Mohon tunggu...
Joker Merah
Joker Merah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

the real Joker

Selanjutnya

Tutup

Catatan

I Want to Live Longer. . .

16 Mei 2011   00:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:38 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear friends,
Mungkin sebagian dari teman-teman sudah mengetahui pekerjaan saya (yaiyalah, sekantor gitu lho). Untuk yang belum, saya ilustrasikan sedikit mengenai pekerjaan saya. Saya bekerja di sebuah lembaga pemerintah non departemen, berlabelkan BADAN PUSAT STATISTIK. Yang dilakukan lembaga ini adalah pengumpulan data, penyajian data, baik itu lewat survey dan sensus yang diadakan sendiri, atau pengumpulan dari instansi-instansi lain.

Sebagai bagian dari keluarga BPS, tidak dapat dihindarkan bahwa data collection juga merupakan bagian dari pekerjaan saya. Mengunjungi responden, bisa perorangan, rumahtangga, perusahaan, tergantung dari jenis survey dan sensus yang sedang dijalankan. Memberi mereka pertanyaan, dan menjelaskan apa maksud dan tujuan dari kegiatan yang kami lakukan (responden berhak akan itu, sebagai pengganti 'waktu dan kesediaannya' menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan petugas sensus).

Apa yang mau saya tulis disini adalah salah satu pengalaman survey sensus saya, yang sampai saat ini cukup membekas di hati. Mudah-mudahan juga dapat menjadi pengingat untuk saya ke depannya,bahwa hidup itu begitu berharga.

Survey ini baru beberapa bulan lewat, masih di tahun 2009. Respondennya adalah perorangan, rumahtangganya dan rumahtangga pembanding. Salahsatu tujuannya adalah ingin melihat adakah perbedaan pola pengeluaran antara rumahtanga responden dan rumahtangga pembanding, selain itu apakah ada perlakuan tidak enak (diskriminasi) yang diterima responden dan keluarganya dari lingkungan sekitar.

Memangnya siapa respondennya?

Respondennya adalah teman-teman yang selama ini keberadaannya hanya saya ketahui melalui berita di media massa, jurnal-jurnal kesehatan,atau film, baik di televisi maupun layar lebar. Akhirnya, saya berkesempatan juga bertemu langsung dengan mereka dan melihat kehidupannya sehari-hari.
(oh ya, sebagai petugas sensus, jika surveynya adalah mengenai kesejahteraan dimana ada pendekatan pengeluaran, kami diharuskan menanyai pengeluaran rumahtangga responden, dengan demikian sering terlintas di kepala saya bahwa seharusnya anggota dpr itu adalah para petugas sensus, karena mereka mengetahui kondisi masyarakat real sampai ke dapur-dapurnya, hehehe... atau, ya anggota dpr itu sekali-kali dilibatkanlah dalam kegiatan pencacahan lapangan, jangan bisanya cuma rapat dan tau teorinya aja).

My new valuable friends, demikian saya akan mengatakannya, karena dari mereka saya mendapatkan pelajaran baru. Teman-teman saya yang merupakan responden dari survey ini diketahui menderita HIV+, suatu penyakit yang sampai sekarang secara medis belum ada obatnya. DAlam menjalankan survey ini, saya mendapatkan pendamping. Pendamping saya ini berasal dari salah satu organisasi peduli HIV/AIDS, dimana syarat untuk menjadi anggotanya adalah merupakan ODHA (orang dengan hiv/aids). Tentang penyakit ini, teman, saya bukanlah dokter yang dapat memberikan penjelasan secara tepat, silahkan teman mencari sebanyak-banyaknya informasi tentang penyakit ini. Yang ingin saya ceritakan adalah pengalaman saya selama lebih kurang dua bulan mengamati dan berada bersama teman-teman baru saya ini.

