Kliwon, seorang mahasiswa fakultas pengayom gelandangan ibukota. Sosoknya yang sayup dan penuh senyum membuat ia terpandang mahasiswa yang ramah kepribadiannya. Ia menjalani kesehariannya dengan menghisap setiap ilmu di kampusnya, meskipun memang dasar kampus buangan, ia bukan mahasiswa yang terpandang di kampusnya. Rutinitasnya hanya mengaji kitab-kitab kuning ala pesantren di musholah dan masjid sekitar kampusnya, itulah tambahannya di kala sedih dan susah, apalagi saat jeratan kebutuhan yang terus mencekik lehernya. Ia hanya bisa berkata, "astaghfirullah al adzim..." di dalam hatinya. Lumayan, baginya memohon ampunan akan mendatangkan rezeki dari langit, meskipun hanya dalam khayalannya makanan pun datang dan jatuh dari langit.
Kliwon memang sangat penyabar, meskipun ia juga memiliki sifat yang angkuh jika disakiti hatinya. Maklum, mahasiswa yang sedang labil memang seperti itulah adanya. Ia hidup di perantauan yang berhiaskan hiruk pikuk setiap waktunya, suara-suara bercampur menjadi satu adonan terus terngiang di telinganya. Namun, ia belajar untuk mencampakkan suara dan dering-dering itu demi ketenangan hidupnya.
Ia tak banyak memiliki teman, hanya segelintir teman yang baginya sangat berharga dalam hidupnya. Ia hidup bersemayamkan keprihatinan sehingga dalam kondisi apapun ia terus mencoba untuk mengungkapkan kesabarannya. Wahana yang melindungi kulitnya dari sengatan matahari berupa sebuah kosan dan kontrakan yang nomaden adanya. Hidupnya penuh kegalauan masalah ekonomi, sehingga ia harus terpaksa untuk tak menetap di satu tempat untuk bermukim dan melindungi buku dan kitab kuningnya.
Umumnya manusia kosan, tampak memang kondisinya terasa ramai dan gemerlap variasi urusan dan tema-tema pembicaraannya. Dari satu kamar, ia mendengar ini dan itu, sangat berbeda itu dan ini, meskipun ada persamaannya ini dan ini tetapi itu dan ini tidak jauh berbeda dengan ini dan itu. Pembicaraan antar kamar kos nomor satu dan kamar kos nomor dua terlihat ada beda dan kesamaannya. Tak sengaja kadang ia mencoba mengkombinasikan suara-suara tersebut sehingga menjadi alur dan latar yang sangat apik didengar, dari kamar sebelah kiri, kanan, dan depannya.
"Mas, besok ada pertandingan....."
"...bayi kita dibelikan popok apa?, supaya bayi kita tetap sehat, seharusnya kita juga harus membelikan popoknya yang terbuat dari..."
"...semen, batako, kayu, nah, saya berencana membangunkan rumah istri saya agar..."
"...agar tenang saat ujian kalkulus, kita harus menyiapkan materi..."
"...handuk saya mana cuy, kamu lihat ndak ?, padahal ada di..."
"...got depan sangat kotor ya, harusnya pak RT harus mencanangkan program..."
"...judi teeeettt !, menjanjikan kemenangan, judi teeett ! menjanjikan..."
dan seterusnya.
Sungguh irama yang sangat kompleks bagi telinga Kliwon. Tetapi ada sesuatu yang memerlukan keikhlasan hatinya setiap saat dan setiap hari. Karena yang namanya kosan campuran itu banyak orang, maka mau tidak mau kamar mandi dan WC pun juga menjadi tempat yang umum bagi para koser. Sangat sering dan tak jarang, ia harus merelakan untuk menguras WC sebelum mandi (kamar mandi dan WC menjadi satu tempat), lantaran pada lubang pembuangan kotoran masih banyak "pisang goreng" yang mengambang. Ia awalnya sempat membuat hal itu mengernyitkan dahinya, ia awalnya tak peduli hal itu sebab bukan ia yang melakukan buang air tak bertanggunjawab. Tetapi, lama-kelamaan karena keseringan, ia mencoba untuk membersihkan dan menguras hingga bersih kotoran oknum-oknum koser. Ia mengetahui, bahwa ia tak bisa menghentikannya, ia tidak layak memberikan ceramah agama karena tak tergubris sebab bukan seorang ulama ataupun ubaru. Ia tampak sinis di awal namun menjadi adat pada prosesnya. Ia memaklumi dan memasang stereotip bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa sehingga "pisang goreng"nya pun lupa ia siram setelah ia defekasikan.
Kliwon melakukannya setiap ada "pisang goreng" di dalam WC kosan tersebut, ia tak bersua apalagi teriak, "WOOOOOiiiiiiiiiiii!.....siapa yang tak membersihkan WCnya ini WOOOOOOiiiiii !!!!!", begitu, apalagi sampai keluar kata-kata kotor dari lisannya, hewan kebun binatang muncul semua, tidak. Ia menyiram "pisang goreng" yang berserakan tersebut dengan hati lapang dan penuh senyuman, meskipun bau semerbak bagaikan "parfum" ruangan kamar mandi kosan.
Itulah keprihatinan dalam hidup si Kliwon, ia tak hanya belajar dari orang lain, tetapi ia belajar bagaimana memposisikan diri terhadap tingkah laku orang lain. Ia berprinsip, ketika ia menolong orang yang seagamanya, maka ia memposisikan dirinya sebagai sesama ummat seagamanya, ketika ia menolong orang yang tak seagama dengannya, maka ia memposisikan dirinya sebagai manusia, dan jika ia menolong seekor kucing yang akan tenggelam di sungai, maka ia memposisikan dirinya sebagai sesama mahluk hidup ciptaan Tuhan.
Suatu ketika, ia terkena musibah sakit parah yang berkepanjangan. Banyak mahasiswa temannya yang berduyun-duyun menengoknya terkapar di Rumah Sakit (RS). Barhari-hari, berbulan-bulan, ia pun belum menunjukkan tanda kesembuhan, malah kesehatannya bertambah buruk.
Tepat hari Jumat Kliwon, nyawanya tak tertolong lagi. malaikat pencabut nyawa sudah mengajaknya pergi menghadap Tuhan Maha Pencipta. Teman dan dosennya amat sedih dan menyayangkan kepergiannya dari kehidupan dunia. Sebab kebaikan dan kesederhanannya dalam mengarungi hidup debagai penimba ilmu perkuliahan. Ibunya menjerit histeris, ia tak sadarkan diri mendengar kabar yang mengejutkan mengenai anaknya itu. Usia memang tak dapat menjadi ukuran waktu kapan akan mati. Setelah disemayamkan, Kliwon pun pergi dalam ruang hampa dan penuh belatung dan cacing nantinya. Ia tak mengerti apakah ia banyak berdosa atau tidak. Kemudian, tak disangka terdapat suara yang memecah bela telinganya.
"Wahai fulan, selamat datang di kampung persinggahan akhirat, ahahahahaha..."
Kliwon gemetar, ia berkeringat, ia tak bisa minum air untuk menenangkan dirinya.
"Siapa Anda ?, siapa Anda ?..."
"lhoooo, masak reeekkk, tak tahu namaku, ya sudah kenalan dulu ya..., my name is Malaikat Munkar dan ini temanku Malaikat Nakir...kami akan menyiksamu wahai fulan, jadi maafkanlah kami jika siksaan kami menyakitkan, OK ?"
Kliwon tak menyangka ada malaikat sangat baik kepadanya, mau menyiksa saja masih meminta maaf atau permisi dulu. "Wah, malaikat ini baik banget.." dalam hatinya.
"Siap-siaplah disitu, kami akan memukulmu dengan cambuk halilintar ini...ciiiaaaaaaaaaatttttt !!!,"
Tiba-tiba ada suara yang lebih besar terdengar.
"Heiii !....malaikatku, jangan siksa anak itu...."
"Sendiko Gusthi Allah, kenapa Engkau tak membolehkan kami menyiksanya ?"
"Begini, anak itu sangat ku cintai, dosanya di dunia telah kuampuni, ia sangat ikhlas membersihkan "pisang goreng" yang berserakan di WC yang diproduksi orang lain, maka daripada itulah aku mencintainya, aku menghapus segala dosanya kepadaku."
"Oh, begitu Gusthi Allah, baiklah kami tak akan menyiksanya..."
Sontak, kuburan Kliwon terang benerang bercahaya dan semerbak bau mewangian yang sesungguhnya, ia tak menyangka kebaikan sesepele itu menjadikan sebab turunnya Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H