Mohon tunggu...
Joko Hariyono
Joko Hariyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Doctor of Philosophy

Karir: - Kerjasama Luar Negeri, Pemda DIY Pendidikan - Ph.D dari University of Ulsan (2017)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Memahami Psikologis Pemilih di Pilkada Jakarta

9 Februari 2017   11:01 Diperbarui: 9 Februari 2017   11:26 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mekanisme pengajuan calon presiden maupun kepala daerah di sebuah Parpol tidak selalu berbuah manis. Jika dikatakan mirip dengan perjudian, susah ditebak hasilnya, namun pola output yang dimunculkan sebenarnya bisa dipelajari, karena memiliki struktur yang konsisten sebagaimana teori probabilistik model.

Jika lembaga survey memotret kondisi teraktual tren pilihan pemilih, namun tidak serta merta dapat memproyeksikan gambaran hasil jauh-jauh hari. Maka kejelian pemimpin yang bijaksana yang dapat memprediksi jauh hari sebelum pemilihan dilaksanakan.

Sewaktu Partai Gerindra dan Koalisi Merah Putih mendeklarasikan untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres, dalam hati kecil saya bertanya-tanya. Kenapa “The Rising Star Jokowi”, hanya dihadapkan dengan seorang Prabowo?

Bukankan Prabowo kali ini maju dengan luka-luka yang pernah ia bawa saat gagal memenangkan capres-cawapres berduet dengan Megawati (Pemilu 2009).

Menyodorkan kandidat pemimpin (capres-cawapres) yang pernah kalah diperiode sebelumnya, sebenarnya menunjukkan bahwa partai kurang punya inisiatif dan keberanian untuk memunculkan banyak calon-calon pemimpin baru. Sama halnya dengan pramusaji yang membawakan nampan kepada tamu restorang sembari berkata, “Menu hari ini adalah nasi goreng kemarin Pak, tapi sudah diangetin.” Ini tidak lebih dari menawarkan pemimpin yang figurnya telah diketahui tidak lebih baik dari pemimpin yang tengah berkuasa saat ini.

Pada pemilu 2014, Rakyat diminta membandingkan kehebatan (prestasi dan track record) Prabowo dengan presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya, Pak SBY. Jika saya seorang politisi atau simpatisan dari Partai Gerindra tentu saja berkomentar, “Tunggu dulu, Anda pasti tidak mengenal betul siapa Prabowo?” Namun sebagian besar Rakyat Indonesia adalah masyarakat awam, yang tentu saja melihat Pak SBY adalah presiden yang sudah menyempurnakan masa tugasnya selama 10 tahun. Ia lebih terbukti dengan berbagai prestasi.

Sebagai masyarakat awam kami hanya bisa membayangkan, “Memilih Prabowo sebagai Presiden adalah bukan sebuah langkah maju, karena sebelumnya kita sudah mempunyai Presiden yang lebih baik dari Prabowo. Baik prestasinya dimiliter maupun pengalamannya di pemerintahan”.

Kebimbangan masyarakat akhirnya dituangkan dengan terpilihnya Jokowi sebagai Presiden ke-6 RI. Meskipun kala itu ia belum bisa dikategorikan sebagai “Tokoh Nasional”, karena kiprahnya masih lebih banyak di lingkup yang lebih kecil sebagai Walikota. Hati kecil saya mengatakan, “Jokowi terpilih bukan karena kemampuannya yang luar biasa, namun disebabkan karena kebetulan lawannya yang kurang cemerlang.”

Kini Jokowi menjelma dari sosok seorang walikota yang bersahaja dan pekerja keras, telah terangkat menjadi seorang presiden yang kedudukannya dekat dengan rakyat, ringan tangan dan juga pekerja keras.