Berhubung survey/sensus bps itu bersifat rahasia, jadi saya tidak akan menyebutkan nama, nama tempat dan lokasi dimana saya melakukan pendataan. Maaf ya teman-teman, tapi teman-teman baru saya itu juga perlu privasi. =)

I'm with HIV/AIDS

Mungkin, jika Anda hidup sebatangkara di dunia ini, tak punya pekerjaan, dan tak perduli dengan status sosial Anda di mata masyarakat, tidak sulit untuk membuat pengakuan ini. Namun, bagi orang kebanyakan, dibutuhkan kesiapan mental untuk dapat mengakuinya. (menerima kenyataan menjadi ODHA saja sudah berat, apalagi 'membuka status' kita kepada orang lain). Salah satu peranan dari organisasi yang diikuti pendamping saya adalah memberikan layanan konsultasi. Lebih mudah mengatasi keadaan jika kita tahu kita tidak sendiri, dan ada yang mau perduli. Penting untuk ODHA mengetahui seperti apa HIV/AIDS itu, dimana ODHA bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, dan informasi-informasi terkait ODHA lainnya. Sekarang saya mengerti, mengapa organisasi teman saya itu menjadikan ODHA sebagai syarat anggotanya, siapa lagi yang mau betul-betul perduli terhadap ODHA selain ODHA itu sendiri?

(Sebetulnya teman, ketika mendapat tugas untuk ikut serta dalam pendataan ini, saya takut. Saya takut bahwa responden saya, pendamping saya, dapat mengetahui rasa takut saya. Saya takut bahwa rasa takut saya tergambar dalam sikap tubuh saya tanpa saya sadari. Padahal, apa yang dapat menyebabkan seseorang terinfeksi HIV sudah saya ketahui melalui banyak referensi. Lalu saya bertanya, jika sudah tahu saja masih takut, bagaimana lagi jika tidak mengetahui apa-apa? Beruntung, suami saya mendukung dan banyak memberikan penjelasan kepada saya. Thanks, El...)

"Apakah saya termasuk ODHA?" pernah ngga bertanya seperti itu? Ya, teman saya juga sulit menjawab ciri-ciri seperti apa sih yang memutuskan dia menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mengetahui status HIV nya. Teman saya bilang, kadang ciri-ciri itu terlihat jelas, tapi ada juga kasus dimana tidak ditemukan sama sekali ciri itu. Namun, jawab saja pertanyaan ini...


  1. Apakah pernah melakukan hubungan seksual beresiko? (hubungan seksual sesama jenis, hubungan seksual dengan pekerja seksual, termasuk juga hubungan seksual tanpa pengaman dengan orang yang tidak diketahui riwayat seksualnya --> bisa jadi pasangan kita sendiri lho...)
  2. Apakah pernah menggunakan narkoba suntik?
  3. Apakah pernah menerima transfusi darah?
  4. Apakah pernah mengalami infeksi menular seksual berulang?
  5. Apakah pernah sakit berturut-turut dalam waktu yang lama (3 bulan atau lebih?)
  6. Apakah mengalami penurunan berat badan secara drastis (lebih dari 10%)?
  7. Apakah ada jamur di mulut atau tenggorokan?


kalau ada satu saja yang iya, siapkah teman mengikuti VCT (Voluntary Counseling and Testing -- ilustrasinya adalah melakukan test status HIV atas kesadaran sendiri, dimana dalam melakukannya teman-teman mendapatkan dampingan dari konselor, dimana peran konselor adalah memberikan informasi seputar hiv/aids, membantu teman dalam melaksanakan test, dan juga mendamping teman-teman saat mendapatkan hasil test, apapun hasilnya (positif atau negatif) -- lebih rincinya teman-teman dapat mengunjungi klinkik-klinik yang menyadiakan layanan VCT, beberapa puskesmas rujukan juga sudah ada kok)

Nah nah nah... diawal cerita saya sudah bilang kan teman, tidak mudah menerima kenyataan menjadi ODHA. Ingin menyalahkan keadaan, tidak bisa menerima keadaan, makanya menurut saya, peranan konselor menjadi penting untuk melewati tahap-tahap ini. Bukan suatu keharusan untuk membuka 'status hiv' kita kepada siapapun juga. Namun, adalah suatu kewajiban agar menghentikan status ODHA sampai di diri kita sendiri. Setidaknya, mengetahui status ODHA membuat teman-teman mempunyai tanggungjawab baru, menjaga agar pasangan kita, keturunan kita nantinya, terbebas dari HIV. Begitulah misi dari organisasi yang teman saya ikuti itu...

Bagaimana ini bisa terjadi?

Teman, sampai saat ini, resiko infeksi HIV diketahui berasal dari beberapa kelompok resiko.


  1. Lewat cairan sperma dan cairan vagina, melalui hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus), tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina), atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus. Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling berisiko menularkan HIV, karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh. Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di dalam vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut, juga dapat masuk ke aliran darah melalui saluran kencing pasangannya.
  2. Jarum suntik/jarum tattoo, jika jarum suntik yang sudah tercemar HIV dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika Suntikan. Atau ada juka kasus melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain, misalnya : peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial wajah
  3. Penerima transfusi darah, yang menerima produk darah yg sudah tercemar HIV
  4. Mother-to child-transmission, penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan secara normal (lewat vagina), kemudian menyusui bayinya dengan ASI.
  5. Terpapar tidak sengaja, maksudnya terjadi pertukaran cairan tubuh dengan ODHA secara tidak sengaja, ekstrimnya sih kata teman saya, ada kasus dimana anggota re***** terpapar HIV karena dalam melakukan penyelidikan kasus, terutama terhadap pengguna narkoba, suka melakukan kekerasan fisik. Padahal, kekerasan fisik itu selain membuat luka di tubuh ODHA, juga meninggalkan luka di lengan re***** tadi, sehingga memungkinkan terjadinya kontak darah dengan ODHA. Akhirnya, anggota re***** tadi jadi terpapar hiv juga... (mungkin pertanyaan di -I'm with HIV/AIDS- harus saya tambah satu, Apakah saya merupakan anggota/istri dari anggota re***** yang suka menggunakan kekerasan fisik?)


Yang mendapat perhatian saya teman, adalah point 1 dan 4 di atas. Mengapa? Karena, teman-teman saya yang terpapar karena pasangannya sebagian besar tidak mengetahui status HIV pasangannya. Alasan utamanya bukan karena pasangannya
yang merahasiakan, tapi karena sama-sama tidak mengetahui. Dan tidak menyadari, bahwa kegiatan beresiko yang pernah dilakukannya meninggalkan HIV di dalam tubuhnya.

Untuk point ke 4 di atas, teman... Ada satu kisah, dimana saya tidak mampu menahan haru. Walau tetap berusaha sembunyikan. Salah satu responden saya merupakan keluarga ODHA. Ibu, bapak dan seorang anak kecil berusia empat tahunan, sama dengan anak saya yang bungsu. Walau tidak ada dalam kuisioner, saya menanyakan pada orangtuanya, hal apa yang mendasari mereka memeriksakan status HIV anaknya...

