Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - pendiri komunitas Seniman NU
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis opini di lebih dari 100 media berkurasi. Sapa saya di Instagram: @Joko_Yuliyanto

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi yang Dulu, Bukanlah yang Sekarang

17 November 2020   09:34 Diperbarui: 17 November 2020   09:47 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengesahan RUU Cipta kerja (2/11) membuat banyak kalangan yang mulai meragukan kapabilitas sosok Jokowi yang dulu dikenal pro-wong cilik. Seolah mengabaikan segala hiruk pikuk demonstrasi di berbagai daerah. 

Menutup telinga saran-saran akademisi, aktivis, dan organisasi atau LSM terkait. Kebijakan melenggang mulus menuju ambisi atau cita-cita pemerintah.

Buruh-buruh dibuat gigit jari, orasi-orasi mahasiswa hanya dianggap angin lalu, perdebatan politis di program-program televisi hanya dijadikan hiburan di tengah kebosanan pandemi Covid-19. Surat dari berbagai kepala daerah yang meminta Jokowi meninjau ulang RUU Cipta Kerja juga tidak dihiraukan. 

Semacam regulasi formalitas agar kepala daerah dianggap membela warganya. Toh, yang pegang kendali kebijakan tetap pemerintah dengan Jokowi sebagai nahkodanya.

 Rekam Jejak Jokowi

Dulu begitu bangganya warga Solo mempunyai walikota semerakyat Jokowi. Kebijakan populis seperti; kelancaran birokrasi, subsidi jaminan kesehatan, perencanaan pembangunan, hingga pemindahan PKL tanpa ada sedikit pun bentrokan membuat nama Jokowi melambung di headline media-media nasional. Berbagai penghargaan pun ia dapatkan.

Harumnya nama Jokowi membuat Solo bangga pernah dipimpin oleh pria kelahiran 21 Juni 1961 tersebut. Aji mumpung dari tingkat elektabilitas Jokowi di Indonesia, memberikan tuah bagi PDI Perjuangan yang segera memberikan mandat kepada Jokowi untuk maju pada kontestasi Pilihan Gubernur DKI Jakarta. Peran media yang begitu masif memberitakan kesuksesan "menggarap" kota Solo menjadi modal utama Jokowi menaklukan Ibukota.

Meskipun bukan asli Jakarta atau Betawi, namun bersama Ahok, Jokowi berhasil menang 53,82% dari lawannya (Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli) pada Pilkada 2012. Dua tahun memimpin, Jokowi dianggap mampu mengatasi problem utama; kemacetan dan banjir di DKI Jakarta. Setelahnya, Jokowi kembali dijagokan dalam Pilihan Presiden 2014. 

Meskipun dengan kerendahan hati sempat menolak karena ingin fokus mengurus Jakarta, namun tawaran menggiurkan menjadi RI 1 cukup sulit untuk ditolak. Apalagi survei elektabilitas Jokowi unggul dibandingkan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya.

Pilpres 2014 menjadi pertaruhan nama baik Jokowi sebagai wong ndeso yang menjadi penguasa negeri. Menggandeng Jusuf Kalla sebagai politisi senior dengan PDI Perjuangan, PKB, Nasdem, Hanura sebagai pondasi Koalisi Indoesia Hebat, Jokowi kembali memenangkan kontestasi politik seperti sebelum-sebelumnya. 

Gaya komunikasi politis Jokowi yang begitu memikat, bahkan sejak menjadi walikota Solo, membuat partai-partai politik tertarik untuk bergabung dengan pemerintahan Jokowi-JK, seperti; Golkar, PAN, dan PPP.

Sejak saat itu, politik indentitas di Indonesia cukup mencolok terlihat. Kubu nasionalis dan islamis yang pecah ketika Ahok dibui karena dianggap melecehkan Alquran. Sebagai pasangan sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi mendapatkan imbas dari kekalahan Ahok melawan Anies Baswedan di Pilihan Gubernur 2017. 

Narasi identitas politik tidak bisa dihindarkan pada pilihan presiden 2019. Semangat untuk saling mengalahkan satu sama lain, membuat partisipasi masyarakat mengikuti pemilu cukup tinggi.

Politik Indonesia "periode Jokowi" setidaknya menjadi sejarah tentang kuatnya narasi politik media dalam mengangkat citra tokoh. Pengaruh Jokowi sebagai pemimpin yang ndeso sudah tidak begitu terlihat sejak terpilihnya kembali sebagai Presiden 2019-2024.

Jokowi Presiden Wong Cilik

Selama kampanye, masyarakat terpukau dengan program-program yang kelak akan dijalankan ketika memimpin Indonesia. Periode pertama, kebijakan populis tentang pembangunan infrastruktur cukup terasa sampai ke Papua. 

Penyetaraan pembangunan disertai pembangunan SDM kawasan terpencil membuat nama Jokowi tetap abadi sebagai presiden dengan kebijakan-kebijakan strategisnya.

Perbedaan nyata dalam kepemimpinan Jokowi dibanding presiden sebelumnya adalah kekuatan masa yang disaranai oleh media sosial. Iklim kebebasan bersuara menjadi terasa tidak jelas batas toleransinya. Setiap elemen masyarakat diberikan ruang-ruang berekspresi yang perlahan menurunkan kredibilitas Jokowi sebagai "pahlawan Indonesia".

Kekecewaan terhadap Jokowi yang dianggap periode kedua sebagai ajang "balas dendam" segala bentuk ambisi kekuasaan, dirasakan menyeluruh di Indonesia. Tidak ada lagi pencitraan seperti ketika menjabat Presiden RI 2014-2019. Papua yang sempat membanggakan pembangunan era Jokowi kembali bersuara merindukan kepemimpinan Gus Dur. Buruh yang dijanjikan kemakmuran ditampar dengan pengesahan RUU Cipta Kerja.

Anggapan buruh akan dijadikan babu di negeri sendiri karena RUU terkesan menguntungkan pengusaha. Jengkal demi jengkal wilayah akan dikuasai oleh investor. Kapitalisme modern malah yang diharapkan pemerintah menguasai Indonesia. Jokowi bukan lagi pahlawan wong cilik.

Komunikasi publik juga tidak begitu dipusingkan oleh Jokowi. Ketika di Solo dengan santun menemani PKL memindahkan dagangannya. Semenjak menjadi presiden, Jokowi jarang terlibat komunikasi terhadap demonstran. Jangankan berinteraksi, menemui pun enggan. 

Kekuasaan membuyarkan mimpi ribuan, bahkan jutaan masyarakat bawah untuk diperlakukan adil. Politik memaksa Jokowi yang dulu dianggap presiden wong cilik, sekarang berubah menjadi presiden wong gedhe. 

 

Joko Yuliyanto
Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku, Naskah, dan Opini.
Bisa disapa lewat Instagram @joko_yuliyanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun