Hari libur dibatasi hanya 1-2 hari per bulan, karena itu banyak siswa tidak memiliki akhir pekan untuk bermain. Pada dasarnya sekolah memaksa siswa untuk berkompetisi. Ulangan mingguan atau bulanan sudah menjadi biasa. Setelah setiap ulangan dilakukan, skor dan peringkat siswa akan ditempel di dinding lorong kelas. Jadi semua guru, siswa, dan orang tua pun tahu bagaimana perkembangan nilai murid.Â
Selalu ada cerita yang menarik namun seringkali menyayat hati tentang bagaimana kerasnya sistem pendidikan di Tiongkok. Kompetisi selalu menjadi kata kuncinya, dan mereka sudah mulai semenjak sebelum TK !. Jangan kaget dengan anak berumur 4 tahun yang sudah menghafal 5 puisi kuno Tiongkok.Â
Apakah anak itu dengan rela melakoni hal tersebut pastinya tidak sama sekali. Orang tuanya dan jutaan orang tua yang lainnya memiliki ambisi setinggi langit. Hali ini sangat jamak dan sangat dibanggakan oleh jutaan orang tua di Tiongkok.Â
Setiap orang tua akan membanggakan anaknya: "Anak kami juga pandai menyanyi, bahasa Inggris, kaligrafi, berenang," sambil mempertunjukkan hasil karya dan prestasi anaknya. Seorang anak TK yang sudah memiliki banyak piagam dan sertifikat bukan lagi menjadi pemandangan aneh. Anak itu hanya salah satu anak yang biasa dari jutaan anak lainnya. Di berbagai toko buku di Tiongkok kita akan tidak susah untuk dapat bermacam-macam buku bacaan bahasa Inggris, juga buku latihan soal matematika hingga buku pembelajaran pemrograman komputer.Â
Setiap orang tua akan bersikukuh berpendapat bahwa kalau ingin masuk SD berkelas maka harus membuktikan bahwa anaknya juga berkualitas, yang dibuktikan dengan deretan piagam dan sertifikat.Â
Banyak dari orang tua yang menginginkan anaknya memiliki kenangan masa kecil yang indah, namun kekhawatiran tertinggal dalam kompetisi pendidikan menjadikan mereka tak punya banyak pilihan selain memaksa anaknya untuk belajar berbagai macam keterampilan dan ikut dalam setiap kompetisi yang diadakan.Â
Mereka lebih takut anaknya tidak mendapatkan masa depan yang cemerlang karena mereka sadar bahwa lowongan kerja yang ditawarkan semakin tak seimbang dengan jumlah pencari kerja.Â
Keluarga yang mempunyai kecemasan tersebut sebenanrya sudah termasuk keluarga golongan berpendapatan menengah yang jumlahnya ratusan juta, meningkat pesat dalam dua dekade terakhir. Namun kecemasan tersebut tentu tidak dialami golongan berpendapatan rendah atau masyarakat yang tinggal di pedesaan, jauh dari kecukupan fasilitas di kota besar. Banyak kesulitan serta hambatan yang dihadapi keluarga tersebut untuk memberikan anaknya pendidikan berkualitas dan kompetitif. Menyelesaikan kebijakan wajib belajar 9 Tahun mungkin sudah dianggap cukup dan tak ada pilihan lain kecuali bekerja.
Sistem seperti ini menyebabkan masalah mental pada siswa. Tidak sedikit siswa stres, depresi, hingga bunuh diri. Tentang jumlah siswa yang bunuh diri dari tahun ke tahun, Tiongkok memang lebih tertutup daripada Jepang dan Korea. Meskipun demikian, ketiga negara ini memiliki jejak rekor bunuh diri yang tinggi di kalangan siswa menengah.Â
Jam pelajaran yang panjang, guru yang memaksa mereka menghafal, dan segudang peraturan ketat lainnya sudah menjadi rutinitas sehari-hari bagi para murid. Kota Shanghai menempati urutan pertama pada kota dengan waktu terlama yang dihabiskan untuk mengerjakan PR, yaitu 13,8 jam per minggu.Â
Kompetisi yang paling sengit di antara sekian banyak kompetisi di sekolah adalah ujian masuk perguruan tinggi atau dikenal dengan istilah Gao Kao. Mereka mempersiapkan Gao Kao ini sejak dari tahun kedua di bangku SMA. Untuk memberikan gambaran betapa sengitnya kompetisi maka kita bisa mengambil contoh penerimaan di Universitas Tsinghua pada tahun 2016.Â