GAGAL 2 KALI

Kegagalan memenangkan hati rakyat sebanyak dua kali bahkan pernah dialami seorang Putri Proklamator kita, Megawati. Seharusnya ini bisa dijadikan referensi untuk Partai lain, seperti Gerindra, “Apakah mengajukan Prabowo lagi di pilpres 2019 adalah langkah maju, atau menjadi usaha yang sia-sia”. Mengulangi pengalaman PDIP dengan Megawatinya.

Kegagalan mengajukan calon pemimpin untuk memenangkan pemilihan sebenarnya adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Sebagaimana ujung dua tongkat, di satu sisi mesin Partai Politik bekerja keras untuk mengangkat elektabilitas calon, namun ia harus menyadari di sisi yang lain ada kemungkinan gagal dan nama besar yang dibangun bertahun-tahun sebelumnya menjadi turun. Sama sekali bukan kemampuannya yang turun, tapi tingkat keterpilihannya yang berat untuk diangkat lagi.

Coba kita perhatikan saat pemilihan Presiden secara langsung pertama kali diselenggarakan pada tahun 2004. Ada 5 pasangan calon, dengan kandidat presiden: Megawati, Amien Rais, Hamzah Haz, Wiranto dan SBY. Pada putaran pertama distribusi suara cenderung merata dengan keunggulan selisih suara yang tidak terlalu besar. Lalu dilanjutkan dengan putaran kedua yang kemudian memunculkan nama SBY sebagai pemenang.

Berbeda dengan pemilu Presiden 2009, dimana 3 pasangan calon adalah wajah-wajah lama yang sudah pernah maju pada pemilu sebelumnya, SBY, Megawati dan JK. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada calon-calon yang pernah kalah terlihat lebih tajam, alhasil SBY pun menang telak dari calon-calon lainnya.

Andaikan Prabowo diajukan kembali sebagai capres pada 2019 nanti, bisa jadi skenario pemilu 2009 terulang kembali.

Huru-hara yang diberitakan media, demo ketidakpuasan sekelompok masyarakat, perdebatan dan perkelahian elit politik, tidak serta merta meluruhkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada kerja keras pemerintah mempertahankan stabilitas ekonomi dan keamanan, dukungan kepada pemberdayaan masyarakat.

KEGAGALAN HILlARY CLINTON

Partai politik besar di negeri Adidaya seperti Amerika Serikat, bahkan juga bisa mengalami kekeliruan ini. Saat Partai Demokrat (PD) memutuskan mencalonkan HilLary Clinton sebagai Capres menghadapi Donald Trumph, sepertinya ini mengulangi kisah Megawati dan Prabowo di atas. Sedikit berbeda dengan kedua capres RI tersebut, karena Hilary sebetulnya belum benar-benar sembuh dari luka saat dikalahkan pada suksesi PD oleh Barack Obama.

Tidak bisa kita bayangkan kenapa Partai besar yang sangat demokratis seperti PD tidak berhasil memunculkan kandidat baru yang cemerlang?

Muncul pertanyaan, “Bukankah Hilary belum pernah maju sebagai Capres? Sepertinya penting untuk menghargai dia yang sabar menunggu 8 tahun selama Obama memimpin sebagai Presiden.”

Saya juga berfikir demikian, kesalahan ini lebih disebabkan karena “Ketidakenakan” petinggi Demokrat kepada Istri mantan Presiden Bill Clinton.

Seandainya mau lebih memahami psikologis pemilih, menawarkan Mrs. Clinton kepada masyarakat AS yang berpendidikan, sangat dinamis dan penuntut akan layanan terbaik dari pemerintah, sama halnya mengajak memilih Presiden yang tidak lebih baik dari “Barack Obama”.

Ada lagi pertanyaannya, “Jangan salah, bukankah Presiden AS tidak bekerja sendirian?”, namun dibelakangnya ada banyak orang hebat dan mantan-mantan presiden dari PD.

