Mohon tunggu...
Joko Susilo
Joko Susilo Mohon Tunggu... Foto/Videografer - asli

Cerita tak sesederhana itu, rembulan tak bersinar maka bintang tak menampakkan pula wujud aslinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Curhat Gulita

6 Januari 2019   08:59 Diperbarui: 6 Januari 2019   13:58 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah pertanyaan yang berjajar menjejal di dalam otak sadarku. Kesenderian akan resah memikirkanmu, gila sudah angan dan fikirku, karena sebuah penantian yang tak dinanti. Kepalsuan akan kata-katamu kini menjadi sebuah kisah klasik yang berat untuk dilupakan. Ya, memang katamu mudah, buktinya sangat berat untuk dilakukan. 

Aku yang tak letih memintal lagu dari lorong-lorong suaramu, lirih, perih, jerih berdendang merana. Berseling duka yang merambat pelan, mendayu-dayu laksana bunyi saxophon mengiringi puisiku. Denting piano, dawai gitar menjadi bagian dari resah isi hatiku, turut berirama sesuai cerita dalam sebuah naskah-naskah mantra. Hmm.. Nada itu bercumbu merayu lalu mengharu biru. Sesekali menderu.

Senandung pilu menggebu tergulung bersama semak belukar yang siap untuk dibakar. Membara jiwa menjilat antara panas, terkelupas dan terluka. Memerah marah menerjang tak terarah, asap kelam membumbung tinggi menjulang pekat merapat. Andai kata menebal akankah tembus oleh hidup penuh dengan tanda tanya. Jilatan api itu mengingatkanku tentang kalimat yang terucap oleh kedua bibir yang serasi. Senyum simpul tarik datar antara sudut kanan dan kiri secara simetris. 

Rumus matematika tak mampu menebak hasil kuadrat oleh kata-kata yang terucap oleh hati. Dawai gitar menada-nada perih, membesit kedalam kalbu jiwaku, seirama tapi taksama terlepas dari note dan ritme. Seluruh suara berdendang do re mi fa so la si do, lalu sirna entah melayang kemana. Apa arti semua itu atau hanya catatan yang luntur oleh guyuran rintik menitik rapi

Ketika senja mengalirkan air mata jingga, disitulah aku terlalu bahagia mengenang luka. Seperti pergi yang lupa jalan pulangnya. Luka sayatan hati sanubari, mengelak sukma. Tangisan mendera tidak tertera dalam bentuk sembuh yang sempurna. Jangan kira aku terlena, dalam rinai kasih yang mendera. Bayangmu kian meraja seperti beban yang membunuh raga. Bayangan raga semu, fatamorgana kejujuran hati. Bukankah ada setitik cahaya Tuhan? Ini cerita tak berujung. Seketika bahagia menghampiri cinta, engkau terlalu indah untuk dilalui. Tertunduk resah sukma berserah. 

Bukankah cinta itu waktu, hal yang tak bisa terhenti. Mustahil bila resah menghampar luas untuk sesuci hati.  Ketika menggapai kau selalu jatuhkan. Mereka indah membanggakan sedangkan aku terasingkan. Keluh kesah cerita, cita dan cinta. Keasingan bukan benteng pembatas hati untuk hati. Jika hati menjelma, bukan tidak mungkin cahaya bisa pula membias. Berandai aku selalu berada dalam cahaya itu, sukma yang menggebu, disela raga cinta ambisi jiwa. Hanya bahagia yang menjemput nyawa.

Keromantisan kata itu sudah luluh, luntur diterjang hujan penghianatan, menetes merana antara awan dan kabut.  Dinding-dinding tua berlumut kepalsuan, menempel dekil pada cat yang dulu putih kini menjadi pudar. Batu bata yang dulu kokoh kini terkikis oleh omong kosongmu. Melebur menjadi puing-puing harapan kian hari semakin kelam. Pekat merapat setia dengan penat. 

Secuil harapan telah hilang diterjang angin, diobrak abrik beliung masalah. Sebuah kata dikunci oleh janji, digembok dengan borgol kepercayaan tetapi entah brantah kenapa semua kunci dan gembok yang begitu kuat tiba-tiba terobok-obok. Katamu tak seperti laku dan langkahmu, setiap perkataan yang kau siulkan seakan akan menghadirkan udara sepoi menyejukkan, memberikan kehidupan bagi siapa yang menghirupnya untuk bernafas, tetapi apa daya udara yang kau hembuskan laksana sepasang tangan yang kuat untuk mencekik rongga nafasku. Sehingga nafasanku terhalang. 

Tersenggal-senggal menanti harapan yang kau pupuskan menjadi penghianatan nyata. Percuma bila kau memberikan angin tetapi menjadi angan-angan tak berwujud. Kenapa kau terlalu mudah berbuat tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Ketidak pastian janji kau ucap. Sumpah serapah menjadi sampah. Harus ku kemanakan serpihan rasa yang dulu sempat menjadi pengagummu. Mungkinkah aku biarkan berserakan begitu saja. Memang penghianatan membuat sukar untuk berkata-kata.

***

Serapah terucap dari bibir mungilmu ke arah cerah. Seketika itu isyaratku membeku. Ketidak berdayaan  sumpah akan sampah pencemar untuk mengalah. Disitu aku, kau paksa berkata "iya" yang seharusnya tidak. Dengan kata kau anak pinakkan muslihat, laksana belati selalu menusuk ulu hati. Menggores, mencerca, memaki. Kerencongan laku merambah merdu lukaku. Semayam diam mengendap tak beradab. Taring kasihmu menerkam ketika malaikat tak sempat merekam.

Belati membelai mesra, menyentuh dengan rasa hati, mengiris tipis. Setelah itu air garam kau siramkan. Kau tau bukan rasanya seperti apa? entah bagaimana aku harus menjelaskan. Dengan kata-kata tak berkata, dengan puisi tak berarti, dengan lagu tak mendayu, dengan isyarat tak bersyarat. Aku memilih diam menahan. Dayaku yang sekarang ini hanyalah sebuah bayangan yang tercipta dari cahaya lilin, jika lilin itu suatu saat tertiup angin, maka tidak mustahil bayanganku dari cahayu itu akan sirna. setiap saat siap untuk menjadi gulita abadi. Perjalanan tak terelakkan untuk berbuat, tetapi tak ada kepastian. 

Sebuah perih karena dikhianati kini membatu dikalbu, mengerak keras. Luka yang sukar untuk pulih, racun yang sampai kini belum menemukan penawar, virus yang belum menemukan vaksin penyembuh. Ah, peluh antara putus asa dan semangat untuk menghadapinya. Tidak semudah itu untuk melupakan sesuatu yang pernah menatah hati kian membekas luka yang sangat perih. Menjerit, menjerit, menjerat. Terikat penat oleh kekosongan otak. 

Memikirkan sesuatu yang jauh di luar nalar kesadaran insan. Saraf fikirku sulit berkata maaf, otak kanan dan kiriku bertengkar untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang ingkar. Anehnya otak sadarku kini tak kunjung sadar dari koma, sudah lama ia sakit karena memikirkan orang yang tak pernah sadar.

Joko Susilo
13 Desember 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun