kurang dari 50 persen sejak tahun 2011. Menurut guru besar Demografi UI, Prof. Dr. Sri Moertiningsih A., Indonesia telah memasuki zona Bonus Demografi sejak tahun 2010 dan akan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 2020 – 2030. Bonus Demografi akan terjadi apabila DR berada pada rentang 40 hingga 50 persen. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif menanggung penduduk usia non-produktif sebanyak 40 – 50 jiwa.

Proyeksi struktur penduduk Indonesia 2010 - 2035, BPS, BPPN, PBB (Dok.Pri)
Proyeksi struktur penduduk Indonesia 2010 - 2035, BPS, BPPN, PBB (Dok.Pri)
Terlihat pada grafik bahwa jumlah penduduk usia 0 – 14 tahun yang diproyeksikan dari tahun 2010 hingga 2035 di Indonesia terus menurun secara berarti. Hal ini merupakan simulasi nasional apabila program Keluarga Berencana (KB) dan “2 anak, cukup” secara konsisten terus disosialisasikan oleh pemerintah dan pada waktunya akan mendidik masyarakat untuk lebih bijak dalam perencanaan keluarga. Data BPS juga menyebutkan bahwa hingga 2014, jumlah perempuan usia subur yang menggunakan alat KB semakin meningkat menyentuh angka 75 persen. Kesehatan perempuan usia subur tetap terjaga, tingkat kelahiran pun dapat dikontrol dengan baik.

Capaian ini sangat erat kaitannya dengan keberhasilan pendidikan. Aspek pendidikan merupakan tataran pokok dalam membentuk pola pikir masyarakat. Melalui mekanisme pendidikan, kerangka pikir masyarakat mulai meninggalkan paradigma lama yang menjadi ancaman fase Bonus Demografi. Dulu, kita pasti mengenal yang namanya “banyak anak, banyak rezeki.” Pernyataan ini begitu memengaruhi masyarakat saat itu. 

Namun, sejalan dengan majunya pendidikan, kesadaran akan partisipasi sekolah kian meningkat seiring tuntutan globalisasi ekonomi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pun terus meningkat hingga menyentuh 70 poin di tahun 2015 (BPS, 2016). Selaras dengan itu, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan juga kian meningkat, terlihat bahwa Angka Harapan Hidup (AHH) Indonesia telah menyentuh 70,1 tahun. Ini menjadi syarat perlu bagi Indonesia dalam mengarungi fase Bonus Demografi sebab kesiapan di bidang pendidikan merupakan salah satu bekal menentukan seberapa lama Bonus Demografi itu dapat dinikmati oleh Indonesia. Lantas, apakah Bonus Demografi itu benar-benar sebuah bonus, ataukah sedekar zonk belaka?.

Bonus, atau Sekedar Zonk?

Para ahli demografi menyebutkan bahwa Bonus Demografi mengandung sebuah fase yang disebut sebagai The Window of Opportunity (jendela kesempatan/peluang). Nampak pada grafik sebelumnya, proyeksi terjadinya Bonus Demografi di Indonesia akan berakhir pada tahun 2030. Ditandai dengan naiknya kembali angka DR Indonesia sekaligus memberikan sinyal akan ancaman Baby Bloom atau ledakan kelahiran penduduk.

Perlu untuk diketahui oleh kita semua bahwa Bonus Demografi merupakan fenomena yang terjadi sekali. Yang namanya bonus, pasti merugikan jika tidak dapat ‘diambil’ atau dimanfaatkan. Layaknya “pedang bermata dua” Bonus Demografi juga akan menjadi Zonk Demografi bila disia-siakan momentumnya. Sebab, pada fase inilah suplai tenaga kerja yang berkualitas akan tercipta. 

Pada fase ini, iklim investasi di Indonesia yang selama ini masih didominasi oleh modal asing dapat tergantikan oleh modal dalam negeri karena meningkatkan akumulasi modal kapital dan tabungan masyarakat (public saving). Bonus Demografi memberikan ‘angin segar’ untuk merehabilitasi dan mentransformasi struktur demografi sehingga mampu mengurangi jumlah pengangguran. 

Tak ayal pula, Bonus Demografi juga mampu menciptakan Good Governance dalam rangka perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik. Pada hilirnya, Bonus Demografi diharapkan mampu mendorong luasnya lapangan kerja untuk menampung seluruh suplai tenaga kerja atau full employement yang menjadi kunci meningkatnya pendapatan per kapita dan tumbuh pesatnya ekonomi nasional.

Apa Upaya Preventif Terjadinya Zonk Demografi?