Meminjam ucapan Eleanor Roosevelt, “Tidak ada yang bisa menyakiti kita tanpa persetujuan kita.” Ini bukan sekadar, bagaimana menjalankan roda pemerintah AS, tapi siapa yang bertanggungjawab atas keputusan-keputusan itu. Kendatipun banyak pemikiran-pemikiran hebat yang disumbangkan oleh orang lain, namun siapa yang menghimpun dan menyimpulkan menjadi keputusan terbaik adalah jauh lebih penting.

Terlepas dari kekeliruan strategi PD mengajukan capres, kandidat lain, Donald Trump, sebenarnya maju bukan dengan tanpa cela. Bahkan saat dirinya diajukan menjadi capres, pribadinya dipenuhi dengan berbagai kontroversi. Kebijakan yang diajukannya yang bersifat anti Islam, kepribadiannya yang glamour serta kabar-kabar kehidupannya yang dikelilingi dengan banyak wanita, seolah mengundang kerut dahi, “Bukankan sejauh ini AS adalah negara yang sangat selektif dalam memilih Presiden?” Bahkan sedikit saja skandal sex saat Bill Clinton menjabat sebagai presiden, parlemen dan rakyat AS bereaksi keras bahwa ini sangat tidak diinginkan terjadi pada orang nomor 1 di AS.

Kendatipun sikapnya yang kontroversi, namun pribadi Trump adalah gambaran tentang masyarakat AS saat ini pada umumnya. Pebisnis atau kapitalis sejati, kehidupannya liberal, hedonis dan dipenuhi kesenangan, menyukai dominasi serta ingin mengontrol dunia dengan tangannya. Semua itu ada di dalam diri Trump. Kendatipun penuh bayang-bayang kontroversi dan kekhawatiran dimusuhi banyak negara, kuatnya karakter dan percaya diri serta bukti-bukti keberhasilan bisnisnya di negara-negara Islam seolah menampilkan Trump sebagai seorang yang mumpuni memimpin AS sekaligus menahkodai dominasi AS di dunia.

Lagi-lagi kami menarik benang merah, Trump memang mengagumkan, namun ia terpilih bukan serta merta karena kehebatannya, namun lebih disebabkan PD yang tidak memunculkan calon yang lebih baik dari Barack Obama.

Apa korelasinya dengan Ahok?

Ahok maju sebagai Cagub dengan predikat Petahana. Kendatipun ia dihadapkan dengan cagub lain yang punya nama besar seperti Anies Baswedan, namun ia tidak mudah untuk dikesampingkan.

Ini mungkin berbeda jika Anies maju sebagai Cagub pada pilkada periode sebelumnya, karena saat itu ia bak Mutiara terpendam yang tersimpan rapi dengan talenta yang cemerlang. Amanah penting yang diberikan saat menengahi kasus Kriminalisasi KPK di masa pemerintahan Presiden SBY diyakini semakin mengasah kematangannya untuk menjadi kandidat pemimpin RI di masa mendatang.

Anies kali ini maju setelah ia purna di tengah jalan sebagai Menteri di kabinet Jokowi-JK. Meskipun banyak yang bertanya-tanya, “Kenapa Anies di resuffle?” Namun sulit bagi kita menilai secara pasti, ada apa gerangan di sana? Kita tidak meragukan kemampuannya memimpin. Bahkan seandainya ia diberi amanah yang lebih besar sekalipun kita yakin ia punya kemampuan. Kita hanya bisa meraba-raba, bisa jadi adanya ketidaksesuaian antar expektasi yang diharapkan oleh Jokowi dengan yang telah ia persembahkan. Tidak ada yang perlu dikonfirmasi dari kasus ini, masyarakat berhak menilai sendiri, “Ada apa dengan Anies?”

Kali ini memang Anies menjadi penantang kuat karena berpasangan dengan Sandiaga Uno. Sosok muda yang digadang-gadang bertalenta cemerlang. Sandi sebenarnya muncul sebagai sosok yang memberi penyegaran di kancah politik tanah air, karena keberhasilan-keberhasilannya menahkodai perusahaan yang dibangun dari masa-masa krisis. Bukti yang ia tunjukkan tidak diragukan lagi dengan tercatatnya ia sebagai salah satu dari sekian orang terkaya di tanah air. Bisa jadi pemilukada kali ini menjadi debut, ajang pembelajaran sekaligus pembuktian baginya untuk berkancah di dunia politik.

Pasangan calon lainnya adalah Agus dan Sylvi, yang cakupannya lebih regional. Tidak perlu disembunyikan jika nama Agus (AHY) terangkat karena kebesaran nama Presiden RI ke-6 Pak SBY. Melihat AHY dan SBY sebenarnya mengingatkan kita kepada George Bush dan putranya George W. Bush yang keduanya pernah menjadi Presiden AS. Walker Bush terpilih sebagai Presiden AS setelah sebelumnya menjabat sebagai Gubernur/Senator Texas. Hal ini mungkin menginspirasi Partai Demokrat di tanah air untuk mengulangi keberhasilan keluarga Bush di AS.

Namun sekali lagi melihat track record Walker Bush yang penuh pengalaman, ditambah lagi bisnis dan usahanya di bangun dan dibesarkan di Texas, sehingga ia cukup dikenal di negara bagian tersebut. Ketika ia mencalonkan sebagai Gubernur, warga Texas sudah mengenal betul sosok Walker Bush. Dan ini menjadi poin penting baginya untuk terpilih di Texas yang kemudian mengantarkannya sebagai orang nomor 1 di AS.

Berbeda dengan AHY yang maju dengan pengalaman yang belum sepenuhnya teruji. Seandainya ia mau sedikit bersabar dengan mengembangkan kemampuannya memimpin di lingkup parpol, serta lebih hati-hati mebangun track record yang positif dari kontribusi-kontribusinya di kota Jakarta maupun tingkat nasional, mungkin ia maju dengan daya tarik yang jauh lebih besar. Orang akan membandingkan sosoknya dengan Walker Bush, yang telah berhasil melampaui prestasi ayahnya.

Namun, meninggalkan karir sebelumnya di militer dan beralih haluan ke dunia politik dengan mengajukan diri sebagai cagub, terkesan seperti coba-coba. Lagi-lagi masyarakat bertanya-tanay, “Ada apa dengan Agus?” Ini sangat disayangkan, karena setiap yang tidak dilakukan dengan pertimbangan yang matang, meruntuhkan kepercayaan pemilih yang sangat potensial kita peroleh jika kita maju di periode selanjutnya.

Selebihnya Sylviana mendampinginya sebagai tokoh senior di Pemerintah Provinsi DKI, diharapkan mengisi keterbatasan AHY dari dalam. Namun, sebagai orang awam saya tentu bertanya, jika sudah ada orang nomer 1 di DKI (Ahok) kenapa saya memilih orang nomer 2 di DKI.... . Ini yang menjadikan Sylvi kesulitan untuk mengangkat rating pasangan ini ke tempat yang jauh lebih tiggi.

Kembali ke Ahok, meskipun kontribusi konkrit pembangunan Jakarta selama periode jabatannya masih banyak yang meragukan, namun ia punya karakter yang kuat untuk memperbaiki Jakarta dari dalam, dari Birokrasinya. Ia memiliki keseriusan untuk membuang duri serta akumulasi penyakit kronis yang dimiliki Jakarta pada periode sebelumnya. Korupsi, Kolusi, Manipulasi bahkan Premanisme adalah penghambat kemajuan Jakarta yang merusak struktur dari dalam. Meskipun Banjir, Kemacetan, Urbanisasi adalah hal yang kritikal untuk diselesaikan, namun penyakit-penyakit Jakarta jauh lebih penting untuk disembuhkan lebih dulu. Bagaimana mungkin mengharapkan kemajuan yang pesat jika dibangun dari pribadi-pribadi yang sedang sakit.

KASUS AHOK MENGHAMBATKAH?

Lalu bagaimana dengan kasus “Penodaan Agama” yang membelit Ahok? Apakah ini akan memberatkan upayanya memenangkan Pemilukada?

