Belati membelai mesra, menyentuh dengan rasa hati, mengiris tipis. Setelah itu air garam kau siramkan. Kau tau bukan rasanya seperti apa? entah bagaimana aku harus menjelaskan. Dengan kata-kata tak berkata, dengan puisi tak berarti, dengan lagu tak mendayu, dengan isyarat tak bersyarat. Aku memilih diam menahan. Dayaku yang sekarang ini hanyalah sebuah bayangan yang tercipta dari cahaya lilin, jika lilin itu suatu saat tertiup angin, maka tidak mustahil bayanganku dari cahayu itu akan sirna. setiap saat siap untuk menjadi gulita abadi. Perjalanan tak terelakkan untuk berbuat, tetapi tak ada kepastian.Â
Sebuah perih karena dikhianati kini membatu dikalbu, mengerak keras. Luka yang sukar untuk pulih, racun yang sampai kini belum menemukan penawar, virus yang belum menemukan vaksin penyembuh. Ah, peluh antara putus asa dan semangat untuk menghadapinya. Tidak semudah itu untuk melupakan sesuatu yang pernah menatah hati kian membekas luka yang sangat perih. Menjerit, menjerit, menjerat. Terikat penat oleh kekosongan otak.Â
Memikirkan sesuatu yang jauh di luar nalar kesadaran insan. Saraf fikirku sulit berkata maaf, otak kanan dan kiriku bertengkar untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang ingkar. Anehnya otak sadarku kini tak kunjung sadar dari koma, sudah lama ia sakit karena memikirkan orang yang tak pernah sadar.
Joko Susilo
13 Desember 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H