Setelah sakit yang berkepanjangan, batuk-batuk tak henti, si ayah memeriksakan diri untuk mengetahui apa penyakitnya. Dalam pemeriksaan, setelah mengetahui riwayat si ayah yang mantan pengguna narkoba suntik (padahal kegiatan itu sudah dia hentikan sepuluh tahun yang lalu, jauh sebelum ia menikah), dokter menyarankan test hiv. Hasilnya pun positif. Si ayah menolak menerima kenyataan dan berharap telah terjadi kesalahan pada waktu test. Lalu ia mendatangi rumah sakit lainnya untuk menjalani test yang sama. Hasilnya? Tetap positif... Akhirnya, dia memutuskan untuk bercerita kepada istrinya tentang statusnya, dan memeriksa kesediaan istrinya untuk memeriksakan dii juga. Demikian juga dengan buah hati mereka. Sekarang mereka harus menerima kenyataan bahwa keluarganya adalah keluarga ODHA (si kecil, sejak lahir sudah sakit-sakitan, menurut orang tua dahulu, mungkin keberatan nama, hingga akhirnya si kecil sudah 3 kali ganti nama). Namun, tidak ada satupun keluarga mereka yang mengetahui keadaan ini. (yang sangat saya mengerti alasannya setelah saya mengunjungi rumahtangga pendampingnya sebagai kontrol). Prosedur dari survey ini adalah saya harus mendatangi rumahtangga pendamping sebagai kontrol, yang merupakan tetangga dari responden saya ini, tanpa membuka status responden saya sama sekali. Dengan kata lain, saya tetap berkewajiban merahasiakan status keluarga tadi. Awalnya, si ibu menolak, ketakutan. Butuh waktu untuk meyakinkannya bahwa saya berjanji akan merahasiakan statusnya. Hingga akhirnya dia mengantarkan saya kepada salah satu tentangganya...

Setelah pertanyaan-pertanyaan dasar, masuklah kepada pertanyaan yang intinya ingin mengetahui ada/tidaknya diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. Dimulai dari pengetahuan rumahtangga terhadap penyakit menular seperti HIV/AIDS, apa yang mereka ketahui, darimana memperoleh informasi.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah, "pernahkah bertemu dengan ODHA?" yang dijawab "iya..".
Dengan rasa deg-degan tak karuan, saya takut secara tidak sengaja saya membuka status keluarga tadi, saya bertanya "di mana?" padahal pertanyaannya tidak ada di kuisioner...
"Di kampung ini mbak, tapi sekarang orangnya udah ngga ada, sudah kita usir..."
Saya sedikit bernafas lega, bukan respondenku berarti...
Saya lanjutkan bertanya "Memangnya mbak tahu dari mana orang itu kena HIV?", ya, kadang untuk menggali informasi, walaupun pertanyaan tidak ada di kuisioner ditanyakan juga.
"Gini mbak... kan anak itu pacaran sama anak kampung sini. Eh masa, pas lagi pacaran, ceweknya dipegang, trus si ceweknya kejang-kejang, dibawa ke rumahsakit, terus meninggal deh... ya udah, kita usir aja itu anak dan keluarganya..."
Di dalam hati ingin deh bilang "Mbak ini, jangan-jangan kalo kejang-kejang ceweknya itu kena epilepsi..." dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga yang terusir tadi, juga bisa mengerti ketakutan keluarga tadi seandainya tetangga mengetahui statusnya...

Lalu, dengan pengetahuan seadanya, saya sampaikan pada rumahtangga ini, bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui makan dan minum bersama, atau pemakaian alat makan minum bersama, pemakaian fasilitas umum bersama, seperti telepon umum, WC umum, dan kolam renang, ciuman, senggolan, pelukan dan kegiatan sehari-hari lainnya atau lewat keringat, dan gigitan nyamuk. Maksudnya, biar tidak salah informasi lagi...

I want to live longer...
Menjadi ODHA bukanlah suatu pernyataan bahwa 'Kamu akan mati besok'.

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak Virus HIV baru kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia terkena pilek biasa.

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembangbiakan virus hiv dalam tubuh makhluk hidup. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.
Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena AIDS. Untuk menjadi AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yaitu beberapa tahun untuk dapat menjadi AIDS yang mematikan. Seseorang dapat menjadi HIV positif. Saat ini tidak ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS.

Ada satu therapy, yaitu antiretroviral therapy/terapi ARV. Meski tidak bisa menyembuhkan, terapi ARV bisa memperpanjang hidup pengidap HIV positif dan membuat mereka hidup lebih produktif. Terapi ini mampu mengurangi jumlah virus HIV dalam darah dan meningkatkan jumlah sel CD4 positif (jumlah limfosit yang melindungi tubuh dari infeksi). Obat-obatan ARV digunakan dalam terapi untuk infeksi HIV. Obat-obatan ini melawan infeksi dengan memperlambat replikasi virus HIV dalam tubuh. Ini berarti menghambat penyebaran virus dengan mengganggu proses reproduksi virus. Dalam sel yang terinfeksi, virus memperbanyak diri sehingga bisa menginfeksi sel-sel lain yang masih sehat. Makin banyak sel terinfeksi, kekebalan tubuh kian turun. Untuk mereplikasi diri, HIV butuh enzim reverse transcriptase. Obat-obatan ARV memperlambat kerja enzim itu dan mengacaukan replikasi virus dengan mengikat enzim tersebut untuk menghentikan produksi virus baru. Obat-obatan itu juga menghambat protease-enzim pencernaan pemecah protein dan enzim dalam sel terinfeksi.

Mengkonsumsi ARV membutuhkan tingkat kedisiplinan yang tinggi. Bagaimana tidak, obatnya harus diminum 12jam sekali, tidak boleh terlambat. Beberapa teman memasang alarm di handphone nya untuk mengingatkan jadwal minum obat ARV nya. Bagi saya, menghabiskan antibiotik saja sudah siksaan, padahal, itu hanya sepuluh butir obat, yang harus dihabiskan dalam waktu kurang lebih 3 hari. Teman-teman saya itu harus melakukan itu setiap hari tanpa henti, seumur hidupnya. Sekarang saya belajar bahwa menjadi sehat itu mahal dan menjadi lebih perduli terhadap kesehatan diri... Serangkaian usaha yang panjang yang harus teman-teman saya lakukan itu hanya untuk satu keinginan, hidup lebih lama. Doa saya, juga doa teman-teman saya itu, semoga pemerintah dapat terus mensubsidi obat ARV, karena untuk bertahan hidup saja sudah susah, apalagi kalau harus membeli obat-obatan yang harus dikonsumsi seumur hidup, dengan harga yang tidak murah.

Souvenir for me...
Di salah satu klinik VCT, saya mendapatkan sebuah souvenir. Souvenir yang berawal dari pertanyaan saya yang mungkin terdengar iseng... dan tidak disetujui. Ya, karena alasan privasi tadi itulah. Saya ingin mengetahui bagaimana proses test hiv itu dilakukan.

Ceritanya sih, darah klien (orang yang akan diuji) diambil, ga banyak kok, hanya beberapa cc. Lalu, terhadap sample darah tersebut dilakukan uji, apakah terdapat antibodi yang merpakan indikasi hiv di dalam tubuh. Ketika tubuh kita diserang virus, pastinya membentuk suatu antibodi yang merupakan mekanisme pertahanan diri terhadap virus/benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Antibodi ini lah yang diuji. Namun permintaan saya ditolak, mungkin karena terdengar iseng kali ya?

Namun, sebagai gantinya, saya diberikan suatu alat, namanya Ora-Quick, yang juga dapat digunakan untuk test HIV. Tentang alat ini, saya sudah mendengar dari teman saya di organisasi sebelumnya. Namun, katanya, menjadi tidak populer karena ada kekhawatiran kesalahan persepsi, bahwa air liur juga bisa menularkan HIV. Padahal, yang dicek ya antibodinya tadi. Teman saya memberikan contoh yang ekstrim lagi (sama ekstrimnya kaya anggota re***** tadi), kalo tubuh saya disayat-sayat sehingga ada luka dimana-mana, lalu disiram dengan satu galon air liurnya Odha, baru saya mungkinterinfeksi HIV, itupun masih mungkin lho...
Lagipula, karena alatnya berupa test pack yang dapat digunakan sendiri, teman saya itu tidak menganjurkan untuk menggunakan, "Lebih baik didampingi," katanya "Kalo hasilnya 'memuaskan'", positif maksudnya, "ada teman yang bisa diajak konsultasi..."