Sebagai seorang muslim, Saya pribadi juga merasa “Tidak Terima” dengan ucapan Ahok yang kerap kali berbicara “Sembarangan” dan bukan pada tempatnya. Saya yakin jika Ia hidup di Inggris, pasti sudah tidak ada ampun lagi, dicopot dari jabatannya. Seperti Glen Hoddle yang berbicara ngelantur bukan di bidang sepak bola, tidak perlu diproses hukum, langsung dicopot dari jabatan pelatih Timnas Inggris. Karena bagi seorang Pejabat atau Public Figur, berbicara di luar kewenangannya adalah sebuah “KESALAHAN BESAR”. Seolah-olah mengabaikan orang-orang yang berpuluh-puluh tahun bergelut dan mendalami bidang tersebut dengan hasil riset dan kajian yang mendalam dibidangnya.

Sungguh ini menunjukkan kontrol dari dalam yang lemah dari Ahok. Bagaimana mungkin kita mempercayai orang untuk memimpin masyarakat luas, jika ia sendiri tidak mampu menguntrol pribadinya sendiri?

Namun saya mencoba melihat dengan cara yang bijaksana, melalui 2 hal.

Pertama, kurangnya kontrol diri adalah tumbuh dari kebiasaan. Seperti artikel kami sebelumnya (http://www.kompasiana.com/joko_hariyono/ahok-kejeglong_583e9d89517a610f077ab044) . Kebiasaan yang berjalan bertahun-tahun tanpa keinginan untuk memperbaiki, sama halnya mencabut pohon besar dengan tangan kosong. Bisa, namun susah dan butuh waktu lama. Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang (Aristotle).

Kedua, kita hidup di negara yang lemah dalam penegakan hukum. Berharap tegaknya hukum di negeri ini, sama halnya dengan menunggu kepastian kapan lalu lintas Jakarta tidak macet lagi. Apa korelasinya? Andaikan hukum dapat ditegakkan dengan baik di tanah air, perilaku konsumtif, serakah mau menang sendiri dan kemubaziran pengguna jalan raya tentu tertata dan terkelola dengan baik. Coba kita perhatikan di negara-negara maju yang proses hukumnya sudah ditegakkan dengan baik, perilakunya hati-hati, menghindari pemborosan, menghargai waktu dan tidak merugikan orang lain.

Upaya mencari pembenaran bahwa apa yang saya ucapkan “TIDAK SALAH”, sebenarnya itu hal yang tidak perlu buat Ahok. Karena jika ia dapat melihat lebih jernih, sebenarnya “Banyak” orang yang menginginkannya agar berubah, menjadi pemimpin yang tegas sekaligus santun.

Justru upaya pembenaran menjadikannya tetap bersikukuh bahwa tabiatnya saat ini sudah benar, “Ahok itu ya seperti ini”

Terbelahnya sikap pro dan kontra, sebenarnya gambaran bahwa kemampuan yang dimilikinya masih bisa diterima sebagai seorang pemimpin, namun ada sebagian pihak yang merasa terluka dari sikap dan ucapannya yang kurang kontrol diri.

Seandainya kali ini ia lolos dari jerat hukum, dan ia merasa sikapnya “TIDAK SALAH”, sebenarnya di ujung lain kelak sudah menunggu, ia akan mengulangi kesalahan yang sama dengan konsekuensi yang lebih besar.

Berkali-kali kita harus menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang berbatas. Mengapa tidak, pemimpin dan seluruh rakyatnya bahu-membahu saling melengkapi keterbatasan itu, untuk menghasilkan output yang tidak terbatas.

Meskipun Ahok bukan sosok sempurna untuk memimpin Jakarta, namun sebagian orang masih bisa menerimanya untuk mengatasi prioritas pembangunan SDM di Jakarta saat ini.

Ia akan menang karena lawan-lawan lain kurang “Cemerlang”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun