"aku tak peduli. Itu keputusan mereka. Semua memiliki hak atas nasib hidup masing-masing."
"kau sadar mengatakan itu di sini. Jadi kau merasa nyaman di sini ?" untuk kesekian kalinya aku menantangnya.
"aku merasa cukup di sini bersama orang-orang lain yang merasakan hal sama."
"mungkin memang di negaraku yang banyak orang tak merasa cukup. Namun bagaimana kamu bisa tahan melihat orang-orang yang berpakaian formal setiap hari, potongan rambut yang sama. Berjalan, bekerja, dan beraktifitas seolah-olah mengikuti irama yang sama."
"kebebasan bukan hal yang dapat dengan mudah kami dapatkan, itu kekurangan kami. Namun setidaknya banyak fasilitas, kemurahan, dan kemudahan yang telah diberikan kepada rakyat. Jangan kau tutup mata ketika seseorang harus membayar 2 kali gaji sebulan untuk mengobati penyakit flu dan 4 tahun melunasi hutang biaya kuliah."
"itulah prinsip dari dari kesamarataan. Apakah kau yakin mereka akan terus dengan ikhlas menerima hal ini?"
"selama mereka nyaman dan bersikap patriotik. Jika tidak mereka akan memutuskan jalannya sendiri."
"apa akibat lain daripada mereka yang keluar, migrasi, serta membelot ?"
"kau sudah tahu jawabannya, dan itu yang dikhawatirkan banyak negara bagi kami."
"lalu bagaimana nasibmu nanti ?" aku tak menyadari terpeleset dengan pertanyaan bodoh ini.
"nasibku ? untuk apa kau peduli akan nasibku. Kau hanya sama dengan orang asing lain yang berpandangan sinis tentang nasib kami."