Cara kerja alat ini kurang lebih seperti alat tes kehamilan yang biasa saya gunakan. Saya harus mengambil sejumlah air liur, dari langit-langit mulut saya, pokoknya dari sekeliling mulut saya deh. Lalu, terhadap alat yang sudah ada air liur saya itu, diberikan cairan. Dan, seperti juga orang yang sedang menunggu hasil tes kehamilan, silahkan berharap-harap cemas apakah garisnya akan berhenti di satu garis (artinya negatif) atau masih ada garis kedua (artinya positif). Begitu kira-kira cara kerjanya....

Permasalahannya... Apakah saya berani menggunakannya? Hehehe...
Semua yang mendengar cerita saya ini selalu bertanya seperti ini, "Emang elu ngapain, Fa? Sampe penasaran pengen test segala..."
Yah, dua bulan lebih saya menjadi teman curhat, dengan latar belakang kasus yang berbeda-beda. My valuable friends, yang saya ceritakan tadi, ternyata datang dari berbagai kalangan, yang tidak dalam dugaan saya sama sekali. (Jika seorang PSK terkena HIV, mungkin orang tidak akan heran. Tapi jika seorang guru TK terkena HIV? Orang akan bertanya, masa lalu guru TK tersebut. Sejuta klaim buruk mungkin diarahkan padanya, padahal, yang ia lakukan hanya mencintai suaminya. Yang tidak diketahuinya sama sekali, bahwa suaminya adalah ODHA.) Akibatnya, kekhawatiran saya semakin tinggi. Khawatir terhadap diri saya sendiri, khawatir terhadap pasangan, khawatir terhadap lingkungan, ah, serba khawatir deh pokoknya. Butuh waktu berminggu-minggu untuk saya hanya sekedar memutuskan apakah akan menggunakan alat itu atau tidak. (benar kata teman saya itu, tidak baik melakukannya sendirian, bisa-bisa, kecewa dengan keadaan, terus jadi melakukan tindakan-tindakan diluar kewajaran).

Lalu, yang saya lakukan adalah konsultasi dengan suami. Yang dijawab dengan senyum-senyum, "Ya udah... biar ilang penasarannya, dicoba aja... Kalo ngga dicobain juga, pasti khawatirnya ga ilang-ilang..."
Lagi-lagi saya bertanya, "Terus, kalo positif, gimana, Yah?". Karena terus terang, positif akan menghasilkan pertanyaan baru. . .
"I'm here with you, kalo ibu positif ya nanti ayah test juga..." (yang belakangnya ga didengerin tuh, I'm here with you-nya itu yang penting... hehehe...)

So, akhirnya, karena mendekati batas kadaluwarsa dari alatnya juga... saya coba juga alatnya...
Sambil nunggu, mondar-mandir gelisah ga karuan, lebih heboh dari waktu nunggu hasil test pack waktu mau hamil anak kedua... Hasilnya? Alhamdulillah, negatif...

Besoknya, ketika bertemu teman saya yang dari organisasi itu, saya sampaikan "Mas, udah dipake alatnya... Alhamdulillah, negatif..."
Kata teman saya itu "Alhamdulillah... eh, jangan-jangan lagi dalam masa window period?" katanya menggoda saya...
tapi kali ini saya jawab dengan yakin "Hehe... Insyaallah ngga deh..."

buat teman-teman yang baru akan menikah, berdasarkan pengalaman saya dalam survey ini, saya menyarankan untuk melakukan medical check up terlebih dahulu bersama pasangan, terutama mengenai penyakit menular yang berpotensi untuk diwariskan terhadap keturunan kita, menyesal kemudian tidak ada gunanya...

--> bayar utang cerita ama temen-temen warstat
--> surabaya, 18 0ktober 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun