Merujuk beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Bonus Demografi adalah sebuah kondisi terjadinya penurunan fertilitas dan mortalitas yang memberikan dampak keuntungan ekonomis sebagai akibat terjadinya transisi demografi. Bila ditelisik lebih dalam, Bonus Demografi ditandai dengan meningkatkan proporsi jumlah penduduk usia produktif dibandingkan proporsi penduduk usia non-produktif.
Dikatakan sebagai usia produktif yakni usia dimana penduduk dikatakan secara standard mempunyai kualifikasi menghasilkan nilai tambah perekonomian, baik barang maupun jasa. Menurut standard internasional, usia produktif ini berkisar antara 15 – 64 tahun, sedangkan usia non-produktif berkisar antara 0 – 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas. Perbandingan atau rasio antara jumlah penduduk usia non-produktif terhadap jumlah penduduk usia produktif ini kemudian menghasilkan sebuah angka yang dinamakan angka ketergantungan atau Dependency Ratio(DR).
Penurunan DR inilah yang menunjukkan bahwa penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia non-produktif. Kondisi ini secara spontan mampu menciptakan ketersediaan tenaga kerja yang mampu menggerakkan turbulensi perekonomian nasional dan pada akhirnya bisa mendongkrak pendapatan per kapita masyarakat dan stabilitas investasi. Historikal transisi demografi Indonesia secara konkret dapat diamati berdasarkan gambar berikut.
Hasilnya pun tampak signifikan menekan angka kelahiran dan nilai DR pun perlahan kurang dari 50 persen sejak tahun 2011. Menurut guru besar Demografi UI, Prof. Dr. Sri Moertiningsih A., Indonesia telah memasuki zona Bonus Demografi sejak tahun 2010 dan akan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 2020 – 2030. Bonus Demografi akan terjadi apabila DR berada pada rentang 40 hingga 50 persen. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif menanggung penduduk usia non-produktif sebanyak 40 – 50 jiwa.
Capaian ini sangat erat kaitannya dengan keberhasilan pendidikan. Aspek pendidikan merupakan tataran pokok dalam membentuk pola pikir masyarakat. Melalui mekanisme pendidikan, kerangka pikir masyarakat mulai meninggalkan paradigma lama yang menjadi ancaman fase Bonus Demografi. Dulu, kita pasti mengenal yang namanya “banyak anak, banyak rezeki.” Pernyataan ini begitu memengaruhi masyarakat saat itu.
Namun, sejalan dengan majunya pendidikan, kesadaran akan partisipasi sekolah kian meningkat seiring tuntutan globalisasi ekonomi. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pun terus meningkat hingga menyentuh 70 poin di tahun 2015 (BPS, 2016). Selaras dengan itu, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan juga kian meningkat, terlihat bahwa Angka Harapan Hidup (AHH) Indonesia telah menyentuh 70,1 tahun. Ini menjadi syarat perlu bagi Indonesia dalam mengarungi fase Bonus Demografi sebab kesiapan di bidang pendidikan merupakan salah satu bekal menentukan seberapa lama Bonus Demografi itu dapat dinikmati oleh Indonesia. Lantas, apakah Bonus Demografi itu benar-benar sebuah bonus, ataukah sedekar zonk belaka?.
Bonus, atau Sekedar Zonk?
Para ahli demografi menyebutkan bahwa Bonus Demografi mengandung sebuah fase yang disebut sebagai The Window of Opportunity (jendela kesempatan/peluang). Nampak pada grafik sebelumnya, proyeksi terjadinya Bonus Demografi di Indonesia akan berakhir pada tahun 2030. Ditandai dengan naiknya kembali angka DR Indonesia sekaligus memberikan sinyal akan ancaman Baby Bloom atau ledakan kelahiran penduduk.
Perlu untuk diketahui oleh kita semua bahwa Bonus Demografi merupakan fenomena yang terjadi sekali. Yang namanya bonus, pasti merugikan jika tidak dapat ‘diambil’ atau dimanfaatkan. Layaknya “pedang bermata dua” Bonus Demografi juga akan menjadi Zonk Demografi bila disia-siakan momentumnya. Sebab, pada fase inilah suplai tenaga kerja yang berkualitas akan tercipta.