Indonesia telah berprestasi soal kondisi demografinya. Indonesia telah berhasil dalam satu dekade terakhir mampu mengurangi tingkat kelahiran. Menekan tingkat kelahiran ini menjadi kunci dalam membuka gerbang The Window of Opportinity Bonus Demografi. Namun sebaliknya, bila Indonesia gagal memanfaatkan momentum emas ini, Zonk Demografilah yang akan terjadi. Angka DR memang menurun, tetapi pertumbuhan ekonomi masih melambat atau yang lebih ekstrem justru negatif. 

Tingkat kelahiran memang menurun, tetapi tingkat kematian justru bertambah. Lapangan pekerjaan boleh jadi semakin luas dan terbuka, tetapi tingkat pengangguran terbuka masih menjadi benalu nasional. Pertumbuhan ekonomi boleh jadi meningkat tetapi tidak berkualitas karena daya serap tenaga kerjanya sangat kurang sehingga berdampak kemiskinan makin merajalela. Sebagai upaya preventif, terdapat beberapa mekanisme yang setidaknya menjadi rekomendasi kepada seluruh elemen bangsa Indonesia.

Upaya pertama adalah melalui pendidikan. Pendidikan yang berkualitas merupakan kunci pokok dalam membina generasi muda Indonesia agar lebih siap di dalam menghadapi persaingan era global. Pendidikan yang berkualitas diharapkan mampu membentuk karakter dan kerangka pikir kelompok penduduk usia muda agar sewaktu telah menginjak usia produktif, mereka diharapkan mampu berkarya secara nyata di dalam meningkatkan nilai tambah perekonomian negara. 

Tak hanya itu, melalui pendidikan, kualitas mental dan spiritualitas juga harus dibangun agar di masa depan tidak terjerumus dan hanyut dalam lingkungan dan pemikiran yang merugikan bangsa dan negara. Pendidikan itu meliputi berbagai bidang, baik sains dan teknologi maupun di bidang kesehatan reproduksi guna menjamin kesehatan hidupnya sekaligus memproteksinya terhadap lingkungan bermental buruk. Dengan pendidikan yang berkualitas, pada waktunya akan menciptakan karakter manusia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan sehingga pertumbuhan penduduk tak lagi menjadi sumber kumuh dan rusaknya lingkungan.

Upaya kedua adalah dengan pembekalan soft skill pada seluruh elemen masyarakat. Tidak terbatas pada kalangan usia muda, pembekalan soft skill juga bisa diberikan sedini mungkin kepada penduduk usia menjelang non-produktif. Pembekalan soft skill dapat meliputi eksplorasi kapasitas pribadi, semisal pendalaman hobi atau bakat, atau dengan membekali sebuah ilmu praktis yang masih dapat dilakukan untuk mereka yang berusia lanjut, misalnya menulis buku, menjahit, menenun, atau membuat dekorasi-dekorasi sederhana. Dengan demikian, setidaknya akan meningkatkan jangka waktu Bonus Demografi berlangsung sebab akan tetap mengurangi angka DR Indonesia.

Upaya ketiga adalah secara konsisten menggalakkan program Keluarga Berencana (KB) kepada seluruh lapisan masyarakat serta program “2 anak, cukup.” Bahkan program ini bisa ditingkatkan levelnya menjadi “1 anak, cukup.” Hal ini dapat terus dilanjutkan mengingat dampaknya telah terbukti ampuh mengurangi tingkat kelahiran di Indonesia.

Upaya keempat adalah mengubah mainset perusahaan atau industri di Indonesia. Dengan adanya teknologi, selama ini tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih dianggap kurang. Hal itu disebabkan karena faktor teknologi menjadikan semakin naiknya permintaan kualitas tenaga kerja dalam kualifikasinya. Demand karena teknologi menjadikan kebutuhan tenaga kerja perusahaan menurun tetapi dengan kualitas tenaga kerja yang terjaring yang tinggi. Pada posisi ini, dari segi Supply tenaga kerja yang tersedia masih tidak mampu untuk memenuhi permintaan tersebut. Alhasil, meskipun terdapat banyak penduduk usia produktif, tetapi bila ia hanya lulusan SMA, apalagi ke bawah, tidak terjaring sebagai tenaga kerja sesuai permintaan perusahaan. Pemerintah tentunya diharapkan mempunyai cara mengatasi kondisi seperti ini, misalnya melakukan intervensi perusahaan-perusahaan dalam negeri atau asing yang berada di dalam negeri untuk mengutamakan indikator usia produktif di dalam sistem perekrutan tenaga kerja, pegawai atau karyawan.

Upaya kelima adalah meningkatkan iklim investasi di luar Jawa, terutama di Indonesia bagian Timur. Dalam rangka pemerataan ekonomi nasional, pemerintah melalui bidang perdagangan, industri dan pariwisata dapat melakukan upaya menstimulus timbulnya lahan-lahan investasi yang sehat di daerah Indonesia Timur. Dengan cara meningkatkan promosi nasional maupun internasional dan percepatan pembangunan infrastruktur ekonomi, tentunya akan menjadi peluang memperbaiki iklim investasi dalam negeri, termasuk ketimpangan pembangunan ekonomi.

Upaya keenam adalah menjamin kesehatan masyarakat dan jaminan hari tua. Mekanisme ini secara langsung akan menjamin kontinuitas struktur demografi nasional sehingga tingkat mortalitas atau kematian tetap bisa ditekan dan dapat menjamin segala kebutuhan masyarakat di usia lanjutnya kelak. Implementasinya sudah terlihat sejak sekarang dengan maraknya program pemberian Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jamkesda, Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Jaminan Ketenagakerjaan serta dana pension bagi pegawai negeri.

Upaya ketujuh adalah merangsang tumbuhnya industri kreatif. Mengingat saat ini fase Bonus Demografi Indonesia dihadapkan pada kondisi persaingan ekonomi bebas era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka percepatan tumbuh dan pesatnya industri berbasis kreativitas menjadi kunci utama. 

Orientasi industri kreatif yang padat karya diharapkan selain mempunyai backward lingkagedan forward lingkage yang tinggi, juga mampu mendongkrak kualitas pertumbuhan ekonomi nasional. Daya serap industri kreatif terhadap suplai tenaga kerja yang terbilang tinggi menjadi sektor ini sangat potensial menurunkan angka DR Indonesia secara signifikan. Dengan begitu, daya tahan Bonus Demografi yang terjadi di Indonesia akan tinggi, bahkan mungkin tidak sampai tahun 2030, Indonesia akan menjadi negara maju dan sejajar dengan negara lainnya.

Upaya kedelapan adalah meningkatkan riset dan penggembangan atau Research and Development(R & D) di bidang Demografi. Upaya ini merupakan tugas dari BKKBN dan pihak lainnya yang terkait kependudukan Indonesia untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan program, baik reformasi program maupun inovasi program. Upaya itu tidak lain bertujuan untuk melakukan berbagai rekayasa demografi Indonesia, terutama dari segi struktur penduduknya sekaligus melakukan berbagai simulasi demografi untuk perencanaan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.

Jadi jelaslah bahwa Bonus Demografi itu hendaknya kita manfaatkan secara maksimal. Itu memerlukan berbagai upaya dan perencanaan. Sebab, bila tidak demikian, yang timbul justru Zonk Demografi atau kesia-siaan alias kegagalan demografi. Hal itu tentu bukanlah harapan. Dengan demikian, seluruh elemen bangsa dan negara Indonesia ini harus ‘hadir’ di dalam menyukseskan momentum Bonus Demografi ini agar mampu mencapai cita-cita nasional, yaitu kesejahteraan.

 

Sumber referensi:

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Statistik Indonesia 2014. Jakarta: BPS.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Statistik Indonesia 2015. Jakarta: BPS.

BPPN, BPS dan PBB. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035. Jakarta: BPS.

Bank Dunia. 2011. Indonesia’s Intergovermental Transfer : Response of Demograhpic and Urbanization Shifts.

Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI. 2015. Analisis Bonus Demografi Sebagai Kesempatan Memacu Percepatan Industri di Indonesia. [Jurnal Kependudukan]. Jakarta: Direktorat Analisis Dampak Kependudukan BKKBN.

Jalal, Fasli. 2014. Peranan Gizi dalam Memanfaatkan Bonus Demografi. [Seminar Ilmiah Kongres PERSAGI XV disampaikan di Yogyakarta 25 November 2014].

Konadi, Win dan Iba, Z. 2011. Bonus Demografi Modal Membangun Bangsa yang Sehat dan Bermartabat. [Jurnal Variasi]. Vol.2.No.6.h.18 – 23. ISSN: 2085.

OECD. 2015. Ikhtisar Survei Ekonomi OECD Indonesia 2015.

Purba, E.T.F. 2016. Analisis Dampak Bonus Demografi Terhadap Ketersediaan Lapangan Kerja di Kota Medan. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

 

 

facebook: Joko Ade

twitter: Joko Ade Nursiyono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun