Berdetak jam dinding kamar kos menunjukkan segera pukul 8 malam. Mi rebus yang masih setengah di mangkuk segera Rini habiskan. Bergegas ia beranjak membuka lemari pakaiannya, berdandan sambil membaca urut pesan WA baru.
Tema malam ini adalah gadis sekolah Jepang. Ia merasa salah kostum dan cepat menggantinya dengan seragam pelaut. Disisir pula rambutnya bergaya poni serta dikuncir rambut panjangnya menjadi dua.
Tak ingin dilihat banyak teman kos dan warga perumahan, ia mengenakan jaket denim. Tak lupa mengunci kamar kosnya dan segera meluncur ke tempat kerjanya, setiap malam di KTV Ria.
Malam ini KTV lebih sepi, mungkin karena akhir bulan. KTV Ria terletak di pusat kota, tidak jauh dari gedung-gedung administrasi pemerintahan, serta kantor Bupati yang berjarak 200 meter. Dari awal merantau sekitar 3 tahun lalu sampai  sekarang Rini selalu mengagumi kota ini.
Ia masih ingat ketika duduk di bangku SMA, guru geografi bertanya: "kalau sudah lulus mau kerja atau kuliah di mana ?". Hampir semua murid menjawab ke kota ini. Tentu jawaban klasik itu selalu muncul seolah tak ada pilihan  lain. Kota ini memang tidak jauh dari kampungnya, hanya perlu naik ojek sampai pinggir teluk lalu menumpang kapal speed selama 30 menit.
Hampir semua anak muda ingin merantau ke kota ini untuk sekolah, kuliah, dan kerja. Tak terkecuali Rini, gadis bertubuh mungil berkulit kuning langsat. Ia bercita-cita menjadi sarjana ekonomi dan kemudian bekerja di perusahaan tambang, bergengsi tak ada tandingannya di kota ini.
Ia membayangkan banyaknya kesempatan jika lulus kuliah dan bekerja di perusahaan tambang, kebanggaan masyarakat seluruh kota dan kabupaten. Bagaimana tidak, gaji perusahaan tambang jauh lebih tinggi, bahkan gaji cleaning service sekalipun lebih tinggi daripada bekerja di tambak-tambak ikan di kampung.
Kota ini dikelilingi oleh pegunungan dan hutan kaya batu bara. Dalam 20 tahun terakhir banyak berdiri perusahaan tambang, dalam negeri dan luar negeri, membabat hutan pegunungan dan mengeruk emas hitamnya, pagi siang malam tanpa istirahat, tanpa ampun. Mobil dan truk tambang berseliweran dari kota ke pegunungan, begitu sebaliknya, hingga ke pantai untuk dimuat dalam tongkang siap kirim ke Jawa atau ekspor ke luar negeri.
Pegunungan yang dulu lebat penuh pepohonan kini rata dan meninggalkan banyak lubang. Lubang maut itu beberapa kali meminta korban, anak-anak polos yang bermain-main tercebur ke lubang tak terselamatkan.
Akibat angkutan berat jalanan aspal yang dulu mulus rata kini berlubang tak karuan. 10 tahun tetap begitu tanpa perbaikan, meskipun gedung administrasi pemerintah semakin megah. Jalanan kota kini semakin berdebu. Sungai yang tadinya jernih mulai keruh dan gelap. Ikan-ikan khas yang ditangkap nelayan dan pemancing semakin langka.
Lamunan sejenaknya tiba-tiba tersadar oleh pegawai kasir yang memanggilnya. Rini mendekat dan segera disuruh melayani, ke ruang 204. Tiga tamu sudah menantinya di dalam ruang karaoke. Setelah masuk ke dalam ruangan Rini melihat tiga laki-laki. Ia menebak dua di antaranya berumur 40an, pegawai tambang sekelas supervisor, dan satunya berumur 20an, mungkin pegawai baru atau sedang magang.
Mereka menyanyi sembari berjoget, diiringi lagu dangdut koplo kesukaan, meskipun satunya lebih suka lagu-lagu Korea. Bir, kacang, dan buah-buahan tak lupa disantapnya. Hingga tengah malam terus menyanyi tak putus-putus, juga batang demi batang rokok yang asapnya terus mengepul memenuhi ruangan.
Beberapa kali si pemuda harus keluar untuk menghirup udara segar karena tercekik asap rokok. Kedua orang tua itu minum menenggak bir seperti layaknya air. Seorang menenggak tiga botol dan dengan cepat mulai pusing, jatuh disertai muntah, di hadapan Rini. Sekuriti dipanggil dan menyeretnya keluar ruangan. Dengan segera mereka meninggalkan ruangan.Â
Beberapa uang bergambar pendiri republik diterimanya. Mereka tampak puas dengan pelayanan Rini yang sabar. Malam ini Rini kembali dinobatkan bosnya menjadi pemandu karaoke terfavorit di KTV Ria.
Dulu ia tak pernah bercita-cita menjadi penyanyi, bahkan tak pernah ia berpikir bekerja di KTV sebagai pemandu karaoke. Pada masa kecil ia sesekali menyanyi di bilik mandi. Suaranya tak begitu menyenangkan ibunya yang sedang memasak di dapur.
Kini ia jago menyanyi. Hampir 6 jam setiap hari ia menyanyi di bilik karaoke menemani para tamu. Segala macam jenis lagu dikuasainya, sampai teknik vokal rock dan metal sekalipun ia kuasai. Setelah Nella Kharisma berganti Burgerkill, dilanjutkan Didi Kempot, berlanjut Super Junior, diikuti Broery Marantika, dan diselingi Hadad Alwi. Ribuan lirik lagu juga telah dihafalkannya, termasuk lirik lagu bahasa Jawa dan Mandarin.
Tamu-tamunya berasal dari berbagai macam kalangan. Dari mahasiswa, pegawai negeri, pengusaha, pekerja tambang, dosen, sampai kelompok PKK dan arisan kampung. Rini memahami setiap karakter tamunya.
Baginya setiap profesi memiliki topik pembicaraan yang khas. Ia mengetahui bagaimana para pengusaha harus menyuap pegawai pemda untuk mendapatkan izin tambang. Ia tahu bagaimana para lelaki membohongi istri-istrinya.
Setiap permasalahan ia kuasai karena tamu-tamu sebelumnya juga membahas hal yang sama. Bahkan ia  menawarkan solusi atas setiap pertanyaan yang membuat para tamu kagum dengan kepintarannya. Padahal Rini hanya belajar mendengar dari tamu-tamu yang pernah dilayani.
Segera Rini menjadi populer di antara para pemandu-pemandu karaoke di KTV Ria. Banyak tamu yang memesan Rini sebagai pemandu karaoke tiap malam. Tak hanya untuk mendampingi menyanyi, melayani minum, namun juga untuk mendengar pendapatnya yang selalu masuk akal. Â
Rini beristirahat sejenak di depan gedung KTV sambil menyalakan rokok yang kedelapan. Ia mengingat lagi 3 tahun lalu, berniat pergi ke kota untuk berkuliah, mengambil jurusan Ekonomi Manajemen di universitas swasta.
Setiap bulan orang tuanya mengiriminya uang, beras, dan gula merah hasil kebun. Ia merasa cukup hati-hati dalam pengeluaran uang, berbekal ilmu yang diperolehnya di bangku kuliah. Uang makan, keperluan sehari-hari, dan biaya lainnya ia pilah dan catat dengan teliti.
Namun pada semester kedua pengeluarannya semakin lama semakin membengkak karena keinginan yang bertambah. Ia lihat temannya bergincu korea, yang lain menenteng tas dari toko online dari ibukota.
Ajakan tiap pulang kuliah ke kafe kopi susah untuk ditolaknya. Segelas kopi kafe semingu mungkin tak akan membebani keuanganya, namun selama beberapa kali dalam seminggu tentu menguras dompetnya.
Ia selalu mengikuti gaya hidup teman-teman sekampusnya. Belum lagi bobba milk tea yang menjamur di pingir-pinggir jalan berdebu, untuk postingan kekinian di Instagram storynya.
Untuk menambah pemasukan ia mengikuti saran temannya untuk melamar kerja part time. Menjadi sales rokok pernah ia jalani selama 3 bulan. Dari pekerjaannya ia belajar bagaimana merokok dengan baik dan benar. Setelah itu berpindah menjadi sales asuransi.
Namun setelah 2 bulan ia mengundurkan diri karena tak tahan dengan target hariannya, juga akhirnya ia tahu kalau asuransi itu bodong. Pernah ia ditawari temannya kerja di SPA sebagai terapis, juga kadang melayani tamu dengan pelayanan plus. Ia menolak mentah-mentah walaupun bayarannya lebih tinggi daripada seorang pegawai tetap perusahaan tambang.
Selanjutnya ada teman sekelas menawari untuk menggantikannya kerja di KTV. Saat itu ia menjelaskan dengan panjang lebar bagaimana pengalamannya bekerja sebagai pemandu karaoke. Setelah saat itu Rini menyetujui rekomendasi temannya dan mulai menjalani pekerjaannya seperti sekarang.
Menjadi pemandu karaoke tidaklah rumit. Hanya berdandan seksi sesuai dengan tema, kadang anak sekolah, suster rumah sakit, atau tema hari guru. Asalkan ia melayani tamu dengan sabar dan pengertian, tamu akan memberi tip sebagai bonus. Tipnya ia kumpulkan lalu mengirimnya ke orang tua dan adiknya di kampung.
Sebagai pemandu karaoke ia pernah mengalami hal-hal yang tak menyenangkan. Tamu-tamu yang meraba-raba paha serta dadanya, mengecup pipi, leher, dan punggungnya. Dipeluk dan dipangku paksa seringkali dialami.
Ia Juga kadang dijambak atau dipukul tamu yang sedang mabuk dan ngamuk. Menghadapi perlakuan seperti itu ia dengan tegas menolak dan mengancam untuk melaporkannya pada sekuriti. Â
Sebagai pemandu karaoke ia pun tak akan sampai berbuat menjual diri seperti teman-temannya, melanjutkan pelayanan layaknya suami istri di hotel atau apartemen. Baginya kerja memandu para tamu bernyanyi sudah lebih untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk mengundang orang tuanya ke upacara wisuda tahun depan.
Terdengar kembali suara memanggil dari dalam. Rini bergegas masuk dan menanyakan nomor ruangan. Di ruangan 504 sudah menunggu beberapa pegawai administrasi kabupaten.
Seperti biasa bapak-bapak menyanyi dengan suara tak nyaman didengar, diselingi keluhan-keluhan tentang kantor dan keluarganya. Tamunya menyumpahi kepala kantor dengan makian, disuarakan lantang melalui micnya. Istrinya yang selalu minta baju dan perhiasan baru juga tak luput dimakinya dengan serapah membabi buta, dan anaknya yang dikeluarkan dari sekolah karena terlibat tawuran dicaci sekeras-kerasnya.
Rini mencoba menghibur dengan lagu Melayu mendayu namun malah menambah sendu. Merasa tak puas dengan pelayanan, rini malah menerima kata-kata makian. Nama-nama anggota kebun binatang disemprot tepat depan wajahnya. Rini hanya diam pasrah walau dalam hati tak terima.
Ia mengerti tamu-tamunya sedang dalam pengaruh miras. Mereka sengaja nekat mencampur bir dengan cap tikus agar cepat tinggi. Rini juga tak mau kehilangan reputasinya, terfavorit 3 bulan berturut-turut.
Malam ini ia mengalami hal yang tak mengenakkan, seperti hari-hari sebelumnya dengan perlakuan layaknya seekor monyet. Hanya ada satu ambisi di kepalanya, menyelesaikan kuliah dan bekerja, di tempat lebih manusiawi, jauh dari orang-orang munafik.
Ia tak perlu membedakan mana pegawai administrasi kabupaten, dosen, pengusaha tambang, ataupun mahasiswa. Semuanya berwatak penuh kepura-puraan. Di ruangan karaoke, semuanya menjadi sejenis, monyet.
Kembali ia keluar dan menyulut rokoknya, kuat-kuat mengembuskan asapnya ke angkasa. Ia tak menyangka langit malam begitu cerah dan bertabur bintang. Berharap malam ini akan segera berakhir dan esok segera menantinya. Kembali seperti sedia kala. Menemani tamu-tamu menghabiskan malam, menyanyi, berkeluh kesah, serta menyumpah.
Saat yang ia nanti telah tiba. Bersama keluarganya Rini berfoto bersama di studio foto dekat kampusnya. Adiknya berlari menyambut dan memeluk erat, Rini meneteskan air mata. Ia juga bangga adiknya telah lulus SMP. Rini akan pulang ke kampung untuk sementara waktu dan akan kembali lagi ke kota untuk mencari pekerjaan.
Foto wisuda hari itu ia cetak besar-besar, digantungkan di dinding ruang tamu rumah, kamar, dan dapur. Setiap melewati ruang tamu ia tatap lama foto wisuda itu. Dalam hatinya merasa bangga.
Orang tuanya tentu lebih bangga, melihat Rini menyelesaikan kuliahnya tepat waktu, juga karena sedikit uang yang rutin ia kirim, dan untuk adiknya tercinta. Tak lupa mereka kemudian berharap Rini segera mencari dan mendapat pekerjaan.
Berbekal ijazah S1 dan CV ia mencoba melamar beberapa lowongan kerja, dari perusahaan tambang, kantor pemerintahan, hotel, dan bank. Meskipun di kota ia tidak melihat ada banyak kesempatan kerja.
Pernah ia terpikir untuk melamar kerja di Jawa, namun niat itu ia urungkan karena ingin lebih dekat dengan keluarga. Sebagai perempuan ia ingin menemani ayah ibu yang sudah menua dan tak kuat lagi kerja di ladang.
Hari berganti, bulan baru datang, lamaran pun belum ada tanggapan. Sampai bulan berikutnya ia mendapat jawaban untuk tes dan wawancara. Ia menerima pengumuman di bulan berikutnya bahwa ia tak lolos. Satu proses lamaran bisa memakan waktu satu hingga tiga bulan.
Ia heran dengan beberapa perusahaan yang tak menerimanya. Sampai pada akhirnya ia berasumsi bahwa saingannya yang berasal dari pulau Jawa lah yang diterima. Saingannya memiliki ijazah kampus negeri ternama. Selain itu mereka juga memili banyak sertifikat, termasuk bahasa asing.
Rini merasa tak berbeda dengan yang lain, hanya saja ia merasa kurang beruntung. Banyak pendatang dari Jawa yang dengan mudah bekerja di kota ini, namun bagi orang asli, sekolah pun sangat sulit karena jumlah sekolah, guru, dan fasilitas yang kurang. Padahal ia tahu bahwa emas hitam dari pegunungan itu menghasilkan keuntungan, namun tak serta merta untuk pembangunan di daerahnya, malah banyak dibawa ke luar pulau, bahkan ke luar negeri.
Meskipun ia paham teori-teori ekonomi dan sosial yang tak kalah dengan alumnus universitas di Jawa, namun ia merasa tak berdaya. Ia sekarang menghadapi kenyataan yang jauh berbeda. Angan-agannya dulu tentu bukan harapan yang semanis madu. Namun dengan tetap bersabar ia menanti ada perusahaan yang menerimanya bekerja.
Sudah 8 bulan Rini menganggur, tak tahu apakah ia masih akan berusaha untuk melamar ke beberapa perusahaan atau pulang ke kampung. Pilihan pulang kampung saat ini adalah pilihan yang hina, karena janji untuk menyenangkan orang tuanya.
Uang tabungannya makin lama-makin menipis. Ia memperkirakan akan habis 3 bulan lagi jika pengeluaran per bulannya tetap sama.
Satu jalan lama ia terpaksa ia lalui lagi. Rini tak akan menganggap pekerjaan ini adalah kutukannya. Bos KTV Ria menerimanya dengan riang hati. Pemandu karaoke terfavorit kembali lagi dan para tamu yang mendengar kabar ini segera memesan untuk menyambut kedatangannya, serta menikmati pelayanannya yang sabar dan ramah.
Rini berjanji, bahkan bersumpah dari hati dan pikirannya, seperti dendam yang akan ia tuntaskan. Ia akan keluar begitu ia mendapat pekerjaan yang memanusiakan manusia. Ia tak mau selamanya menjadi pemandu karaoke.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H