Mohon tunggu...
Joko Sumarsono
Joko Sumarsono Mohon Tunggu... Administrasi - ASN

Coba belajar menulis. Sebuah cita-cita lama yang baru coba diwujudkan.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Adipati Karna, Seorang Pahlawan atau Pengkhianat?

17 Juli 2022   00:18 Diperbarui: 19 Juli 2022   16:51 18313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah ungkapan yang berbunyi "Sejarah Ditulis Oleh Para Pemenang". Kebenaran dari "ungkapan" tersebut sudah terbukti dalam sejarah kehidupan umat manusia, termasuk juga di negeri kita yang tercinta, Indonesia. Namun dalam "coretan" kali ini, tidak akan ada pembahasan terkait kebenaran "ungkatan" tersebut dalam sejarah dunia sampai dengan saat ini, ataupun negeri ini. "Coretan" ini akan membahas keberadaan sedikit kebenaran "ungkapan" tersebut dalam kisah pewayangan Mahabarata.

Kisah pewayangan Mahabarata, diyakini bersumber dari India. Garis besar dari kisah tersebut adalah pertikaian antara Pihak Pandawa dan Kurawa memperebutkan hak atas negara Astinapura. Kita semua pasti sudah tahu, bahwa akhir dari kisah ini adalah terjadinya perang Baratayuda dengan kemenangan di Pihak Pandawa. Sesuai dengan kebenaran "ungkapan" tersebut, seandainya kisah Mahabarata itu nyata, maka kisah yang kita dapatkan saat ini adalah kisah "versi" Pihak Pandawa yang memenangkan perang Baratayuda.

Dalam kisah Mahabarata, diantara Pihak Pandawa dan Kurawa, terdapat satu sosok unik yang posisinya bisa disebut abu-abu, yaitu Adipati Karna (Karna). Kenapa tokoh Karna ini bisa disebut abu-abu? Karena pada kenyataannya dia berada di Pihak Kurawa dan menjadi Senopati Kurawa dalam perang Baratayuda. Namun di sisi lain, Karna adalah saudara dari Pandawa, karena dia adalah anak dari Dewi Kunti, Ibu dari Pandawa. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa kematian Karna yang gugur di perang Baratayuda di tangan Arjuna, adalah bagian dari pengorbanan Karna untuk kemenangan adik-adiknya. Jadi, apakah Karna itu Seorang Pahlawan atau Pengkhianat?

Karna adalah seorang tokoh yang penuh kontroversi, dari kelahirannya sampai dengan kematiannya. Hal tersebut diawali dari kelahirannya yang tidak diharapkan dan hasil dari sebuah "kecelakaan". Diceritakan bahwa Dewi Kunti, Ibu dari Karna, waktu masih gadis mendapatkan sebuah mantra sakti dari seorang resi yang bernama Resi Durwasa. Kesaktian mantra ini adalah dapat digunakan untuk memanggil dewa, siapa pun dewa itu. Saat dewa yang dipanggil muncul dihadapan Dewi Kunti, maka dewa itu akan memberi Dewi Kunti seorang anak yang mempunyai keagungan seperti dewa tersebut.

Pada suatu hari, karena penasaran, Dewi Kunti mencoba mantra tersebut untuk memanggil Dewa Surya dan Dewa Surya segera muncul dihadapan Dewi Kunti. Dewa Surya berkenan untuk memberikan seorang putra sesuai mantra yang dibaca Dewi Kunti. Dewi Kunti sangat terkejut dan menolak anugerah tersebut, karena dia merasa dirinya seorang gadis yang belum menikah, maka tidak memungkinkan untuk memiliki seorang putra. Namun karena mantra tersebut, hal itu tidak dapat ditolak, akhirnya Dewi Kunti hamil. Hal tersebut membuat malu dan bingung ayah dari Dewi Kunti, yaitu Prabu Kuntiboja, raja Mandura.

Karena bayi yang dikandung Dewi Kunti adalah anak seorang dewa, maka konon diceritakan bahwa bayi tersebut terlahir melalui telinga (karna), maka bayi tersebut diberi nama Karna. Untuk menutupi kejadian tersebut, maka setelah lahir, bayi tersebut dihanyutkan ke sungai dengan menggunakan sebuah keranjang. Bayi dalam keranjang itu hanyut terbawa arus dan ditemukan oleh seorang kusir kereta di Kerajaan Kuru bernama Adirata. Oleh Adirata, bayi tersebut diangkat sebagai anaknya. Itulah awal kemalangan seorang Karna, anak dewa yang terlahir dari putri seorang raja, namun hidup dan dibesarkan menjadi anak seorang kusir kereta.

Meskipun dibesarkan oleh seorang kusir kereta, tapi karena pada dasarnya Karna adalah seorang kesatria yang juga memilik darah dewa, maka Karna tumbuh dan besar layaknya seorang kesatria. Berbagai macam ilmu dan ketrampilan para kesatria dia kuasai. Namun demikian, karena dia hanya berstatus anak seorang kusir kereta, dia tidak dapat belajar dan berguru bersama-sama dengan para kesatria di kerajaan Kuru. Karna tidak kehabisan akal, karena semangatnya yang luar biasa untuk belajar, maka pada saat Pandawa dan Kurawa belajar kepada Resi Durna di Padepokan Sokalima, Karna sering mencuri dengar ilmu yang diajarkan Resi Durna kepada para muridnya serta melihat dari kejauhan jika Resi Durna mengajarkan teknik-teknik pertempuran kepada murid-muridnya. Dengan cara tersebut, Karna berhasil menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Durna kepada murid-muridnya.

Pada suatu hari, saat Karna sedang mencuri dengar Resi Durna yang sedang mengajar murid-murid, dia ketahuan oleh Resi Durna. Seketika itu Resi Durna marah dan mengusir Karna, serta melarangnya untuk mendekat ke tempat Resi Durna mengajar murid-muridnya. Dengan perasaan sedih dan hancur berkeping-keping, Karna meninggalkan tempat itu dan pergi jauh untuk berkelana. Dalam hatinya timbul dendam kepada Resi Durna dan murid-muridnya, dia berjanji dalam hatinya, akan mendapatkan guru untuk belajar, sehingga suatu saat dia bisa mengalahkan murid-murid Resi Durna. Dalam perjalannya, Karna bertemu dengan Resi Rama Bargawa, seorang resi yang sakti mandraguna. Kepada Resi Rama Bargawa, Karna mulai belajar banyak hal, meskipun dia tidak diangkat menjadi murid. Karena ketekunannya dalam belajar, banyak ilmu dari Resi Rama Bargawa yang berhasil dikuasai oleh Karna, bahkan Karna diberi sebuah senjata sakti oleh Resi Rama Bargawa.

Setelah cukup belajar pada Resi Rama Bargawa, Karna kembali ke Kerajaan Kuru. Kebetulan hari itu, di Padepokan Sokalima sedang berlangsung pendadaran untuk para murid padepokan. Karna merasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk membalaskan dendamnya. Maka di tengah-tengah pendadaran tersebut, Karna menantang murid padepokan Sokalima untuk beradu memanah dengan dirinya. Melihat hal itu, Resi Durna menunjuk Arjuna untuk melayani tantangan tersebut. Akhirnya terjadilah pertandingan memanah antara Karna dan Arjuna, dengan hasil akhir berimbang.

Melihat kemampuan Karna memanah yang seimbang dengan Arjuna, Kurupati (sulung Kurawa, nama muda Duryudana), sangat tercengang. Dia melihat sebuah kesempatan pada diri Karna, karena selama ini tidak ada satupun Kurawa yang mampu menandingi kemampuan memanah Arjuna, jika Karna mau bergabung dengan para Kurawa, maka sekarang Kurawa mempunyai jagoan memanah yang sebanding dengan Arjuna. Kurupati segera mendekati Karna, dan menawarkan Karna untuk menjadi saudara angkatnya dan bergabung ke pihak Kurawa. Penawaran itu diterima oleh Karna, dan kelak dikemudian hari, Karna diangkat menjadi Adipati di kerajaan Awangga.

Dalam sebuah kisah, konon pada saat masih muda, Karna yang sering disebut juga Surya Putra (Putra Matahari/Dewa Surya), memiliki paras dan penampilan yang mirip dengan Arjuna. Karena kemiripan tersebut, Dewa Narada pernah melakukan kesalahan pada saat akan memberikan hadiah sebuah pusaka kayangan kepada Arjuna. Senjata sakti yang bernama Kunta tersebut akan diserahkan kepada Arjuna, namun ketika dalam perjalanan untuk menemui Arjuna, Dewa Narada bertemu dengan Surya Putra yang parasnya sangat mirip Arjuna. Karena mengira orang yang ditemuinya itu adalah Arjuna, maka senjata Kunta segera diserahkan pada Surya Putra. Setelah menerima senjata tersebut, Surya Putra segera pergi meninggalkan Dewa Narada. Tidak berselang lama, Arjuna datang menghadap Dewa Narada, maka Dewa Narada menanyakan maksud Arjuna kembali datang menghadapnya. Arjuna menjawab bahwa dia baru saja datang menghadap Dewa Narada untuk menerima senjata Kunta, sesuai kabar yang telah disampaikan dewa kepadanya. Dewa Narada segera menyadari kesalahannya, dan bercerita bahwa senjata Kunta sudah diterima oleh orang yang parasnya mirip Arjuna. Maka Dewa Narada memerintahkan Arjuna untuk mengejar orang tersebut dan meminta kembali senjata Kunta, karena ini hak milik Arjuna.

Arjuna segera mengejar orang tersebut, yaitu Surya Putra. Ketika keduanya bertemu, ternyata Surya Putra tidak mau menyerahkan senjata Kunta kepada Arjuna. Akhirnya terjadi peperangan antar keduanya untuk memperebutkan senjata Kunta. Pada akhirnya, Arjuna hanya berhasil merebut warangka (sarung) dari senjata Kunta, sedangkan senjata Kunta berhasil dibawa kabur oleh Surya Putra. Konon warangka senjata Kunta tersebut digunakan untuk memotong tali pusat jabang Tetuka (nama kecil Gatutkaca), yaitu putra Bima/Werkudara dengan Dewi Arimbi. Setelah tali pusat terpotong, warangka tersebut ikut masuk ke dalam pusat Tetuka. Dengan keberadaan warangka senjata Kunta di pusat Tetuka, maka itu menjadi titik kelemahan Tetuka/Gatutkaca. Gatutkaca yang badannya tidak mempan oleh senjata apapun, kelak di perang Baratayuda akan tewas terkena senjata Kunta milik Karna (Surya Putra), di mana saat itu senjata Kunta mencari warangka (sarung)nya.

Beberapa saat sebelum terjadi perang Baratayuda, Prabu Kresna pernah menemui Karna, untuk merayunya agar meninggalkan pihak Kurawa dan bergabung dengan saudara-saudaranya para Pandawa. Hal tersebut tidak terlepas dari permintaan Dewi Kunti, Ibu kandung Karna dan Pandawa. Dewi Kunti tidak ingin melihat anak-anak saling berperang dan saling bunuh di perang Baratayuda. Namun permintaan itu ditolak oleh Karna, Karna beralasan sebagai kesatria, dia tidak ingin menjadi seorang pengkhianat. Selama ini Karna merasa telah menjadi bagian dari pihak Kurawa, hidup dan dimuliakan oleh Kurawa dan Negara Astina, maka tidak mungkin baginya untuk bergabung dengan para Pandawa untuk melawan Kurawa.

Jawaban tersebut belum bisa memuaskan Prabu Kresna, kemudian Prabu Kresna bertanya, jika Karna beralasan tidak mau meninggalkan jiwa kesatria dan menjadi pengkhianat dengan bergabung dengan Pandawa untuk melawan Kurawa, apakah tindakan Karna yang karena telah diberikan kemuliaan oleh para Kurawa, kemudian membela Kurawa yang penuh perilaku angkara murka dan melawan saudaranya sendiri para Pandawa, apakah itu akan dapat disebut sikap kesatria dan bukan perilaku pengkhianat?

Mendengar pertanyaan itu, Karna menjawab, bahwa perang Baratayuda adalah perang yang telah ditetapkan oleh para dewa. Perang tersebut akan menjadi sarana bagi kebaikan dan kebenaran untuk mengalahkan kejahatan dan angkara murka. Jika Karna berpaling dari pihak Kurawa dan bergabung dengan pihak Pandawa, maka perang itu bisa saja urung terjadi. Jika perang Baratayuda urung terjadi, kapan lagi kebaikan dan kebenaran akan mengalahkan kejahatan dan angkara murka? Meskipun pada perang Baratayuda nanti Karna berperang di pihak Kurawa, sebenarnya Karna tidak membela Kurawa dan segala perilaku angkara murkanya, namun Karna hanya ingin bisa menjadi bagian dari sarana kebaikan dan kebenaran untuk mengalahkan kejahatan dan angkara murka. Mendengar jawaban tersebut, Prabu Kresna merasa puas dan tidak lagi berusaha membujuk Karna untuk bergabung ke pihak Pandawa.

Dalam perang Baratayuda, ketika Karna maju sebagai senopati (panglima) pihak Kurawa, maka lawannya adalah Arjuna. Keduanya berperang dengan mengendarai kereta, Karna dikusiri oleh Prabu Salya (mertuanya sendiri), sedangkan Arjuna dikusiri oleh Prabu Kresna. Keduanya memiliki kemampuan dan kesaktian yang seimbang, sehingga pertempuran saat itu bagaikan pengulangan kejadian di pendadaran siswa Sokalima.

Prabu Salya dalam mengusiri kereta Karna dengan setengah hati, karena sebenarnya hati condong ke pihak Pandawa. Meskipun Prabu Duryudana dan Karna adalah menantunya, namun keberadaannya di pihak Kurawa saat itu bukan karena dari keinginannya sendiri, tapi karena dijebak oleh Kurawa. Karena tidak sepenuh hati mengusiri Karna, maka pada saat Karna sedang membidikkan panahnya ke Arjuna, Prabu Salya berusaha mengganggu konsentrasi Karna, tepat pada saat anak panah dilepas oleh Karna, kuda dihentakkan sehingga kereta goyang dan anak panah terlepas tidak sempurna. Pada saat yang sama, Prabu Kresna yang melihat bahwa Karna membidikan anak panah ke Arjuna, maka pada saat anak panah terlapas dari busurnya, dengan kesaktiannya, Prabu Kresna menekan kereta kudanya, sehingga secara ajaib roda kereta melesak satu jengkal ke tanah. Akibat goyangan kereta yang dikusiri Prabu Salya dan kereta Arjuna yang rodanya melesak ke tanah, maka bidikan panah Karna yang ditujukan ke leher Arjuna, meleset dan hanya mengenai ikat rambut Arjuna, sehingga rambutnya jatuh terurai.

Setelah kejadian itu, Prabu Kresna segera memerintahkan Arjuna untuk membalas melepaskan anak panah ke arah Karna. Arjuna membidik Karna dengan anak panah yang bernama Pasupati. Ujung anak panah ini berbentuk bulan sabit. Dengan kesaktian dan ketrampilannya memanah, bidikan panah Arjuna tepat mengenai leher Karna, sehingga Karna gugur pada saat itu juga.

Itulah akhir kisah hidup Karna yang penuh kontroversi. Terlahir tanpa diharapkan, masih bayi dihanyutkan ke sungai, diangkat anak oleh kusir kereta, ditolak belajar di padepokan para kesatria, gugur di pertempuran karena "dicurangi" mertuanya sendiri. Akhirnya, gelar Pahlawan ataupun Pengkhianat yang akan disematkan pada diri seorang Karna selamanya akan menjadi perdebatan. Karena itu semua kembali kepada sudut pandang masing-masing orang. Sama halnya seseorangan akan disebut sebagai pemberontak atau pahlawan, itu tergantung sudut pandang penyebutnya. Bagi Bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro adalah Pahlawan, tapi bagi penjajah, Pangeran Diponegoro adalah pemberontak. Ingat, sejarah ditulis oleh para pemenang. "Salam Budaya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun